Kamis, 13 Juni 2013

Sangha Bhikkhuni

Dalam masyarakat Buddhis, kita mengenal adanya bhikkhu. Yaitu, seseorang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa. Mereka mengenakan jubah pertapa dan menggundul kepalanya. Semua dari mereka itu berjenis kelamin laki-laki. Lalu, adakah wanita yang menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa? Dulu, pertapa wanita yang biasa disebut sebagai bhikkhuni, memang ada. Namun, seiring dengan perjalanan sejarah dan kebenaran dari hukum anicca, pertapa wanita yang disebut bhikkhuni itu tidak lagi ada di dunia ini. Bhikkhuni pertama dalam Buddha Sasana ialah bhikkhuni Mahapajapati Gotami. Ia adalah putri Raja Suppabuddha dari Kerajaan Koliya. Ia adalah adik putri Siri Mahamaya, ibu Pangeran Siddhatta. Setelah Putri Mahamaya meninggal dunia, Mahapajapati Gotami menjadi ibu tiri Sang Pangeran. Ialah yang merawat dan membesarkan Pangeran Siddhatta.

Tulisan di bawah ini mengisahkan asal mula bagaimana Sangha Bhikkhuni terbentuk dan apa pula sebab kepunahannya.

Setelah Pangeran Siddhatta mencapai Kebuddhaan, banyak pangeran dan kerabat kerajaan Suku Sakya upasampada menjadi bhikkhu. Mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga, menyebabkan istri-istri mereka menjadi janda. Padahal, tidak sedikit diantaranya yang mempunyai istri lebih dari satu.

Selama itu, mereka belum berpikir untuk upasampada menjadi bhikkhuni. Namun, setelah Raja Suddhodana meninggal dunia, permaisuri Mahapajapati Gotami mengajak mereka menghadap Sang Buddha, mohon diupasampada menjadi bhikkhuni. Mereka berbuat itu karena berpikir bahwa tak ada gunanya lagi meneruskan kehidupan sebagai perumah tangga, karena mereka tak ingin mencari suami baru. Mereka adalah wanita-wanita bajik yang setia terhadap suami.

Kisah upasampada bhikkhuni tersebut tertulis dalam kitab Vinaya Pitaka jilid ketujuh Culavagga mulai dari bab 513 sebagai berikut:

(513) Saat itu Sang Buddha berdiam di Vihara Nigrodharama di Kota Kapilavastu. Lalu, datang Permaisuri Mahapajapati Gotami menghadap Beliau. Setelah menghormat dan mengambil tempat yang layak, ia berkata:

“Bhante, Saya mohon Bhante berkenan memberi upasampada pada para wanita (yang keluar dari kehidupan berumah tangga) menjadi pabbajita dalam Dhamma Vinaya yang Tathagata telah babarkan.”

Namun, Sang Buddha menolak dengan berkata:

“Wahai Gotami, janganlah merasa senang bahwa para wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan upasampada sebagai pabbajita dalam Dhamma Vinaya yang Tathagata telah babarkan.”

Tiga kali Putri Mahapajapati Gotami mengulang permohonannya. Namun, Sang Buddha tetap menolak dengan jawaban yang sama.

Maka, Mahapajapati Gotami merasa berkecil hati dan kecewa. Dengan berlinang air mata ia menghormat dan berpamitan pada Sang Buddha.

(514) Kemudian, Sang Buddha mengadakan carika (pengembaraan) meninggalkan Kapilavastu menuju Kota Vesali dan beristirahat di Kutagarasala dalam Hutan Mahavana.

Ternyata, Putri Mahapajapati Gotami mengikuti perjalanan Sang Buddha itu. Kali ini permaisuri telah mencukur rambutnya hingga gundul serta mengenakan jubah pertapa dengan disertai para janda Suku Sakya yang suaminya telah upasampada menjadi bhikkhu.

Dengan telapak kaki yang telah membengkak karena perjalanan jauh dan badan penuh debu serta air mata berlinang karena kecewa, Sang Putri berdiri di balik pintu gerbang Sala.

Demi melihat itu, Bhikkhu Ananda datang menghampiri dan bertanya:

“Wahai Ibu Gotami, mengapakah Ibu sampai berlinang air mata dengan telapak kaki membengkak dan mengenakan jubah pertapa yang penuh debu?”

Sang Putri menjawab:

“Ya, Ayasma Ananda, Saya berbuat begini karena Sang Tathagata telah menolak memberi upasampada pada wanita sebagai pabbajita dalam Dhamma Vinaya.”

Mendengar itu, Bhikkhu Ananda berkata:

“Kalau demikian halnya, tunggulah Ibu disini. Saya akan menghadap Sang Buddha untuk memohon agar beliau mengijinkan wanita upasampada dalam Dhamma Vinaya.”

(515) Maka, Bhikkhu Ananda pun masuk menemui Sang Buddha. Setelah menghormat dan mengambil tempat yang layak, ia berkata:

“Bhante, Permaisuri Mahapajapati Gotami dengan kedua telapak kaki membengkak, badan penuh debu, berduka, kecewa, dengan air mata berlinang berdiri di luar karena Sang Tathagata tidak mengijinkan wanita upasampada sebagai pabbajita. Saya mohon ijinkanlah wanita upasampada sebagai pabbajita dalam Dhamma Vinaya yang Tathagata telah babarkan.”

Namun, Sang Buddha menolak dengan berkata:

“Ananda, janganlah merasa senang bahwa wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan upasampada menjadi pabbajita dalam Dhamma Vinaya yang Tathagata telah babarkan.”

Bhikkhu Ananda mengulang permohonannya sebanyak tiga kali. Namun, Sang Buddha menolak dengan jawaban yang sama. Maka, Bhikkhu Ananda berpikir, bagaimana caranya agar Sang Buddha berkenan mengijinkannya. Lalu, mengajukan pertanyaan dengan cara lain:

“Bhante, apabila seorang wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan upasampada sebagai pabbajita, apakah ia mampu mencapai penerangan Dhamma, sotapattiphala, sakadagamiphala, anagamiphala maupun arahattaphala?”

“Ananda, apabila seorang wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan upasampada sebagai pabbajita, ia akan mampu mencapai penerangan Dhamma, sotapattiphala, sakadagamiphala, anagamiphala maupun arahattaphala.”

“Ibu Mahapajapati Gotami adalah seorang wanita yang amat berjasa terhadap Sang Tathagata. Beliau telah merawat Sang Tathagata, memberi air susunya sendiri. Beliau telah membesarkan Sang Tathagata dengan penuh kasih sayang. Mengingat itu semua, Saya mohon Sang Tathagata berkenan memberi upasampada pada beliau.”

(516) “Ananda, bila Putri Mahapajapati Gotami mau menerima 8 (delapan) garudhamma, maka berarti ia telah upasampada sebagai pabbajita (bhikkhuni). Apakah garudhamma itu, Ananda?

1. Bhikkhuni, walau telah upasampada selama seratus tahun, harus menghormat (namakkara), bangun menyambut dengan hormat pada seorang bhikkhu walau baru upasampada pada hari itu. Bhikkhuni harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

2. Bhikkhuni, tidak boleh bervassa di suatu tempat yang tidak ada bhikkhunya. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

3. Bhikkhuni, harus menanyakan hari uposatha dan mendengar ajaran Dhamma dari Sangha bhikkhu setiap tengah bulan. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

4. Bhikkhuni, setelah melaksanakan vassa, harus melakukan pavarana dalam Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

5. Bhikkhuni, yang melakukan pelanggaran berat harus melakukan manata (pembersihan diri) pada Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

6. Bhikkhuni, harus diupasampada dalam Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni, setelah dua tahun sebagai sikkhamana. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

7. Bhikkhuni, tidak boleh berkata kasar pada seorang bhikkhu. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

8. Bhikkhuni, tidak boleh mengajar bhikkhu. Tapi, bhikkhu boleh mengajar bhikkhuni. Harus menghormat peraturan ini dan tidak melanggarnya seumur hidup.

“Ananda, delapan garudhamma inilah merupakan upasampada bagi Putri Mahapajapati Gotami.”

(517) Setelah mendengar itu semua, Bhikkhu Ananda pergi menemui Mahapajapati Gotami untuk mengajukan syarat-syarat upasampada bagi putri.

Dan, ternyata Sang Putri menerima delapan syarat berat tersebut.

“Ayasma Ananda, saya menerima delapan garudhamma yang diajukan Tathagata. Tidak akan melanggarnya seumur hidup. Ibarat seorang remaja putri yang senang bersolek. Setelah mandi bersih-bersih, menerima Bunga Padma dan untaian melati yang harum dengan kedua belah tangan terbuka, dijunjung di atas kepala dengan perasaan hormat dan terima kasih.”

Setelah itu, Bhikkhu Ananda masuk kembali menghadap Sang Buddha dan mengatakan bahwa Putri telah upasampada karena telah menerima delapan garudhamma.

Dan Sang Buddha menanggapinya:

“Ananda, bila wanita tidak meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk upasampada sebagai bhikkhuni, Sasana akan berlangsung lama di dunia ini. Tapi, kini wanita telah upasampada sebagai bhikkhuni, maka Sasana tak akan bertahan lama di dunia ini. Ibarat suatu keluarga yang mempunyai banyak anggota perempuan, sedikit laki-laki, amat sulit untuk mempertahankan diri dari serangan perampok ganas. Untuk itu, ibarat seorang laki-laki membuat tanggul di sekitar kolam air sebagai penghalang agar air tak mengalir keluar, begitupun Tathagata mengharuskan delapan garudhamma tak boleh dilanggar seumur hidup oleh bhikkhuni.”

(519) Saat itu, Bhikkhuni Mahapajapati Gotami menghadap Sang Buddha. Setelah menghormat dan mengambil tempat yang layak, ia bertanya:

“Bhante, selanjutnya apa yang harus saya perbuat terhadap para wanita yang mengikuti saya?”

Sang Buddha menjawab dengan Dhammatika (penjelasan Dhamma). Lalu, memerintahkan para bhikkhu untuk meng-upasampada para wanita itu menjadi bhikkhuni, setelah Bhikkhuni Mahapajapati Gotami berpamitan pergi.

Maka, para bhikkhu pun melaksanakan upasampada para wanita pengikut Putri Gotami atas perintah Sang Buddha.

(520) Setelah itu para bhikkhuni baru itu berkata:

“Kami telah diupasampada oleh para bhikkhu. Tapi, Ibu Gotami belum di upasampada oleh para bhikkhu.”

Mendengar itu Bhikkhuni Mahapajapati Gotami menjadi ragu dan bertanya pada Ayasma Ananda. Bhikkhu Ananda pun menghadap Sang Buddha, menanyakan hal itu. Dalam hal ini Sang Buddha menegaskan kembali:

“Wahai Ananda, Putri Mahapajapati Gotami telah menerima delapan garudhamma. Saat itulah ia telah upasampada menjadi seorang bhikkhuni.”

Bila kita cermati sejarah munculnya Sangha bhikkhuni, maka bisa diambil kesimpulan, ada beberapa tahap perubahan cara upasampada bhikkhuni.

Pertama, dilakukan sendiri oleh Sang Buddha dengan memberikan garudhamma kepada Putri Mahapajapati Gotami. Upasampada ini dilakukan secara khusus hanya pada Putri Mahapajapati Gotami. Upasampada ini disebut Atthagarudhammapatiggahanupasampada. Sang Buddha tidak pernah lagi melakukannya pada wanita lain.

Kedua, dilakukan oleh para bhikkhu atas perintah Sang Buddha. Upasampada ini dilakukan hanya pada para wanita pengikut Putri Mahapajapati Gotami. Tidak dilakukan pada wanita lain sesudahnya.

Ketiga, setelah Sangha bhikkhuni terbentuk (dipimpin oleh Bhikkhuni Mahapajapati Gotami), upasampada yang dinamakan Atthavacikaupasampada dilakukan pada dua Sangha yaitu, Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni, sesuai dengan garudhamma yang harus dipatuhi oleh bhikkhuni seumur hidup. Upasampada ini dilakukan semasa Sang Buddha masih hidup hingga Sang Buddha Parinibbana dan sesudahnya. Sang Buddha tak pernah mengijinkan upasampada dengan cara lain.

Bila terjadi upasampada dengan cara lain, itu berarti telah melanggar ketentuan yang telah Sang Buddha tetapkan. Telah melanggar vinaya. Hasilnya, tentu saja bukanlah sebagai bhikkhuni seperti yang diterangkan dalam Tipitaka (Pali) bagian Vinaya Pitaka, Culavagga.

Begitupun Sangha Bhikkhu. Dalam perjalanannya, sejak kemunculannya, Sangha Bhikkhu mengalami beberapa tahap perubahan cara upasampada.

Pada awalnya, diupasampada oleh Sang Buddha sendiri dengan mengucapkan “Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo cara brahmacariyam sammadukkhassa antakiriyaya”. ‘Datanglah wahai bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, laksanakan kehidupan suci untuk mengakhiri dukkha’. Disebut Ehi bhikkhu upasampada dan hanya dilakukan oleh Sang Buddha sendiri. Tidak oleh bhikkhu lainnya.

Kedua, upasampada yang dilakukan oleh seorang upajjhaya dengan menguncarkan Tisarana. Upasampada ini disebut “Tisaranagaman-upasampada“.

Ketiga, upasampada yang dilakukan oleh Sangha (dengan seorang upajjhaya, kammavacacariya dan anusavanacariya) dengan natticatutthakammavaca. Upasampada ini disebut “natticatutthakamma upasampada“. Cara ini dilakukan hingga saat ini. Sang Buddha tak mengijinkan upasampada dengan cara lain.

Bila terjadi upasampada dengan cara lain, itu berarti telah melanggar ketentuan yang Sang Buddha tetapkan. Telah melanggar vinaya. Hasilnya, tentu saja tidak bisa disebut sebagai ‘bhikkhu’ seperti yang telah diterangkan dalam TiPitaka (Pali) bagian Vinaya Pitaka.

Vinaya (kedisiplinan) bagi para bhikkhu maupun bhikkhuni diberlakukan oleh Sang Buddha seiring dengan perjalanan sejarah dan hukum ketidak-kekalan.

Kemunculan seorang Buddha di dunia ini bukanlah secara kebetulan.

Seorang Bodhisatta harus menunggu cukup lama di sorga Tusita hingga keadaan di dunia ini memenuhi syarat bagi kemunculan seorang Buddha, terutama kualitas batin manusia-manusianya.

Pada saat itulah Bodhisatta turun (terlahir) di dunia. Dan “dengan mudahnya” mencapai penerangan sempurna sebagai Samma-sambuddha dan ‘mentahbiskan’ dirinya sendiri menjadi seorang pertapa (bhikkhu) pertama dalam Buddha Sasana. ‘Dengan mudahnya’ Beliau meng-upasampada murid-murid-Nya dengan hanya mengucapkan: “Ehi bhikkhu” yang artinya “datanglah wahai bhikkhu”. Para savaka (murid) itu ‘dengan mudahnya’ mencapai kesucian arahat, anagami, sakadagami ataupun sotapanna. Bahkan, tidak sedikit yang mampu mencapai kesucian arahat sebelum di-upasampada menjadi bhikkhu.

Begitupun savaka-savaka perumah tangga. Cukup banyak yang ‘dengan mudahnya’ mencapai kesucian.

Semua berlangsung ‘dengan mudahnya’! Karena, saat itu manusia-manusia berjenis batin sempurna (ugghatitannu dan vipacitannu) bermunculan bertemu ‘nasib’ dengan seorang Sammasambuddha, diiringi oleh manusia-manusia berjenis batin neyya (masih mampu menerima ajaran) dan tentu saja oleh manusia-manusia padaparama (tak mampu menerima ajaran) sebagai bagian yang terbesar / terbanyak.

Saat itu, belum diberlakukan kedisiplinan (vinaya) terhadap para bhikkhu. Mereka boleh saja berbuat sesuka hatinya. Namun, tentu saja perbuatan mereka itu sesuai dengan kualitas batinnya yang luhur. Mereka memang tidak perlu dikenai pembatasan-pembatasan.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu; bagaikan musim buah yang ‘pasti’ tak akan berlangsung lama (terus menerus), karena masuknya orang-orang yang berjenis batin neyya dan padaparama ke dalam jajaran Sangha, serta lain-lain alasan sesuai dengan keperluan yang diketahui melalui mata Kebuddhaan-Nya, maka Sang Buddha mulai memberlakukan kedisiplinan kebhikkhuan (vinaya). Vinaya inipun mengalami perubahan-perubahan hingga mencapai titik sempurna, dan diberlakukan hingga kini dan selanjutnya.

Bagi para Arahat melaksanakan vinaya adalah sebagai penghormatan terhadap Dhamma dan memberi contoh pada yang lain. Bagi yang lain, melaksanakan vinaya adalah sebagai kelengkapan wajib untuk mencapai tingkat batin yang lebih tinggi, disamping samadhi dan panna.

Begitupun terhadap upasampada bhikkhu dan bhikkhuni yang memang termasuk dalam vinaya, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keperluan yang dilihat melalui mata Kebuddhaan-Nya (bukan mata para siswa Arahat lainnya, apalagi mata siswa puthujjana). Sang Buddha ‘terpaksa repot-repot’ merubah cara upasampada. Yang lama (yang sederhana dan mudah) tidak diberlakukan lagi, diganti dengan yang baru (yang bertele-tele tapi relevan bagi masanya).

Dan akhirnya, tersimpulkan, natticatuttakammaupasampada sebagai upasampada bhikkhu, dan atthavacikaupasampada sebagai upasampada bhikkhuni. Kedua upasampada inilah yang relevan dilakukan hingga punahnya Buddha Sasana dari muka bumi ini kelak.

Sangha bhikkhuni telah punah mendahului Sangha bhikkhu. Tak mungkin lagi dilakukan upasampada terhadap wanita untuk menjadi bhikkhuni.

Kalau hanya berdasarkan kejadian-kejadian pada awal munculnya Buddha Sasana saja, tanpa mengindahkan perubahan-perubahan yang diberlakukan oleh Sang Buddha, seseorang boleh saja meng-upasampada diri sendiri menjadi bhikkhu. Karena, Pangeran Siddhatta pun meng-upasampada diri-Nya sendiri. Atau setiap bhikkhu boleh melakukan upasampada dengan Tisaranagamanupasampada. Atau menciptakan tata cara upasampada sendiri.

Dan, seorang wanita pun boleh saja menemui bhikkhu (hasil upasampada Sangha maupun yang meng-upasampada dirinya sendiri), minta di-upasampada menjadi bhikkhuni. Atau, lebih mudahnya lagi, dengan menyatakan diri menerima garudhamma seperti Puteri Mahapajapati Gotami. Atau menciptakan tata cara upasampada sendiri.

Untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni, seseorang tak perlu ‘repot-repot’ melalui tata cara upasampada yang ‘bertele-tele’. Dan tak perlu lagi mengindahkan kata Sang Guru. Maka, bertebaranlah bhikkhu dan bhikkhuni ‘swasta’ menghiasi Buddha Sasana ‘swasta’ di dunia ini.

Pada saat Asoka Maharaja berjaya, ia mengirim Dhammaduta ke Sri Lanka juga ke Asia Tenggara dan daerah-daerah lain. Dhammaduta yang pergi ke Asia Tenggara dan daerah lain tidak disertai oleh Sangha bhikkhuni. Karenanya, tidak pernah terdapat bhikkhuni di sana.

Mahinda Thera beserta Sangha Bhikkhu dan Sanghamitta Theri beserta Sangha Bhikkhuni meng-upasampada pria dan wanita Sri Lanka yang berminat.

Sangha Bhikkhuni sempat berjaya di sana. Namun, kemudian memudar dan akhirnya punah karena tak ada lagi wanita yang berminat upasampada menjadi bhikkhuni. Itulah saat terakhir keberadaan Sangha Bhikkhuni di muka bumi ini. Itu pula kenyataan yang terjadi.

Sangha Bhikkhuni telah punah dari muka bumi ini, bagaikan bibit (biji) suatu tanaman yang telah lapuk. Bisakah dikembangkan lagi?

Mengapa pula harus mengingkari Hukum Tilakkhana?

[Samma Ditthi, edisi 2, Nov 2000, SILA]

Rabu, 30 Januari 2013

15 Manajemen Kehidupan


1. MANUSIA yang paling berbahaya adalah “TUKANG GOSSIP”.

2. SENJATA yang paling berbahaya adalah ”LIDAH”.

3. KEBIASAAN yang paling merusak adalah ”KUATIR”.

4. PERASAAN yang paling tidak berguna adalah ”Tidak Percaya Diri”.

5. KEGAGALAN yang paling melumpuhkan adalah ”ALASAN” yang di ”BUAT - BUAT”.

6. KONDISI yang terburuk adalah Jika KITA tidak mempunyai ”HARAPAN”.

7. PAKAIAN yang paling indah di dunia adalah ”SENYUMAN”.

8. SUKACITA yang terbesar adalah ”BERAMAL”.

9. PEKERJAAN yang paling memuaskan adalah ”BERBUAT KEBAJIKAN”.

10. KOMPUTER yang paling hebat adalah ”PIKIRAN MANUSIA”.

11. ENERGI yang terbesar adalah dorongan ”SEMANGAT HIDUP”.

12. OBAT TIDUR yang paling mujarab adalah ”PIKIRAN” yang ”DAMAI”.

13. DUA KATA yang penuh kekuatan adalah "SAYA BISA".

14. Aset yang terbesar adalah "KEMULIAAN HATI.

15. Alat Komunikasi yang paling Hebat adalah "PIKIRAN BERSIH"

Selasa, 29 Januari 2013

Naga 龍


Naga telah menjadi lambang hirarki orang-orang China sejak zaman kuno, menandakan keturunan kaisar. Legenda mengatakan bahwa naga memiliki sembilan orang anak :

1] Anak sulung Qiu Niu menyukai musik,

2] Anak kedua Yai Zi senang membunuh,

3] Anak ketiga Chao Feng suka mengambil risiko,

4] Anak keempat Xia Ba suka menanggung beban berat,

5] Anak kelima Bi Han menyukai hukum dan keadilan,

6] Anak keenam Chi Wen senang melahap,

7] Anak ketujuh Tie Tao suka makan,

8] Anak kedelapan Jin Ni menyukai kembang api dan

9] Anak kesembilan Pu Lao menyukai dering dan gema.

Diantara semuanya, penampilan fisik anak keempat seperti kura-kura dengan kepala naga dan disebut sebagai kura-kura naga oleh masyarakat.

Dikatakan bahwa dewi Nu Wa menahan langit runtuh dengan lengan Xia Ba. Sebagai kura-kura naga yang suka menanggung beban berat, dikatakan bahwa ia berguna untuk menangkal bencana dan kemalangan bagi orang-orang, penjaga rumah dan membuat rumah berkembang, memungkinkan orang untuk diberkati dengan nasib baik dan kebahagiaan.

Naga sering kali dikaitkan dengan jenis kelamin laki-laki dan. Naga juga merupakan simbol keuletan, kekuatan, keunggulan dan kekayaan.

"8 Fakta Mengenai Kasih Sayang Ibu"

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tidak lapar”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Pertama

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, ibu tidak suka makan ikan”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Kedua

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abangku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :”Cepatlah tidur nak, ibu tidak capek”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Ketiga

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :”Minumlah nak, ibu tidak haus!”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Keempat

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Kelima

Setelah aku, abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Ibu punya duit”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Keenam

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku “Aku tidak terbiasa”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Ketujuh

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan”
———-
Fakta Kasih Sayang Ibu Yang Kedelapan

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : ” Terima kasih ibu ! ”

PERJALANAN SOSOK PENGABDI BUDDHA DHAMMA DI BUMI ANDALAS

Kelahiran dan Masa Remaja

Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal menjadi seorang anggota Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.

Bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah. Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak memungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung. Pada waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut disyukuri dan terasa sangat nikmat. Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat, Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu dan batok kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjadi topi dll, setidaknya dapat menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain mempunyai kelebihan di kerajinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga yang dipilih yakni atletik, lompat jauh dan lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.


Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat, Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan belajar yang keras. Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan menjadi tenaga cukur bayaran. Sunardi paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu harus dekat dengan warung makanan. Upahnya tak beliin kue, habis.. kenang Beliau sambil tertawa.

Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih digunakan. Bhante itu kalau mencukur cepat sekali aku salah seorang anggota pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari kecil, Sunardi paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit, mengidolakan tokoh Arjuna, tapi tak pernah melewatkan tokoh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada acara Wayang dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga malam melarut dan walaupun menjelang subuh.

Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi tersebut banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang dinding candi. Setelah melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut, sejumlah pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya? Untuk apa bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar di Indonesia yakni Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Setelah membaca majalah tersebut barulah Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap pertanyaan yang timbul tentang relief-relief dan patung-patung tersebut menggambarkan kebesaran agama Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni zaman Sriwijaya dan Majapahit.

Ternyata Sunardi tidak puas dengan jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak yang dibaca dan dihayati maka akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan, membahagiakan. Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang (Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera. Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif mempelajari Buddha Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala Dharma Bandung.

Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan agama Buddha baik dari pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.

Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun, Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi upasaka di Pekan Baru. Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah bimbingan langsung Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta lainnya mengikuti suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif. Pelatihan berlangsung dengan disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah berlatih lebih kurang 2 minggu mengalami kejadian lucu dan unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal dalam pelatihan.

Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan tersebut. Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak untuk membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin telah menggeledek: Pergunakan waktumu sebaik-baiknya, goblok… Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang lainnya yang dinyatakan lulus di antara sekian puluh orang peserta.

Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang patut dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela. (Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)

Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upataka dan orang yang bisa menjadi Upataka Bhante Ashin pada waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia. Pada masa 1960 sampai 1970-an, Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidak heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit sering memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama Buddha yang tertidur selama 5 abad.

Sunardi pada waktu menjadi pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang sampai kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin berkata pada pemuda Sunardi: Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto? Mengapa Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu? Itu karena saya membayar hutang. Demikian pertanyaan yang dilontarkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau sendiri.

Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan tekadnya mendapat restu dari orang tua dan saudaranya.

Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera, Bhante Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, “Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma. Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhammasushiyo di Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:


S. Jinasuryabhumi (U.P. Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu : Aggajinamitto).
S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari 1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.
S.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20 Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.
S.Dhammasushiyo (Sunardi), lahir Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo.
S.Djumadi, lahir Jumat 19 Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.

Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :
1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa sekarang Sangha Raja.
2.Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \ Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta).
3.Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma Sobhana)
4.Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5.Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia)
6.Upa. Saksi (Ven. Subhato/Indonesia)

Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit seakan berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore.

Belajar ke Wat Bovoranives Vihara
Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris (hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu Jinadhammo) kemudian berangkat ke Negara Gajah Putih, Muangthai. Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan guru-guru beliau.

Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang terkenal keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udon thani, sebelah Timur Laut dari kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang dipimpin oleh Ajahn Boowa, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wat Ban Tad (Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad. Ajahn Boowa adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Boowa melakukan gerakan Rakyat Menyelamatkan Negara. Beliau berkampanye mengumpulkan sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada negara yang sedang mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Boowa. Sudah milyaran dolar Amerika (dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn Boowa kepada pemerintah. Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu, Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)

Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah daging kodok rebus atau ulat kelapa (orang Jawa bilang : Gendon)

Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu hanya menerima makanan dari daging apabila :

1. Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2. Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3. Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk dirinya.

Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil Om Yan oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin. Bhante Jin belum tidur waktu itu. Ada apa Om Yan? Tengah malam kok ngintip-ngintip? tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa terbahak-bahak.
Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di gubuk.

Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah kamar aneh untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.

Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya. Apakah Bhante merasa tenang tinggal di vihara ini ? tanya Om Yan. Tenang. Tenang sekali. Jawab Bhante Jin. Bhante bisa tidur nyenyak ? tanya Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil. Oh … bisa… bisa. Jawab Bhante Jin. Kenapa rupanya tanya Bhante Jin kembali. Ah, tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja. Jawab Om Yan senyum-senyum mencurigakan. Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa. Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar senyap.

Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang rada-rada aneh. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau jika diajak tidur di kamar berlantai aneh tempat Bhante Jin. Saya tak berani tidur di situ. Katanya polos. Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas. Kata Bhante Jin. Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara. Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan bertanya tentang kesehatan Bhante. Apa Bhante sehat-sehat saja ? tanya Om Yan sambil tersenyum. Sehat jawab Bhante Jin singkat. Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ? tanya Om Yan dengan nada menyelidiki. Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq. Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar itu. Lho, ada apa dengan kamar itu ? Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai. Bhante tahu batu apa itu ? tanya Om Yan serius. Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat? Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya. Jawab Om Yan. Oh ! Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ? Ha… ha … ha… Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak diberitahu. Jawab Om Yan gembira.


Bertugas Di Sumatera

Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian menugaskan Bhante Jin ke Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera Utara, Riau, Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.

Pada saat itu (1970-an) masih sedikit sekali vihara dan cetiya. Seiring perjalanan waktu dan pengabdian Bhante Jin, di daerah-daerah pun mulai berdiri vihara-vihara dan cetiya. Semangat umat Buddha kian hari kian menggelora. Sekolah-sekolah pun mulai meminta tenaga guru agama Buddha.

Bhante Jin sering diminta oleh daerah-daerah untuk mengirimkan tenaga pengajar Agama Buddha, baik untuk sekolah maupun vihara. Bhante Jin kemudian bersama-sama dengan Bapak Giriputra berusaha mendatangkan tenaga-tenaga pengajar Agama Buddha dari Pulau Jawa.

Guru-guru Agama Buddha yang datang dari Pulau Jawa kemudian dikirim bertugas ke daerah-daerah. Dan mereka-mereka ini diangkat sebagai upasaka pandita oleh Bhante Jin agar dapat memberikan pelayanan kepada umat mewakili Sangha. Tersebutlah Romo Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang berjasa merintis pendirian Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Romo Pandita Kumala di Kisaran, Pak Dharmanto di Kota Medan, dan lain-lain.

Pabbajja-Samanera
Pada masa awal Bhante Jinadhammo tinggal di Vihara Borobudur Medan, beliau sering harus masak sendiri. Waktu itu belum ada yang bantu masak di vihara. Vihara Borobudur sendiri di awal 1970-an masihlah sangat sederhana. Dapurnya masih berdinding triplek dan beratap rumbia. Tidak setiap hari umat memasak untuk Bhante. Kadang Bhante Jinadhammo hanya makan mie instant. Bhante Jinadhammo Maha Thera tinggal di vihara bersama Bapak Wirawan Giriputra dan Bapak Otong Hirawan. Mereka dikenal sebagai Tiga Serangkai yang saling bahu-membahu memajukan agama Buddha di Medan dan daerah-daerah lainnya.


Bhante sering dibonceng pakai sepeda motor saja oleh almarhum Romo Dharmavirya atau Romo Dharmaloka ke vihara-vihara lain, seperti : Vihara Dharma Wijaya Medan, Vihara Buddha Ramsai Deli Tua, dan lain-lain. Hasil latihan di Muangthai maupun kebiasaan hidup sederhana sejak kecil, sangatlah membantu Bhante dalam menjalani pengabdian kepada Buddha-Dhamma dan umat. Bhante Jin adalah Bhikkhu yang sangat mudah dilayani, fleksibel, simpel, dan humoris. Tidak neko-neko. Tetapi ketat terhadap vinaya yang dilatih pada diri sendiri.

Mulai awal 1980-an, sudah ada yang tertarik mengikuti pelatihan Pabbajja-Samanera di bawah bimbingan Beliau. Orang pertama, seorang pilot bernama Diono yang berlatih selama 3 minggu. Selanjutnya Romo Kumala Kusumah, guru agama Buddha di Perguruan Diponegoro Kisaran, berlatih selama 1 bulan. Orang ke-3 mahasiswa UDA Medan yang Drop-out. Yang ke-4, Kassapa dari Riau. Yang ke-5 dan 6, dua putra Romo Surya dari Rantau Prapat. Orang ke-7 dan ke-8, Yap Ik Sen dan Edy dari P.M.B. Dhammacari Medan. Ke-9, Tolip. Ke-10 dan ke-11, Cin Huat (Albert Kumala) dan Sin Kiat (sekarang Bhikkshu Nyana Prabhassa).

Pada tahun 1988 telah diselenggarakan program pabbajja-Samanera massal pertama untuk Rayon I Sangha Agung Indonesia, diselenggarakan di Vihara Avalokitesvara yang berada di tepi laut Teluk Tapian Nauli Sibolga. Angkatan I ini diikuti oleh 38 peserta. Angkatan II tahun 1989, di tempat yang sama, diikuti 37 orang peserta dari Sangha Agung Indonesia Rayon I, Rayon II, dan Rayon XII (seluruh Sumatera). Dan Angkatan III tahun 1990, di tempat yang sama, diikuti oleh 108 orang peserta dari seluruh Indonesia.

Program Pabbajja-Samanera massal ini telah berlanjut setiap tahun secara rutin. Semua itu berkat inisiatif Romo U.P. Padmajaya Ombun Natio dan Romo Pandita W.Giriputra.

Dalam setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera tersebut, juga diikuti oleh peserta wanita yang menjalankan Atthangika-Sila dan berjubah putih. Dan yang menjadi Uppajjhaya (Guru pentahbis) dalam setiap angkatan adalah Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Dari setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera massal (nasional) tersebut, selalu ada peserta yang tidak lepas jubah. Beberapa orang tetap menjadi samanera di bawah bimbingan Bhante. Beberapa tahun terakhir ini beberapa samanera tersebut dikirim Bhante untuk belajar ke Muangthai. Mereka di Upasampada menjadi Bhikkhu di Vihara Wat Bovoranives.

Tampaknya benih yang ditanam Bhante Jinadhammo Maha Thera mulai berbuah sekarang. Jatah lima belas kepala Bagi peserta Pabbajja-Samanera yang sempat dicukur oleh Bhante Jinadhammo, tentu memiliki kesan yang tak dapat dilupakan. Bhante Jinadhammo benar-benar terampil dan ahli di dalam mencukur botak kepala calon Samanera maupun Bhikkhu. Crak ! Crok ! Craaak !! Croook!!!… demikian suara yang ditimbulkan pisau cukur yang digunakan Bhante di kepala yang sedang dibotak licinkan. Orang yang sedang dicukur bisa kembali mendengarnya. Serasa kulit kepala ikut terkelupas. Tetapi herannya tidak terasa sakit, hanya agak aneh. Namun sepanjang pencukuran yang berlangsung cepat sekali. Craak! Crook! Crak! Crok!, jantung ini terasa ketar-ketir dan empot-empotan.


Tak banyak orang tahu bahwa Bhante Jinadhammo Maha Thera mempunyai reputasi tersendiri di dalam mencukur botak-licin kepala Bhikkhu dan Samanera. Beliau bahkan sempat dipuji oleh seniornya dari Inggris yang terkenal, Bhikkhu Khantipalo, yang bertugas mengawasi Bhikkhu-Bhikkhu Internasional di Wat Bovoranives, Bangkok, Muangthai. Jinadhammo, kamu lebih hebat dari saya meskipun saya lebih senior. Kamu bisa mencukur rambut sendiri, sedangkan saya harus dibantu orang lain, kata Bhikkhu Khantipalo suatu kali. Itu terjadi setelah telinga beliau tercukur pisau ketika ia mencoba bercukur sendiri. Telinganya mengeluarkan banyak darah. Untung saja tidak sampai dijahit dokter. Lho, Bhante kan sudah berlatih vippassana. Kalau hati-hati tentu bisa mencukur sendiri, jawab Bhante Jinadhammo.

Karena memiliki keahlian mencukur rambut, maka Bhante Jinadhammo kemudian dipercaya untuk mencukur rambut 15 orang Bhikkhu dan Samanera setiap bulannya. Jadi setiap bulan menjelang hari Uposattha, bulan purnama, Bhante Jinadhammo diberi jatah mencukur botak 15 kepala Bhikkhu dan Samanera yang tinggal di Wat Bovoranives.

Pekan Penghayatan Dharma

Setelah diselenggarakan program Pabbajja-Samanera massal, yang biasanya dilaksanakan pada bulan Juni-Juli ketika liburan sekolah, kegiatan pelatihan lainnya di Rayon I Sangha Agung Indonesia (Sumut, Riau, Aceh, Padang) mulai ikut terdorong. Pada akhir bulan Desember 1990, telah diselenggarakan SADHARSI (Sapta Dharma Ratana Ramsi) Angkatan I di Vihara Buddha Ramsi Delitua, Deli Serdang. Pelatihan berlangsung selama 7 hari diikuti 23 orang peserta, melaksanakan Atthanga-Sila dan berjubah putih. Kegiatan ini dipimpin dan dibimbing oleh Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera dan Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (almarhum). Materi pelatihan meliputi : sila, pembacaan Paritta dan Sutra, Dharma Class, dan vippassana-bhavana intensif 3 hari. Pelatihan yang berlangsung sepekan ini kemudian juga diadakan di daerah-daerah lainnya. Bahkan kemudian ada pelatihan yang berlangsung 3 hari dan satu hari dengan memanfaatkan hari-hari libur nasional, seperti yang dilakukan oleh PMV Dharma Wijaya Medan dengan bimbingan Bhikkhu Kampiro.

Program Latih Diri Vippassana Bhavana

Pada akhir Desember 1996, Bhante Jinadhammo membimbing pelatihan Vippassana-Bhavana intensif selama 7 hari di Hutan Kebon Sawit milik Pak Husin, Rantau Prapat-Labuhan Batu, Sumut. Lokasi tempat berlatih cukup terisolir. Medannya cukup menggetarkan nyali orang kota yang jarang turun ke desa, kebun, dan hutan. Apalagi bagi yang sama sekali belum pernah turun ke desa/hutan. Tanggung jawab guru pembimbing sungguh berat dalam pelatihan ini. Lokasi pelatihan berada di tengah-tengah alam kebun sawit yang berdampingan dengan hutan. Peserta yang pria dan wanita semua tidur dalam pondok masing-masing, menjalankan Atthanga Sila, makan satu kali sehari. Tidak boleh berbicara, mengurangi tidur. Mengembangkan kesadaran terhadap segala fenomena yang timbul dan tenggelam. Peserta diberi kesempatan bertanya pada waktu sore hari kepada pembimbing jika ada hambatan yang tidak dapat diatasi. Malam hari di lokasi diberi penerangan dengan lampu badai (lampu kapal). Suara satwa hutan siang dan malam terus menerus memainkan orkestra alam, nyanyian alam itu bisa terdengar seperti suara pembacaan sutra (nien cing; liam keng).

Sebagai pembimbing, Bhante Jinadhammo siang malam mengawasi dan menjaga semua peserta dari gangguan-ganggguan yang tidak diharapkan. Beliau bahkan sempat tidak tidur. Pada Vippassana-Bhavana Angkatan I masih banyak peserta yang belum mampu melaksanakan latihan secara baik. Dan banyak gangguan yang dialami. Namun sekitar 30 orang peserta latihan semuanya sehat selamat sampai akhir pelatihan. Bhante Jin sendiri berkata, Semua peserta bisa keluar dengan selamat, sudah boleh dikatakan sukses pelatihan ini. Pelatihan Angkatan II diselenggarakan di Kebun Sawit Pak Kasim di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Jumlah peserta juga berkisar 30 orang. Jika peserta angkatan I umumnya dari medan dan Rantau Prapat, angkatan II pesertanya meliputi wilayah Sumatera Utara. Pada angkatan II mulai nampak peningkatan kesungguhan berlatih peserta dan lebih tertib. Tampaknya gangguan yang ada relatif sedikit dibandingkan dengan pada angkatan I. Hanya faktor cuaca yang dingin di malam hari terutama dini hari, sedang siangnya panas menyengat sebab pohon sawit yang ada masih setinggi lebih kurang satu meter. Peserta sebagian besar tidur dalam tenda, sebagian kecil dalam pondok. Selesai latihan, peserta dibawa berziarah ke Candi Bahal Portibi, Gunung Tua. Setelah pelatihan Angkatan II, tercetus ide untuk mendirikan vipassana centre, yang kelak diharapkan dapat menjadi tempat berlatih yang lebih baik dalam program Vipassana Bhavana yang akan datang. Pembangunan Vipassan Bhavana Centre di Sibolangit ini sedang dilaksanakan dan Bhante Jinadhammo diangkat sebagai penasehat Panitia Pembangunan Vippassana Centre tersebut.

Pada pelatihan angkatan III, kembali diselenggarakan di Hutan Kebun Sawit Pak Husin, Rantau Prapat. Kali ini partisipasi pengurus Vihara Buddha Jayanthi dan umat cukup membanggakan seperti di Vihara Avalokithesvara Padang Sidempuan (Angkatan II). Pesertanya pun lebih banyak (+ 50 orang) dan lebih beragam : pemuda orang dewasa, termasuk pula ibu-ibu wanita buddhis. Angkatan III berlangsung lebih sukses lagi. Pada hari terakhir pelatihan, Bhante Jinadhammo mentabhiskan Saudara Gunung menjadi Samanera Giri Vicaya. Suasana yang menggembirakan dan sekaligus mengharukan. Setelah pelatihan angkatan III, Bhante Jinadhammo atas nama Sangha telah mendapat sumbangan tanah di atas perbukitan Pulau Moro Riau. Maksud sumbangan tersebut adalah untuk tempat latihan Vippassana Bhavana. Dan atas permohonan umat yang mensponsori kegiatan Pelatihan Vippassana-Bhavana, maka telah disusun rencana pelatihan Angkatan IV tahun 1999 di Padang Sidempuan, Angkatan V di Vippassana Centre Sibolangit (2000), dan Angkatan VI di Pulau Moro Riau (2001). Pengalaman peserta selama latihan sungguh beraneka-ragam. Dan gangguan-gangguan selama latihan di alam terbuka memang cukup banyak dirasakan para peserta. Tetapi semua itu masih dapat dikendalikan di bawah pengawasan Bhante Jinadhammo Maha Thera. Para peserta memperhatikan bahwa selama 7 hari pelatihan berlangsung, Bhante Jin barangkali tidak sempat tidur. Beliau siang malam mengawasi dan membimbing serta melindungi para peserta. Sungguh besar dan berat tanggung jawab guru pembimbing meditasi di alam terbuka dan pinggiran hutan.

Mengangkat Sumpah Sarjana Kedokteran dan Pegawai Negeri
Bertahun-tahun Bhante Jin selalu diminta oleh Universitas Sumatera Utara untuk mengangkat Sumpah bagi Sarjana Kedokteran U.S.U yang beragama Buddha. Demikian pula di Universitas Methodist Medan. Sudah tidak terhitung lagi berapa orang banyaknya. Setiap pengangkatan pegawai negeri yang beragama Buddha, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga yang diminta oleh pemerintahan daerah Wilayah Sumut dan Medan Kota. Demi Sanghyang Adi Buddha, saya bersumpah ……, demikianlah selalu diucapkan oleh yang bersangkutan, seperti juga pada waktu acara pelantikan Bimas Buddha Tingkat I Sumut, Bapak Drs. Arifin Anwar (1994).


Memberikan Bimbingan dan Bantuan Spiritual

Kehidupan di kota besar seperti Medan, kota terbesar ke-3 di Indonesia, kian hari kian kompleks, sumpek, dan menimbulkan ketegangan jiwa bagi para penghuninya, termasuk juga umat Buddha. Almarhum Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (murid Bhante Jin) sering nyeletuk pada masa hidupnya, Umat Buddha biasanya kalau sudah ada masalah baru mau datang ke Vihara. Ini bisa kita buktikan jika mau nongkrong di Vihara Borobudur Medan untuk beberapa waktu. Banyak sekali umat yang datang ke vihara menjumpai Bhante Jin. Mereka membawa beban batin dan masalahnya masing-masing. Mulai dari broken heart sampai yang kena PHK, dari yang broken home sampai stres berat karena uangnya dilarikan bisnis MLM Penggandaan Uang yang menghebohkan, dari korban penjarahan hingga pengungsi Aceh yang lari diancam bunuh oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Komplitlah segala macam Dukkha bisa disaksikan. Ramai. Tua dan muda, pria dan wanita, semua ada. Mereka datang mohon konsultasi dengan Bhante Jin. Ada yang minta berkah. Ada yang minta air aqua. Ada yang sekedar mengharap penghiburan. Ada yang minta dorongan. Ada yang mencari ketenangan batin. Ada yang minta perlindungan. Ada yang minta rekomendasi alias Katabelece. Bahkan yang minta duit juga banyak, apakah orang yang susah betulan, orang susah karena malas (tipu-tipuan), atau OKP serta preman Medan.

Orang yang serius datang mencari Dhamma yang langka ada beberapa kasus, orang tertentu yang berlatih meditasi tanpa guru dan mendapat gangguan psiko-fisik : kundalininya teraktifkan, cakra tertentu terlalu aktif, gangguan dari luar (makhluk halus), mereka datang ke Bhante Jin dan mendapat bantuan yang praktis atau nasehat yang sederhana tetapi jitu langsung ke akar persoalan. Terkadang Bhante Jin suka memberi petunjuk secara tidak langsung meskipun yang bersangkutan tidak mengutarakan permasalahannya. Bagi yang waspada dan tahu maksudnya, beruntung. Bagi yang belum tahu cara komunikasi khusus ini, biasanya bengong alias tidak tahu ujung dan pangkal. Bhante Jin juga sering memberi teguran dan peringatan kepada muridnya maupun umat dengan gaya bahasa Marah Anak Sindir Menantu. Maksunya, menegur si A tetapi tujuannya adalah memarahi/memperingatkan si B atas kesalahan dan kekeliruannya. Efeknya, si A bisa-bisa kebingungan dan berpikir, Apa yang terjadi … ya ? Namun si B pastilah merasa, seperti bunyi pepatah, siapa makan cabai pasti merasakan pedasnya.

Sokongan Bhante di Bidang Pendidikan Agama Buddha

Bhante Jinadhammo juga punya perhatian yang besar untuk kemajuan sarana pendidikan Buddhis di tanah air. Ketika Institut Ilmu Agama Buddha Samaratungga berdiri di Ampel Boyolali Jawa Tengah, Bhante Jin menyumbangkan beberapa unit perangkat komputer untuk fasilitas mahasiswa dan institut. Juga buku-buku ensiklopedi dan buku pintar lainnya. Ketika Institut Ilmu Agama Buddha Samaratungga Cabang Medan didirikan, Bhante Jin menjadi penasehat yayasan sekaligus dosen. Dan sejak 1993 hinggal 1996, Bhante Jin mengasuh mata kuliah Vinaya Pitaka. Mahasiswa Bhante Jin di IIAB Samaratungga Medan pada mulanya agak bingung menerima mata kuliah Vinaya yang diasuh Bhante. Sebab gaya ceramah Bhante Jin memiliki Style tersendiri. Mahasiswa harus ekstra konsentrasi, jika tidak bisa-bisa tidak menangkap alur komunikasi Bhante. Bahkan terkadang suara Bhante Jin menjadi sangat perlahan. Hampir tidak terdengar artikulasi kalimat yang diucapkan. Untungnya ada mahasiswa yang punya kiat tersendiri, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terarah. Ini mendapat jawaban Bhante yang lebih jelas dan wawasan Bhante menjadi tersalur keluar. Terutama bila membahas kasus-kasus yang berkaitan dengan Vinaya. Mengikuti perkuliahan Bhante Jin, mahasiswa merasa rileks. Bhante Jin biasanya suka bicara humor. Suasana jadi menyegarkan. Ada ungkapan Bhante Jin yang selalu diingat mahasiswa. Jangan memakai kaca pembesar dalam mempelajari vinaya. Maknanya, memandanglah secara proposional terhadap Vinaya, baik dari segi teoritis maupun praktisnya ; dan haru sberlandaskan pada Jalan Tengah ajaran Buddha Gautama. Di Ampel maupun Medan, Bhante Jin mempunyai beberapa anak asuh di IIAB Samaratungga. Setelah mempunyai pekerjaan, anak asuh tersebut dilepaskan agar belajar mandiri, bekerja sambil kuliah. Di Vihara Borobudur Medan sejak awal 1990-an telah pula memiliki Kitab Suci Tripitaka sebanyak 2 set. Satu set berbahasa Pali, satu set lagi berbahasa Inggris. Kitab Suci Tripitaka ini dipesan Bhante Jin dari Muangthai. Sekarang sudah diperbanyak oleh beberapa pihak di Medan. Keberadaan Kitab Suci Tripitaka ini telah pula merangsang berdirinya penerbit Buddhis Pundarika. Dan berguna pula bagi bahan perkuliahan serta penulisan skripsi mahasiswa. IIAB Samaratungga Medan telah menerbitkan 2 Kitab Suci Sutta pitaka, yaitu Ittivutaka dan Udana. Kedua kitab yang diterjemahkan tersebut telah pula menjadi bahan perkuliahan mahasiswa. Kitab-kitab lain sedang dalam proses penerjemahan saat ini. Selain untuk pendidikan Buddhis kalangan sendiri, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga sering didatangi oleh para mahasiswa dari IAIN (Institut Agama islam Negeri) Medan. Mahasiswa-mahasiswa itu biasanya dari jurusan Ushuluddin (Perbandingan agama) yang mendapat tugas membuat makalah atau skripsi yang berhubungan dengan agama Buddha. Demikian juga dari mahasiswa Sekolah tinggi Teologi Kristen. Bhante selalu memberikan jawaban-jawaban yang lugas, dan mudah dipahami. Untuk referensi yang diperlukan, biasanya Bhante merekomendasikan mahasiswa tersebut ke IIAB Samaratungga Medan dan Bimas Buddha Departemen Agama Tingkat I Sumut.

VIHARA-VIHARA

Vihara Swastimuni Siang itu udara begitu cerah, burung-burung yang hinggap di atas atap Vihara Swastimuni, bersiul riuh rendah secara serentak memberi semangat pada matahari yang sedang menyirami bumi dengan cahayanya yang penuh kehangatan. Angin berhembus sepoi-sepoi menyamai benih kebahagiaan. Suasana di kota kecil produsen peyek Kisaran itu begitu ceria, lain dari biasanya. Awan putih di atas sana mengintip penuh keheranan, siapa gerangan yang akan datang, mengapa alam tampak begitu berseri ? Tak ingin lama berada dalam kebingungan ia pun bertanya pada ikan yang sedang menari-nari di dalam sungai Silo, sambil sesekali mereka melompat, menghirup udara segar dan menyemplung lagi ke dalam sungai, ikan-ikan itu tak kuasa menyembunyikan suasana hati mereka yang sedang bahagia. Saking asyiknya mereka sampai tak mendengar pertanyaan si Awan Putih. Beberapa saat kemudian dari peraduannya di langit biru Awan melihat ke bawah, ada sebuah mobil yang memasuki kota Kisaran, roda mobil itu terus berputar dan akhirnya berhenti di depan Vihara Swastimuni. Di sana telah banyak umat yang sedang menunggu, mereka tanpa dikomando lagi langsung merangkupkan kedua tangan di dada bersikap anjali. Salah satu dari mereka membukakan pintu mobil tersebut. Dari dalam keluar seseorang yang telah menggetarkan alam dengan kebajikan yang telah ditanamnya. Dengan menyungging senyum di wajahnya yang polos beliau membalas sapaan orang-orang yang menyambut kedatangannya. Diikuti oleh para umat beliau yang terkenal dengan ketaatannya pada Vinaya mengayunkan langkah memasuki Vihara Swastimuni. Di dalam bhaktisala telah tersedia alat-alat kebaktian, umat duduk dengan tenang bersiap-siap mengikuti Kathina Puja yang akan dipimpin oleh Bhikkhu yang sekaligus mewakili Sangha Agung Rayon I itu. Selesai kebaktian Bhikkhu yang sudah akrab di mata umat Buddha ini berkenan memberikan Dhammadesana. Yang Arya memberitakan asal-usul dan makna Hari Kathina. Bhikkhu Jinadhammo bukan hanya pada hari-hari besar saja memberikan khotbah Dhamma, tetapi juga setiap hari bagi mereka yang sedang membutuhkannya, beliau akan menjawab kegelisahan mereka dengan Buddha Dhamma yang didukung oleh pengalaman hidupnya. Begitulah Bhikkhu Jinadhammo yang selalu berusaha menyejukkan di saat kegerahan.

Beliau yang ramah dan disiplin sudah menjadi langganan undangan oleh vihara-vihara yang merayakan hari-hari besar umat Buddha, termasuk juga Vihara Swastimuni di Kisaran. Surat dari Vihara Buddha Warman Padang. Bhante Jinadhammo adalah sosok anggota Sangha yang sudah tidak asing lagi bagi umat Buddha di Vihara Buddha Warman, Padang dan juga umat Buddha di Sumatera Barat. Beliau adalah ibarat Pelita Dharma bagi kami, yang senantiasa menerangi, membina, dan mengayomi kami dalam keadaaan senang dan susah. Beliau adalah Bhikkhu senior yang sangat sederhana dan bersahaja serta sikap beliau yang tenang, penuh cinta kasih, dan kadangkala juga bisa humor. Mungkin kejadian yang akan kami kisahkan ini dapat memberi gambaran betapa kesederhanaan dan bersahajanya beliau. Pada suatu hari Bhante Jinadhammo secara mendadak tanpa kabar terlebih dahulu berkunjung ke Vihara Buddha Warman padahal pada waktu itu vihara tidak ada penghuni, sehingga Bhante terpaksa menunggu cukup lama sampai pintu vihara dibuka. Sewaktu kami tanyakan pada Beliau, Mengapa Bhante datang mendadak dan mengapa Bhante tidak memberi kabar terlebih dahulu ?, sambil tersenyum Beliau balik bertanya, Kalau kami beri kabar terlebih dahulu, apakah mau diadakan upacara penyambutan ? Bukan begitu Bhante, kan kasihan Bhante terpaksa menunggu lama, dan lagi pula kamar kuti belum dipersiapkan. Dengan santai Bhante menjawab, Ah… itu tidak jadi masalah, tidur di mana pun boleh, bahkan di meja pingpong ini pun jadilah, tidak apa-apa kok, di desa-desa juga banyak vihar ayang belum punya kuti, jadi tidurnya ya … di lantai Bhaktisala saja. Keteguhan Beliau menjalankan sila keBhikkhuan adalah cara mengajar dan mendidik umat yang lebih ampuh daripada hanya sekedar khotbah dengan kata-kata. Petunjuk dan nasehat Beliau yang begitu terasa begitu spontan dan kadangkala dianggap lucu serta kurang dimengerti oleh umat, padahal sesungguhnya mengandung makna yang sangat dalam.


Ketika masa-masa sulit dialami oleh Cetiya Buddha Warman sekitar tahun 19760-1978 dimana terjadi kemunduran dalam kegiatan perkembangan agama Buddha di Padang, hanya Bhante Jinadhammo yang masih rutin mengunjungi cetiya kami, dua atau tiga bulan sekali. Ketika kegiatan cetiya mulai bangkit kembali pada tahun 1979 dengan berdirinya Gelanggang Remaja Buddhis Padang (yang sekarang berubah nama menjadi Persaudaraan Muda Mudi Vihara Buddha Warman Padang), Beliau juga sangat berperan dalam memberikan motivasi dan semangat pada generasi muda waktu itu. Tahun 1980 Beliau pulalah yang menaikkan status cetiya kami menjadi Vihara Buddha Warman Padang. Pada bulan Mei 1983, ketika Gelanggang Remaja Buddhis Padang (GRBP) mengadkan Dharmasanti Waisak 2527 di Aula SMA Don Bosko Padang Bhante Jinadhammo berkenan hadir dan menyampaikan Kata Sambutan serta Renungan Waisak 2527. bahkan beberapa kali acara Dharmasanti Waisak yang diadakan di Padang, beliau berkenan menghadirinya. Beliau juga sangat berperan dalam merintis berdirinya vihara-vihara lain di Propinsi Sumatera Barat, seperti Vihara Buddha Sasana Bukit Tinggi, Vihara Buddha Metta Payakumbuh, dan Vihara Karuna Murti Padang Panjang. Ketika rencana kami untuk memindahkan lokasi Vihara Buddha Warman dari jalan Kelenteng I/3 ke Jalan Muara No. 34 terkatung-katung karena kekurangan dana untuk membeli tanah di lokasi yang baru, Beliaulah yang dengan penuh kharisma memberikan saran dan petunjuk serta nasehat kepada Bapak Wijaya Effendy (alm.), Ketua Yayasan Triratna Padang, sehingga Bapak Wijaya Effendy bersedia meminjamkan uang pribadinya untuk membeli tanah guna membangun gedung vihara yang baru. Dan ketika pembangunan gedung baru Vihara Buddha Warman Padang dimulai, pada tanggal 29 Juli 1988 tepat pada peringatan Hari Suci Asadha2543, beliau bersama-sama dengan Y.A. Sthavira Aryamaitri, Y.A. Bhikshu Nyanamaitri dan seorang Samanera melaksanakan pembacaan doa dan melakukan peletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung baru vihara. Bahkan Bhante juga membantu kami mengumpulkan dana/sumbangan untuk pembangunan gedung baru vihara dari umat Buddha di Medan. Pada pelantikan Pengurus Yayasan Triratna Padang dan sekaligus peringatan HUT ke-30 Yayasan Triratna Padang tanggal 22 Agustus 1996, Beliau dan Bhante Arya Maitri berkenan hadir untuk melantik dan memberkahi serta memberikan semangat dan motivasi pada para pengurus yayasan yang baru. Akhir-akhir ini memang Bhante Jinadhammo tidak punya jadwal rutin lagi untuk berkunjung dan membina umat Buddha di Padang (Sumatera Barat), hanya sekali-sekali Beliau masih menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Vihara Buddha Warman Padang dan juga bilamana ada acara-acara penting yang mengharapkan kehadiran Beliau.


Hal ini dapat kami maklumi karena pada kenyataannya masih banyak umat di vihara-vihara lain di Rayon I yang lebih memerlukan sentuhan pembinaan dan asuhan dari Beliau. Apalagi mengingat bahwa usia Beliau juga semakin lanjut, tentu saja Beliau tidak bisa seperti dulu lagi terlalu sering berpergian jauh ke daerah-daerah, lagipula sekarang telah ada para Bhikkhu muda dan Samanera yang Beliau bina untuk membantu meringankan tugas-tugas pembinaan Beliau di Rayon I. Sampai saat ini bilamana ada masalah dan persoalan yang cukup berat harus kami hadapi dan selesaikan, kami selalu menghubungi beliau melalui telepon untuk mendapatkan petunjuk dan saran, serta nasehat dari Beliau yang bijaksana. Dengan sedikit berkurangnya kesibukan Beliau membina umat, diharapkan agar Beliau mempunyai lebih banyak waktu untuk menyendiri guna kemajuan kesucian Beliau sebagai seorang anggota Sangha Agung Indonesia yang senior.


Akhir kata kami para murid dan umat asuhan Bhante di Vihara Buddha Warman Padang senantiasa berdoa semoga Bhante senantiasa sehat dan bahagia dalam berkah dan lindungan Sanghyang Adi Buddha, Sang Triratna serta para Bodhisatva. Kembalinya Buddha Dhamma di Bumi Sriwijaya Boleh dikatakan propinsi Riau merupakan tanah Sriwijaya, karena di sinilah kerajaan Sriwijaya dulu terpusat. Pada masa tersebut agama Buddha tumbuh dengan subur, dan bahkan menjadi salah satu pusat pendidikan Buddhis di dunia. Namun sejalan dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya, agama Buddha juga seolah sirna dari daerah Riau. Sekian lama terpendam, akhirnya agama Buddha muncul kembali di bumi Sriwijaya ini dan kembali menunjukkan kiprahnya. Hal ini ditandai dengan munculnya vihara-vihara di daerah Riau, seperti Vihara Buddha Sakyamuni dan vihara Buddhasasana (Andiva) yang terdapat di Bagansiapiapi, Vihara Dharma Loka di Pekan Baru, dan Vihara Buddha Diepa di Tanjungbalai Karimun. Suburnya tumbuh kembang vihara-vihara di Riau pada masa sekarang ini, tak lepas dari semangat dan usaha seorang pengabdi Dhamma, yakni Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera selaku Ketua Rayon I Sangha Agung Indonesia. Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera ikut serta dalam berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh penduduk setempat, baik dalam acara peltakkan batu pertama pendirian vihara, acara peresmian vihara, pensakralan buddha rupang, maupun kebaktian hari besar Agama Buddha.


Pada tahun 1990 Bhikkhu Jinadhammo bersama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita melakukan upacara pensakralan Buddha Rupang milik Vihara Buddha Diepa (yang pada waktu itu belum berdiri). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1996 Bhante Jinadhammo disertai Samanera Nyana Kirti menghadiri acara peletakkan batu pertama pembangunan Vihara Buddhasasana. Dan pada tahun yang sama pula Bhikkhu Jinadhammo menghadiri acara peresmian Vihara Buddha Diepa di Tanjung Balai Karimun bersama Bhikkhu Aryamaitri, tepatnya pada tanggal 22 Nopember 1996. Berdiri dan berkembangnya Vihara Sakyamuni di Bagansiapiapi juga tak terlepas dari jasa Bhikkhu Jinadhammo. Dari daerah ini pula kemudian menelorkan seorang Bhikkhu muda, yakni Bhiksu Nyana Prajna. Bukan hanya menghadiri acara-acara keagamaan di vihara-vihara namun yang di luar vihara pun juga dihadiri oleh Bhikkhu Jinadhammo. Tanpa memilih tempat, beliau menyebarkan Dhamma. Perhatiannya juga dicurahkan untuk para penduduk transmigran yang berasal dari Kampung Sela, Jawa Tengah, yang sekarang bermukim di daerah pemukiman penduduk transmigran di Kecamatan Kampar di Riau. Dharma Wijaya Medan Seperti rumah ibadah umat Buddha lainnya, Vihara Dharma Wijaya pun disinggahi oleh sang pelanglang buana Y.A. Bhante Jinadhammo Mahathera. Beliau tak hanya singgah, tetapi juga meresmikan renovasi pertama vihara yang terletak di jalan Wahidin tersebut. Selain itu Bhante yang selalu ramah kepada siapa saja ini juga selalu menghadiri perayaan hari-hari besar umat Buddha yang diadakan di vihara tersebut. Di mata muda-mudi pemutar roda organisasi Persaudaraan Muda-Mudi Vihara Dharma Wijaya(PMVDW) sendiri, beliau yang telah menjajaki hampir di setiap jengkal daerah Sumatera Utara, khususnya yang berpenduduk buddhis ini adalah seorang humoris, namun bukan berarti beliau tidak bisa diajak serius.


Genap tiga puluh tahun vassa yang telah dijalaninya, banyak sudah asam garam yang dicicipinya. Suka duka seorang penyambung lidah Sang Buddha pun telah dirasakannya. Tak pelak lagi pengetahuannya di bidang Buddha Dhamma semakin luas. Semua ini terungkap lewat khotbah-khotbah beliau ataupun dalam percakapan sehari-hari dengan umat. Tak jarang kita sebagai umat biasa yang masih jauh tertinggal di bawahnya bila diukur dengan meteran dhamma sulit sekali mencerna kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut beliau. Fenomena seperti ini seharusnya dijadikan sebagai cambuk bagi kita untuk lebih giat lagi menggali khasanah Buddha Dharma. Namun sayang obrolan yang tidak nyambung oleh karena kadangkala pengetahuan yang kita miliki ini sering menimbulkan kejenuhan dalam diri kita sebagai umat biasa untuk melanjutkan obrolan tersebut. Kenyataan tersebut di atas bukan hanya diakui oleh muda-mudi yang berkecimpung di organisasi PMVDW, tetapi juga disadari oleh kita semua sebagai orang yang pernah bersua dengan beliau. Andai saja mau menjadikan pengalaman hidupnya menjadi milik kita, tentu saja banyak yang dapat kita peroleh darinya. Caranya ? Salah satu caranya dengan membaca buku biografi tentang diri beliau yang sedang berada di genggaman kita tentunya.


Vihara Bodhi Mandapa Di daerah Sukaramai, Medan, ada sebuah vihara yang cukup bersemangat dalam pengembangan Dhamma dalam wujud nyata berupa kegiatan sosial. Vihara itu tak lain tak bukan adalah Vihara Bodhi Mandapa yang terletak di Jalan Perguruan yang berdiri pada tanggal 21 Mei 1991. Dalam usianya yang masih cukup muda, Vihara dan Generasi Muda Buddhis Vihara Bodhi Mandapa sudah memiliki prestasi yang cukup dapat dibanggakan. Bagi para pengurus vihara dari Generasi Muda Buddhis Vihara Bodhi Mandapa ini, semangat mereka terpacu berkat kehadiran Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Figur inilah yang selalu membawa kesejukan, keteladanan dan semangat bagi mereka. Kehadiran Bhikkhu Jinadhammo dalam peletakkan batu pertama dan pemberkatan pembangunan vihara, juga memimpin doa syukuran selesainya pembangunan vihara merupakan berkah tersendiri bagi mereka. Apalagi Sang Figur bersedia dan sering memenuhi undangan khotbah dan pemberian Visudhi Tisarana di Vihara Bodhi Mandapa. Buddha Jayanthi Vihara Buddha Jayanthi merupakan salah satu vihara yang terkenal di daerah Rantau Prapat. Vihara Buddha Jayanthi yang terletak di Jalan Gatot Subroto No. 12-14 Rantau Prapat merupakan vihara yang umum dikunjungi oleh Sangha Agung Indonesia Rayon I, khususnya Yang Arya Bhante Jinadhammo Maha Thera. Vihara ini merupakan tempat sembahyang dan kegiatan-kegiatan agama Buddha sebagian besar umat Buddha di Rantau Prapat. Vihara ini mempunyai 4 lantai. Lantai I dipergunakan untuk dapur, bursa Dhamma Corner, serta fasilitas lainnya. Di lantai II terdapat Bhaktisala untuk tempat sembahyang. Lantai III dipergunakan untuk tempat perkantoran muda-mudi, yayasan, kamar Sangha, ruangan tamu, dan kamar mandi. Sedangkan pada lantai IV dipergunakan untuk tempat jemuran pakaian dan sebagainya. Rencananya vihara ini akan diperluas dan dikembangkan lagi. Perkembangan Vihara Buddha Jayanthi ini sangat maju semenjak didirikan sampai sekarang, karena keinginan yang kuat dari umat Buddha Rantau Prapat. Umat dan muda-mudi di vihara ini sangat kagum dan senang sekali terhadap Yang Arya Bhante Jinadhammo Maha Thera. Setiap Bhante datang, selalu disambut dengan baik dan ramah sambil tidak lupa menyediakan segelas juice, kopi, teh ataupun susu. Umat ataupun muda-mudi vihara ini sering mengundang Bhante Jinadhammo dalam acara atau kegiatan-kegiatan hari besar Agama Buddha, seperti : Hari Raya Kathina, Hari Tri Suci Waisak, atau Pho Un. Umat Buddha dari Vihara Buddha Jayanthi Rantau Prapat telah memberikan sedikit kesan terhadap Y.A. Bhante Jinadhammo Maha Thera, seperti yang tertulis dalam kutipan di bawah ini. Kami sangat bangga dan bersyukur, mempunyai seorang Rohaniwan seperti beliau yang begitu lemah lembut, sangat disiplin menjalankan sila dan penuh kebijaksanaan dalam membimbing umat Buddha, khususnya di daerah kami di Rantau Prapat.

Mutiara dari Kota Kerang

Untuk pertama kalinya Bhikkhu Jinadhammo menginjakkan kakinya di Kota Kerang, Tanjung Balai, pada tahun 1977, bersama ibu Nora dan ibu Neri dari Vihara Borobudur, Medan. Pada saat itu agama Buddha dan vihara yang ada di Tanjung Balai lebih cenderung pada tradisi orang Tionghoa daripada Buddha Dhamma. Belum ada pembacaan paritta di vihara dan pelajaran agama Buddha. Yang baru dimasukkan dalam kurikulum sekolah pada waktu itu pun hanya diajarkan sepintas lalu saja sesuai buku pedoman yang ada, juga oleh guru yang juga tidak mengenal Buddha Dhamma secara utuh dan mendalam, atau lebih tepatnya tidak memahami Buddha Dhamma. Mula-mula kedatangan Bhikkhu Jinadhammo dirasakan sebagai momok bagi guru yang bersangkutan, sehingga sang guru tak berani menghadap beliau. Guru itu adalah Ibu Susiani Intan (Ibu Sui Siang). Adapun sebab ketakutan tersebut adalah perasaan malu yang menggunung, karena sebenarnya ia tak mengerti tentang Buddha Dhamma tapi mengajar pelajaran agama Buddha, bahkan untuk membaca sebuah paritta saja pun tak bisa. Namun Bhikkhu Jinadhammo bukanlah orang yang mudah putus asa.


Untuk kedua kalinya beliau datang ke Tanjung Balai dengan menaiki kereta api, dan kali ini dengan perasaan yang amat berat Ibu Susiani Intan mau tak mau datang untuk memenuhi panggilan Sang Bhante. Kendala kedua pun muncul karena ternyata Bhikkhu Jinadhammo tidak begitu fasih berbahasa Indonesia, dan logat Jawanya masih agak kental, di lain pihak ibu Intan juga kurang fasih dalam bahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa. Masa-masa sulit ini akhirnya berlalu juga. Selanjutnya setiap seminggu sekali Bhikkhu Jinadhammo datang ke Tanjung Balai dengan naik kereta api untuk mengajari Ibu Intan membaca paritta-paritta suci. Setiap seminggu sekali 1 paritta diajarkan, dan dengan rasa bangga pula Ibu Intan mengajarkannya kepada siswa-siswanya di sekolah. Suatu momen yang tak dapat dilupakan oleh umat Buddha Tanjung Balai, khususnya bagi para pelaku sejarahnya adalah dibawanya patung Buddha Sakyamuni sebagai hadiah dari Sang Bhante untuk umat Buddha di Tanjung Balai. Karena belum ada tempat untuk menaruhnya, maka Ibu Intan meminta sedikit ruang dari Vihara Avalokitesvara untuk dijadikan sebagai tempat pemujaan dan tempat kebaktian bagi muda-mudi. Pada hari itu juga umat Buddha Tanjung Balai, khususnya muda-mudinya untuk pertama kali merayakan hari Kathina yaitu Kathina 2521.


Pernah pada suatu perayaan Hari Waisak yang diadakan di Vihara Avalokitesvara, Bhikkhu Jinadhammo sempat diamankankan oleh pihak berwajib karena diduga sebagai orang aneh yang berusaha menghimpun massa. Tapi setelah diselidiki akhirnya beliau diperkenankan untuk kembali ke vihara untuk melanjutkan Waisaka Puja. Hal ini bisa dimengerti karena pada masa itu umat Buddha Tanjung Balai belum pernah sekalipun menyelenggarakan acara semacam itu. Karena sebab-sebab tertentu, akhirnya Ibu Intan dan siswa-siswanya harus mencari tempat lain untuk melaksanakan kebaktian. Dan bersamaan pada waktu itu ada 5 orang yang cukup berpengaruh juga bermaksud untuk mendirikan vihara baru untuk tempat kebaktian semua umat Buddha.


Atas restu dan petunjuk dari Sang Bhante serta usaha keras dari Ibu Intan dan kerjasama dari 5 orang sahabat tersebut, akhirnya ditemukan 1 tempat yang cocok, yaitu sebuah rumah tua yang menghadap ke sungai Asahan. Rumah ini kemudian direnovasi sedikit untuk dijadikan vihara. Vihara ini kemudian diberi nama Vihara Tri Ratna dengan diresmikan oleh Walikota Tanjung Balai pada masa itu, Bapak Drs. H. Ibrahim Gani pada hari Sabtu Wage, 3 Nopember 1984. dan Ketua I Yayasan Vihara Tri Ratna pada saat itu adalah Bapak Lie Thien Cai.

Tidak berhenti sampai di situ saja, Bhante masih tetap rajin berkunjung ke Tanjung Balai untuk memberi semangat spiritual bagi umat Buddha Tanjung Balai sampai saat ini. Sedangkan Ibu Intan sendiri sekarang sudah tidak aktif lagi dalam kegiatan keagamaan karena usia yang semakin tua dan kesehatannya yang semakin menurun. Namun dari usaha para pelopor ini, sekarang Vihara Tri Ratna dan muda-mudinya sudah cukup menunjukkan prestasinya, dan ada juga mantan muda-mudi vihara ini yang mengikuti jejak sang guru, mencurahkan semangat, pikiran dan tenaga di bidang keagamaan.

Menaklukkan Tanah Karo

Secara umum orang di bumi Andalas menganggap bahwa agama Buddha itu miliknya etnis Tinghoa saja, sedangkan Islam miliknya orang Melayu, dan orang Karo pasti beragama Kristen. Bila ada guru agama Buddha yang beragama Sembiring, Sitepu, ataupun Ginting, orang akan langsung bertanya, Apa tidak salah?, dan dilanjutkan dengan pernyataan, Pasti dia bukan beragama buddha. Tapi kenyataannya memang banyak juga guru agama Buddha yang betul-betul beragama Buddha di Sumatera Utara ini yang bersuku Karo. Mengapa bisa demikian? Jawabannya adalah karena ada pengabdi Dhamma yang telah bersusah payah mendatangi, menaklukkan, serta menabur benih Dhamma di Tanah Karo, yakni Bhante Jinadhammo yangdibantu oleh Drs. Arifin Anwar selaku Pembina Buddha Tingkat I Sumatera Utara. Boleh dikatakan kampung asal para guru agama Buddha yang bersuku Karo tersebut cukup jauh dari kota Medan, tempat Bhikkhu Jinadhammo berdiam. Belum lagi kondisi jalannya yang belum baik dan tak bisa dicapai dengan mobil, melainkan harus dengan cara berjalan kaki sejauh + 7 km, seperti contohnya desa Parangguam, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.


Sebelum menganut agama Buddha, penduduk setempat menganut kepercayaan Pemenah (yang berarti pertama atau wal) dan berpegang teguh pada ADAT (Ajaran=ajaran; Dibata=Tuhan; Arah=melalui, Tua-tua=orang tua), atau ajaran Ketuhanan melalui orang tua. Menyadari bahwa yang mereka anut masih berupa suatu kepercayaan, tumbuh kesadaran dari mereka untuk menganut suatu agama yang diakui pemerintah secara sah. Atau usul Bapak Dirjen Sitepu, Bapak Johan Sitepu dan Gandih Sitepu pun mencari Bhikkhu Jinadhammo di Vihara Borobudur Medan untuk memohon kepada beliau agar melakukan pembinaan secara Buddhis terhadap masyarakat Karo yang ada di desa Parangguam. Maka sejak tahun 1984 sebagian penduduk Parangguam sudah beragama Buddha dan langsung di Trisarana-kan dan dibina oleh Bhikkhu Jinadhammo. Dalam sembilan kali kunjungan beliau ke sana, mereka sudah cukup memahami Buddha Dhamma yang diajarkan pada mereka, karena tidak terlalu jauh berbeda dengan kepercayaan lama mereka. Mungkin kendala bagi mereka adalah untuk membaca dan memahami paritta-paritta yang berbahasa Pali yang masih sangat asing bagi lidah dan telinga mereka. Tapi dalam waktu dekat ini mudah-mudahan kendala tersebut dapat diatasi, karena di antara pemuda Karo yang telah mengecap pendidikan di Institut Ilmu Agama Buddha telah mulai menyadur paritta-paritta tersebut ke dalam bahasa Karo.


Pada tahun yang sama pula, atas rintisan dari Bhante Jinadhammo, Upa. Giriputra dan Ibu Marianiwaty, dimulailah pembangunan Cetiya Sakya Kirti di atas setapak Tanah di Parangguam Male, disumbangkan oleh penduduk setempat. Dan sekarang ini bukan hanya Cetiya Sakya Kirti saja yang terdapat di tanah Karo, tapi juga sudah ada vihara-vihara yang lain, seperti Vihara Kassapa yang terletak di Simpang Glugur, Desa Turangi, dan Vihara Sriwijaya yang terletak di desa Parangguam Baru, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Tumbuh kembangnya kedua vihara ini juga tak lepas dari tangan Sang Satria Jubah Kuning, Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Di Sibiru-Biru juga ada vihara dan cetiya milik umat Buddha suku Karo, yaitu Vihara Sangha Ramsi dan Cetiya Vanara Seta. Bertolak dari hal ini dapat kita katakan bahwa Buddha Dhamma tidak membedakan suku maupun golongan, demikian juga seorang pengabdi Dhamma sejati akan berusaha menyemaikan Buddha Dhamma ke mana saja tanpa mempersoalkan kesukarannya.


Sekilas Vihara Kassapa Vihara Kassapa telah berdiri selama lebih kurang 10 tahun, dimulai dari pembelian tanah 2 Rantai yang berlokasi di simpang Glugur, desa Turangi, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Setelah itu dibangun bangunan semi permanen, pagar keliling, kamar, sumur, dan sampai sekarang difungsikan sebagai vihara. Lokasi Vihara Kasappa yang berada di simpang Glugur tersebut berdiri di atas tanah 792 m2. Pemilihan lokasi terletak di pinggir jalan, fasilitas transportasi yang memudahkan, fasilitas untuk latih diri (meditasi) sangat memadai, dan dapat dijadikan sebagai tempat vassa bagi anggota Sangha. Bangunannya terdiri dari bangunan Bhaktisala dengan luas 112.5 m2, bangunan Kuti termasuk sebuah kamar mandi dengan luas 70 m2, dan bangunan pengelola dengan luas 36 m2.


Vihara Avalokitesvara Tebing Tinggi

Di Bhaktisala Vihara Avalokitesvara, telah berkumpul para pengurus dari Vihara Maha Dana, Cetiya Ekayana dan Vihara Avalokitesvara sendiri. Mulai dari ketua sampai anggota muda-mudi duduk membentuk lingkaran, mereka akan mendiskusikan suatu kegiatan yang akan diadakan di vihara mereka. Tak lama kemudian dari balik pintu muncul seseorang yang telah ditunggu-tunggu, lelaki berusia parubaya. Siapakah beliau? Adakah ia salah satu dari anggota yayasan vihara? Tidak, ia juga bukan seorang senior di vihara itu, namun demikian, ia mempunyai andil yang cukup besar dalam usaha mencambuk semangat muda-mudi sebagai generasi penerus umat Buddha, khususnya di tempat ibadah umat Buddha di atas. Tak heran bila kehadirannya hari itu begitu diharapkan, walaupun sekedar untuk memberikan saran atu menyaring ide-ide yang masuk. Seperti di kota-kota lainnya, di kota yang terletak di pertengahan antara Medan dan Tanjung Balai ini pun beliau sangat dihormati, bukan karena usia vassanya yang sudah cukup tua, atau karena jubah yang dipakainya, melainkan karena ketulusannya membentang tangan mengajak kita untuk sama-sama membooking tiket kapal menuju pantai seberang. Tentu saja dengan cara melaksanakan Dharma. Berbagai usaha dilakukannya untuk menggali benih ke-Buddha-an yang tertanam di diri kita, melalui khotbah-khotbahnya yang menerobos relung hati. Itu pula sebabnya umat Buddha yang pernah bertemu dengannya, yang pernah mendengarkan khotbah beliau sepakat bahwa ia pantas menjadi salah seorang Bhikkhu panutan di Indonesia.


Y.A. Bhante Jinadhammo yang kerap dipanggil Eyang, hari itu diundang untuk merayakan Hari Suci Waisak di Vihara Avalokitesvara, sebelum kebaktian dimulai beliau diminta kesediaannya untuk mengikuti diskusi. Setelah memasuki bhaktisala beliau langsung bernamaskara dan duduk di tempat yang telah disediakan. Dalam diskusi itu muncul ide brilian dari salah seorang pengurus, dia mengusulkan bagaimana kalau mereka mengadakan suatu kegiatan yang lebih bersifat membina spiritual daripada kegiatan yang heboh namun tidak begitu bermanfaat dalam membantu kita melaksanakan sila di dalam kehidupan kita sehari-hari, contohnya mengadakan kegiatan Atthangga Sila sebulan sekali. Ide ini langsung disetujui oleh Eyang bahkan beliau ingin kegiatan tersebut diadakan setiap akhir pekan, sehingga muda-mudi bisa spend their spare time dengan kegiatan positif. Itulah salah satu contoh betapa Eyang sangat peduli pada generasi muda Buddhis. Semua peserta diskusi takjub dengan usul beliau namun kalau diadakan setiap akhir pekan mungkin mereka akan mengalami banyak hambatan, contohnya izin orang tua untuk menginap di vihara. Diskusi terus berjalan seiring dengan waktu yang terus bergulir. Sampai malam tiba, upacara peringatan Hari Suci Waisak pun diadakan. Yang Arya memasang lilin panca warna sebagai tanda kebaktian dimulai. Tidak memandang Sekte Pengabdi dharma sejati, yang telah berjubah kuning, seyogyanya memang tidak membatasi diri dalam tugasnya melayani umat. Sebagai seorang Bhikkhu dari Sangha Agung Indonesia, figur Bhante Jinadhammo Maha Thera memang cukup dikenal karena beliau tidak lagi terikat pada sekterian atau suatu organisasi. Karena itu pulalah sosok Bhikkhu yang satu ini bisa diterima, dihargai, dan dihormati oleh sekte-sekte lain yang ada di Rayon I ini.


Cetiya Maha Sampati dan Vihara Maha Sampati yang notabene berada di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia tetap memposisikan Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera sebagai penasehat dari organisasi viharanya. Vihara Satya Buddha Purnama, yang terletak di jalan Lombok No. 1 adalah vihara dari aliran Kasogatan yang mana namanya merupakan penganugerahan dari Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Tercatat beberapa vihara di luar vihara Buddhaya yang sering dikunjungi oleh Bhikkhu Jinadhammo, antara lain : – Vihara Sahassa Buddha – Vihara Bodhi Suci – Vihara Bodhi Mandapa – Dll


HARI-HARI SUCI Hari Suci Waisak Semasa pengabdian Yang Arya selama 30 vassa, beliau telah banyak mengahdiri Upacara Kebaktian Hari Suci Waisak sebagai Perwakilan dari Anggota Sangha. Makna dari Hari Suci Waisak yang sering diingatkan beliau pada setiap Hari Waisak adalah untuk memperingati :

* Hari lahirnya Pangeran Sidharta tahun 623 SM.
* Hari Pangeran Sidharta mencapai Kebuddhaan tahun 588 SM.
* Hari Sangha Buddha mencapai PariNibbana (wafat) tahun 543 SM.

Semua kejadian tersebut terjadi pada hari dan bulan yang sama yaitu di pertengahan bulan Waisak. Makna tersebut disampaikan oleh Bhante hingga ke pelosok-pelosok yang dalam seperti di pedalaman desa yang belum beragama Buddha. Bukan muluk-muluk yang sering dikhotbahkan Bhante di Hari Suci Waisak ini dan janji-janji keselamtan untuk orang-orang yang merayakan Hari Suci Waisak, namun beliau senantiasa menekankan agar kita selalu menghilangkan keegoisan diri yang terikat pada diri masing-masing. Sebab itulah yang menjadi penyakit terbesar dalam hidup manusia. Maksudnya saya mau begini, kamu menjadi begitu, ini urusan saya dan kamu tidak berhak mencampurinya, saya musti mendapat penghargaan atas apa yang telah saya perbuat untuk orang banyak dan sebagainya. Kata-kata ini sering diucapkan oleh setiap orang, dan selalu diingatkan oleh Bhante akan bahayanya. Oleh karena kesederhanaan Bhante dalam berkata dan bertindak inilah Bhante memberi bimbingan di Hari Suci Waisak, selama menjalani 30 vassanya.


Tidak kalah peran dari bimbingan beliau, para Bhikkhu dan samanera yang ditugaskan beliau untuk turun ke daerah membantu tugas anggota Sangha. Misalnya, Bhante Suhadayo, Bhante Nyana Nanda (almarhum), Bhante Khampiro Badhrapala, Bhikshu Pratama dan samanera-samanera lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu namanya di buku ini. Dan tidak luput pula cetiya-cetiya, vihara-vihara dan sekolah-sekolah yang ada ajaran Buddhanya (khususnya di Sumatera Utara) turut mengundang beliau untuk memberikan Dhammadesana di Hari Suci Waisak.