Selasa, 28 Desember 2010

04 Sepuluh Tanya Jawab dengan Bhikkhu Uttamo


06 Desember 2010 s.d. 15 Desember 2010
01. Silvie
Monday, 6 December 2010
Hal yang dilakukan sewaktu meditasi
Namo Buddhaya,
Bhante, saya ingin bertanya. Ketika bermeditasi apa yg harus saya renungkan atau apa yang harus saya pikirkan? Kemudian apa yang dimaksud dengan dassana?
Mohon petunjuk dan pejelasannya Bhante.. Terima kasih.
Jawaban :
Meditasi dalam pengertian Buddhis adalah latihan mengembangkan keterampilan memusatkan pikiran pada satu hal. Meditasi dilatih secara rutin. Biasanya meditasi dilatih setiap pagi bangun tidur dan malam menjelang tidur. Lama waktu yang diperlukan setiap kali berlatih meditasi paling sedikit 15 menit sampai dengan 60 menit. Selama berlatih meditasi, seseorang hendaknya memposisikan duduk bersila dengan nyaman terlebih dahulu, kemudian pikiran diarahkan untuk berlatih fokus pada satu hal yang disebut obyek meditasi. Obyek meditasi yang dipergunakan biasanya adalah mengamati udara masuk dan keluar melalui lubang hidung saat seseorang bernafas secara normal. Dengan demikian, pelaku meditasi bukan merenungkan atau memikirkan hal lainnya. Selama meditasi seseorang hanya memusatkan pikiran pada kesadaran bahwa ‘saat ini saya sedang bernafas’.
Apabila kesadaran pada saat ini telah dilatih secara rutin setiap hari, maka tahap selanjutnya adalah mempergunakan kesadaran pada satu obyek tersebut untuk menyadari segala tindakan yang dilakukan dengan badan, ucapan serta pikiran. Usahakan untuk selalu sadar, ‘saat ini saya sedang apa?’ Dengan kesadaran setiap saat, maka lama kelamaan timbullah pengertian bahwa hidup hanyalah proses yang selalu berubah. Pengertian ini akan mengurangi kemelekatan sehingga kebencian maupun ketamakan juga berkurang.
Pemahaman akan hakekat kehidupan yang selalu berubah sehingga mampu melenyapkan kemelekatan inilah yang sering disebut sebagai dassana.
Semoga jawaban ini dapat meningkatkan upaya mengembangkan kesadaran setiap saat dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia dalam kesadaran setiap saat.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
02. Eko Wahyudi
Monday, 6 December 2010<
Abu jenazah
Namo Buddhaya,
Papa saya baru saja meninggal. Kami sepakat jenazah akan dikremasi. 48th yll saat mama meninggal, jenazahnya dikebumikan. Kini kami punya rencana mengambil kembali jenazah (tulang-tulang) mama untuk diperabukan kemudian kami satukan dgn abu papa (2 pak). Rencana abu tsb akan saya titipkan di rumah abu.
Pertanyaan saya, apakah ada syarat / aturan tertentu untuk mengambil jenazah mama yang sudah menjadi tulang tsb ? Mengingat kami dua bersaudara (kakak adik) saat ini belum ada yang pernah mantu.
Xie Xie Bhante atas jawabannya.
Jawaban :
Dalam Kitab Suci Agama Buddha, Tipitaka, tidak terdapat aturan maupun persyaratan menggali dan memindahkan jenasah. Umat Buddha apabila hendak mengadakan upacara pemindahan sisa jasmani seseorang dapat menggunakan tradisi yang berlaku di tempat tersebut. Oleh karena itu, silahkan mencari sanak saudara atau kerabat yang dianggap mengerti tradisi agar tidak bertentangan dengan kebiasaan setempat. Setiap daerah dan kelompok masyakat biasanya memiliki cara tersendiri untuk menyelenggarakan upacara pemindahan serta penyempurnaan sisa jenasah seperti yang ditanyakan.
Secara umum, umat Buddha boleh saja mengurus penggalian dan penyempurnaan sisa jenasah orangtua walaupun dalam keluarga anak masih belum ada yang memiliki menantu. Tidak ada persyaratan khusus untuk hal ini.
Prosesi upacara biasanya dimulai dengan membacakan paritta saat berkunjung ke makam dengan susunan seperti yang ada di buku Paritta Suci. Kemudian, dengan atau tanpa dupa, mengucapkan niat untuk membongkar makam dan mengangkat sisa jenasah untuk di kremasi. Setelah sisa jenasah dikumpulkan dalam peti yang telah disediakan, maka sebelum kremasi dilakukan, keluarga hendaknya membacakan paritta dari buku Paritta Suci yang telah disusun untuk keperluan tersebut. Demikian pula waktu meletakkan kedua kantong abu jenasah di ruang persemayaman abu yang telah disediakan.
Semoga saran ini bermanfaat untuk dijadikan pertimbangan.
Semoga kedua mendiang berbahagia di alam kelahiran yang sekarang sesuai dengan kebajikan yang telah beliau lakukan semasa hidupnya.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
03. Silvie
Monday, 6 December 2010
Papakamma
Namo Buddhaya,
Saya ingin bertanya apa saja perbuatan-perbuatan jahat (papakamma) yang didasari oleh empat dorongan. Dorongan apa saja itu?
Mohon penjelasan serta bimbingannya Bhante.. Terima kasih
Jawaban :
Papakamma adalah istilah bahasa Pali yang bila diterjemahkan menjadi ‘perbuatan jahat’. Istilah ini menunjuk pada segala perbuatan jahat yang dilakukan dengan badan, ucapan dan juga pikiran.
Empat dorongan yang dimaksudkan telah dijelaskan dalam Sigalovada Sutta bait ke 5 yaitu :
1. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan rasa senang sepihak (chanda gati),
2. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan kebencian (dosa gati).
3. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan ketidaktahuan (moha gati) dan
4. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan rasa takut (bhaya gati).
Untuk lebih lengkap, silahkan membaca Sigalovada Sutta yang terdapat pada :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/sigalovada-sutta/
Semoga informasi ini bermanfaat,
Semoga selalu bahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
04. Liauw Yi Fong
Tuesday, 7 December 2010<
Ciong Shio
Namo Buddhaya,
Ada beberapa hal yg ingin saya tanyakan :
1.Apakah dalam Agama Buddha mengenal ciong shio?
2.Berdasarkan ramalan yang mengerti hitungan tanggal lahir Chinese, apabila mendapatkan pasangan beda 6 tahun tidak bagus, jelek dalam menjalani kehidupan rumah tangga, kehidupan ekonomi keluarga tidak lancar. Apakah ini benar ?
3.Adanya ramalan ini membuat saya menjadi bimbang dalam menjalani hubungan ini dgn pacar saya,apakah lanjut atau diputusin saja.
Mohon bimbingan dan penjelasan Bhante. Terima kasih.
Jawaban :
Salah satu tujuan penggunaan istilah ‘shio’ yang berasal dari masyarakat Tionghoa adalah untuk menandai tahun kelahiran seseorang.  Maksud istilah ‘ciong shio’ menunjuk pada ketidaksesuaian watak seseorang dengan shio tertentu terhadap shio yang lain. Karena Agama Buddha berasal dari India, maka tidak mengenal istilah maupun pengertian ciong shio.
Meskipun demikian, umat Buddha boleh saja mempercayai maupun menggunakan perhitungan shio sejauh ia memahami bahwa hal itu bukan merupakan Ajaran Sang Buddha.
Dalam pengertian Buddhis, kebahagiaan dalam rumah tangga bukan ditentukan oleh perbedaan umur tertentu, melainkan karena kemampuan seseorang berkomunikasi serta memahami pasangan hidupnya. Oleh karena itu, ketika seseorang memiliki kerelaan menerima pasangan hidup sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan maupun kelebihannya, maka ia telah memiliki modal utama kebahagiaan untuk hidup berpasangan.
Dengan demikian, apabila dirasa mampu berkomunikasi serta menerima pacar sebagaimana adanya, dan juga hubungan telah disetujui oleh orangtua, maka status pacaran kiranya boleh dipikirkan untuk ditingkatkan menjadi pasangan hidup.
Semoga jawaban ini bermanfaat untuk menentukan sikap terhadap perbedaan usia dengan pasangan.
Semoga berbahagia dalam kehidupan berpasangan.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
05. Suryananda
Wednesday, 8 December 2010
Rasa bersalah
YM Bhante,
Saya memiliki kebiasaan mencuci tangan berlebihan terutama pada saat saya akan melakukan puja bakti. Dalam pikiran, saya menganggap badan saya kotor jika tidak cuci tangan. Sering kali saya menderita karena perbuatan ini dan sering merasa bersalah jika tidak melakukan.
Kemudian saya juga ingin bertanya jika saya menemukan gambar Buddha atau para Bodhisatva atau buku buku Buddhis yg tergeletak di tempat umum apa yg harus saya lakukan mengingat saya sering ingin membersihkan buku atau gambar tersebut. Bila membiarkan buku atau gambar tersebut, saya sering merasa bersalah. Mohon saran Bhante.
Jawaban :
Dalam pengertian Buddhis, kesalahan timbul apabila suatu perbuatan dilakukan dengan niat buruk. Oleh karena itu, jika badan secara umum sudah dapat dianggap bersih, serta tidak memiliki niat buruk untuk menodai kegiatan puja bakti yang hendak dilakukan, maka sebenarnya sudah tidak perlu lagi mencuci tangan secara berlebihan. Apalagi, kalau sudah mengerti bahwa tindakan tersebut berlebihan serta menimbulkan penderitaan.
Untuk mengatasi timbulnya rasa bersalah, kembangkanlah kesadaran untuk meneliti niat yang muncul saat tidak mencuci tangan karena memang sudah bersih. Bila tidak ada niat buruk, maka lanjutkan kegiatan puja bakti tanpa harus mencuci tangan lagi. Saat muncul kembali pikiran yang mendorong untuk cuci tangan, sadari timbulnya pikiran tersebut dan amati lagi niat yang muncul. Dengan berlatih kesadaran seperti ini terus menerus, maka keinginan mencuci tangan secara berlebihan perlahan-lahan akan dapat dikurangi bahkan diatasi.
Sedangkan, ketika melihat gambar Buddha maupun Bodhisatta serta buku Buddhis yang ada di tempat umum apabila keadaan memungkinkan, boleh saja membersihkan serta meletakkannya di tempat yang lebih layak. Sikap mental ini mungkin timbul karena menyadari bahwa gambar-gambar itu mewakili kualitas batin mereka yang layak dihormati. Ada kesadaran pula bahwa buku Buddhis tentunya berisi Dhamma yang dapat memberikan peningkatan kualitas batin mereka yang memanfaatkannya. Jadi, niat baik ini boleh saja dilakukan secara bijaksana ketika kondisi saat itu memungkinkan untuk melaksanakan niat luhur yang sudah timbul.
Semoga saran ini bermanfaat untuk mengendalikan dorongan mencuci tangan yang berlebihan serta bersikap bijaksana ketika melihat gambar Buddha serta Bodhisatta yang tidak pada tempatnya.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
06. Vivi
Thursday, 9 December 2010
Almarhum menjaga
Namo Buddhaya,
Bhante, suatu hari mama saya membawa saya ke orang pintar untuk meramal jodoh saya. Setelah di cek, kata orang pintar itu almarhum papa saya sering menjaga saya sehingga susah mendapatkan jodoh. Almarhum masih mengkhawatirkan saya. Jadi orang pintar itu minta saya untuk sembahyang papa saya dan minta dibuka jalan agar mengijinkan saya dapat bertemu jodoh. Saya pun sudah pernah 3 kali mandi bunga atas anjuran orang pintar itu. Memang saya merasakan setelah saya mandi bunga rasanya tubuh lebih fresh. Kata mama saya, raut muka tampaknnya lebih baik dari sebelumnya. Tapi saya kurang tau juga apakah hal itu karena pengaruh setelah saya membaca buku tentang berpikiran positif yang benar-benar mengubah pikiranku tentang banyak hal.sehingga saya merasa lebih semangat.
Saya mau tanya Bhante, apakah benar papa saya tetap bisa mengikuti saya dan menjaga saya sehingga susah untuk mendapatkan jodoh? Apa yang harus lakukan untuk almarhum papa saya?
Jawaban :
Dalam pengertian Buddhis, seseorang yang telah meninggal akan segera terlahir kembali di salah satu alam kehidupan sesuai dengan kamma yang ia miliki. Mungkin saja, seseorang setelah meninggal akan terlahir kembali di sekitar keluarganya. Biasanya, untuk memperbaiki kondisi seperti ini, keluarga melakukan pelimpahan jasa kepada almarhum. Pelimpahan jasa adalah melakukan kebajikan atas nama mendiang. Dengan pelimpahan jasa, apabila mendiang berada di alam kelahiran yang mampu menerima persembahan, ia akan merasa bahagia. Bahagia atas kebajikan orang lain adalah kamma baik melalui pikiran. Dengan demikian, semakin sering keluarga melakukan pelimpahan jasa, semakin banyak pula kebajikan melalui pikiran yang mendiang lakukan. Apabila kamma baik mendiang telah mencukupi, ia pun akan terlahir kembali di alam yang lebih baik dan bahagia.
Adanya pengertian bahwa almarhum menjaga anaknya sehingga mempersulit anak mendapatkan pasangan hidup sepertinya agak kurang sesuai dengan kenyataan. Biasanya, karena sangat cinta kepada anak, orangtua justru mengharapkan anaknya segera mendapatkan pasangan hidup. Tentunya pikiran positif seperti ini masih dimiliki oleh orangtua ketika ia telah meninggal dunia.
Oleh karena itu,ramalan tidak bisa dipercaya seratus persen. Kebenaran ramalan hanyalah 50 %. Apabila saran yang diberikan peramal tidak memberatkan maupun merugikan, silahkan dilaksanakan secara bijaksana. Semoga segala yang dilakukan dapat bermanfaat sesuai harapan.
Adapun upaya mendapatkan pasangan hidup hendaknya dimulai dengan memperluas pergaulan, serta berusaha meningkatkan kualitas diri agar lebih banyak orang yang senang bergaul dan berdekatan. Apabila telah memiliki banyak teman di sekitar, tentunya akan lebih mudah mendapatkan pasangan hidup dari salah satu di antara mereka.
Jangan lupa terus menerus memperbanyak kebajikan dengan badan, ucapan serta pikiran. Banyaknya kebajikan akan mengkondisikan lebih banyak kesempatan memperoleh pasangan hidup yang sesuai dengan harapan.
Semoga jawaban ini bermanfaat menumbuhkan pikiran positif kepada mendiang serta meningkatkan semangat memperbaiki kualitas diri  dan memperbanyak kebajikan sehingga memberikan kebahagiaan dalam bentuk memperoleh pasangan hidup.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
07. Rayno
Friday, 10 December 2010
Semua hanyalah ilusi
Bhante, saya bersemangat untuk berbuat baik bagi makhluk lain. Namun kadang saya berpikir bahwa perbuatan baik saya itu sesungguhnya ‘percuma’ karena makhluk apapun yang saya bantu dan diri saya pun sesungguhnya tidak eksis secara hakiki, hanya paduan unsur saja. Susah senang membantu makhluk lain pun hanya ciptaan pikiran saya sendiri. Menentukan buah karma yang saya terima pun, baik atau buruk, hanyalah penilaian dari pikiran saya sendiri. (baik dan buruk relatif).
Lalu yang saya belum paham juga, mengapa Pertapa Sumedha ingin menjadi Sammasambuddha? Padahal alasan Beliau adalah ingin membahagiakan makhluk lain namun sesungguhnya makhluk lain dan Bodhisatta itu sendiripun hanyalah ilusi (perpaduan unsur-unsur belaka). Jadi menganggap makhluk lain menderita dan perlu ditolong itu semua menurut saya juga hanyalah khayalan belaka.
Saya punya cita-cita ingin memupuk parami seperti Petapa Sumedha namun saya juga heran sendiri karena makhluk lain yang mau saya bantu pun hanyalah ilusi, jadi apa manfaat nya saya membantu sesuatu yang tidak nyata? Saya juga punya pendapat, membantu korban bencana alam hanyalah sia-sia belaka sama seperti saya lapar lalu makan, toh nanti akan lapar lagi, kecuali korban bencana itu setelah ditolong diberikan pengertian bahwa selamat dari bencana kali ini bukanlah jaminan akan selamat dari bencana, atau penyakit diwaktu akan datang. Jadi kebahagiaan orang yang berhasil sembuh dari penyakit berat yang saya lihat di tv, menurut saya, hanyalah hal yang benar-benar fana, toh mereka keesokkan harinya bisa sakit lagi atau mati karena penyebab lain. (dan tetap saja, mereka mati atau tidak, hanyalah perpaduan unsur-unsur).
Jadi apakah benar Bhante semua ini hanya ilusi? Bhante apa boleh punya pikiran seperti itu?
Terima kasih Bhante. Saya senang sekali belajar Buddha Dhamma.
Jawaban :
Adalah benar kalau dalam pengertian tertinggi Ajaran Sang Buddha, segala sesuatu hanyalah paduan unsur. Semua paduan unsur selalu berubah. Karena berubah, semua menjadi tidak berguna untuk dilekati. Orang yang telah menyadari hakekat ini memiliki batin yang seimbang. Ia tidak lagi tergoyahkan oleh pujian – celaan, suka – duka, memperoleh kedudukan – dipecat, untung – rugi serta berbagai dualisme lainnya. Orang yang memiliki kualitas batin seimbang seperti ini disebut sebagai orang yang mencapai kesucian ataupun Nibbana. Kesucian atau Nibbana dapat dicapai ketika seseorang masih hidup.
Banyak orang memang mengerti bahwa segala sesuatu hanyalah paduan unsur yang selalu berubah, namun pengertian ini hanyalah sebatas teori saja. Pada kenyataannya, orang tersebut masih memiliki batin yang rapuh, mudah mengeluh, mudah terbawa perasaan, mudah dipermainkan oleh pikiran sendiri dsb. Justru karena itulah Sammasambuddha perlu terlahir di dunia untuk mengajarkan serta mengingatkan terus menerus kepada umat manusia akan hakekat kehidupan yang hanya ilusi ini. Hal itu pula kiranya yang menjadi salah satu sebab pertapa Sumedha ingin menjadi Sammasambuddha. Bila Beliau menjadi Sammasambuddha, Beliau mampu mengajarkan Dhamma sehingga mereka yang mendengarnya mencapai kesucian dan merasakan kebahagiaan sejati yaitu Nibbana. Harapan itu menjadi kenyataan. Pertapa Sumedha akhirnya terlahir di India sebagai Pangeran Siddhattha yang setelah mencapai kesucian sebagai Buddha Gotama, Beliau membabarkan Dhamma sehingga banyak orang mencapai kebahagiaan sejati yaitu Nibbana.
Seseorang yang belum mencapai kesucian dan baru memiliki teori tentang kehidupan yang hanya ilusi tentunya perlu memperoleh banyak kesempatan memahami kebenaran hakiki ini. Untuk mendapatkan banyak kesempatan melaksanakan Dhamma, tentunya ia perlu melaksanakan banyak kebajikan dengan badan, ucapan maupun pikiran. Membantu mereka yang menderita, sakit, terkena bencana serta banyak hal lainnya adalah termasuk menambah kamma baik. Semakin banyak kamma baik yang dilakukan, kiranya semakin besar pula kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan memahami hakekat kehidupan yang tidak kekal. Jika suatu saat orang tersebut mempergunakan kesempatan yang telah ada dengan melaksanakan meditasi kesadaran setiap saat, mungkin saja jalan mencapai kesucian ia dapatkan. Ia berhasil mengubah teori yang selama ini dimiliki menjadi kenyataan. Batinnya seimbang, terbebas dari ketamakan, kebencian maupun kegelapan batin. Ia telah terbebas dari lingkaran kelahiran kembali. Ia mencapai kebahagiaan sejati.
Semoga jawaban ini bermanfaat untuk meningkatkan semangat berbuat kebajikan dengan badan, ucapan maupun pikiran agar semakin besar kesempatan untuk mencapai kesucian di kehidupan ini maupun di kehidupan – kehidupan selanjutnya.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
08. Lina
Wednesday, 15 December 2010
Mengenal Dhamma di kehidupan mendatang
Namo Buddhaya,
Bhante, karena kelahiran kembali, kadang kita menjadi anak kecil kembali yang mana karena ketidaktahuan sering melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya yang tentu saja membuahkan kamma yang tidak baik. Adakah cara untuk mempertahankan kesadaran kita akan Agama Buddha di kehidupan mendatang sehinggga kita tidak menambah kamma buruk karena ketidaktahuan kita?
Bagaimana pula cara terbaik untuk menyadarkan orang dekat kita yang keras kepala agar hidup tidak terlalu melenceng dari Ajaran Buddha?
Terima kasih.
Jawaban :
Dalam Ajaran Sang Buddha memang mengenal adanya konsep kelahiran kembali. Mahluk yang meninggal dan terlahir kembali sebagai manusia akan memulai kehidupannya sebagai janin dalam kandungan. Setelah waktu kandungan mencukupi, bayi tersebut akan terlahir. Apabila ingin terlahir sebagai anak kecil yang telah mengenal Dhamma sejak dini, secara tradisi boleh mengucapkan tekad sejak kehidupan ini. Artinya, setiap kali melakukan kebajikan dengan badan, ucapan serta pikiran, ucapkanlah tekad, “Semoga dengan kebajikan yang telah dilakukan hingga saat ini akan mengkondisikan kelahiran kembali sebagai manusia dan mengenal Dhamma sejak kecil”. Diharapkan dengan pengulangan tekad serta dukungan kamma baik yang mencukupi, harapan luhur tersebut dapat menjadi kenyataan.
Adapun orang yang keras kepala biasanya karena ia belum menemukan cara atau orang yang tepat untuk menasehatinya. Oleh karena itu, carilah cara yang bijaksana serta waktu yang sesuai agar dapat berkomunikasi dengannya secara terbuka dan kekeluargaan. Atau, carilah orang yang biasanya didengar nasehatnya oleh orang tersebut. Mintalah bantuan kepada orang itu untuk menasehatinya. Mendengar nasehat yang diberikan secara jujur dan tulus serta dilakukan oleh orang yang ia hormati, biasanya orang yang keras kepala sudi mempertimbangkan serta mengubah perilakunya. Dengan kesabaran dan nasehat yang dilakukan secara berulang berlandaskan cinta kasih, kiranya secara bertahap terjadi perubahan perilaku sesuai dengan harapan.
Semoga jawaban di atas memberikan manfaat serta kebahagiaan.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
09. Sylvie
Wednesday, 15 December 2010
Konsentrasi
Namo Buddhaya,
Jika kita sedang bermeditasi, kita harus berkonsentrasi pada objek yang kita pilih, misalkan objek pernapasan.Sering kali ketika kita sedang bermeditasi telinga kita menangkap suara-suara seperti suara pintu dsb.
Bagaimana cara kita mengatasinya Bhante? Sulit sekali bila harus mengontrol telinga kita agar tidak menangkap suara2 tersebut.
Mohon bimbingannya Bhante. Terima kasih.
Jawaban :
Meditasi adalah latihan ketrampilan memusatkan pikiran pada obyek tertentu, misalnya proses masuk dan keluar udara sewaktu bernafas secara alamiah. Selama meditasi, segala bentuk pikiran yang bukan obyek hendaknya diketahui, disadari dan dikembalikan pada obyek semula yaitu pernafasan. Jika pada awalnya masih terdengar suara, maupun merasakan panas dingin udara, hal itu adalah normal, dan dapat diabaikan. Pusatkan pikiran pada obyek semula. Lama kelamaan, segala sensasi indria menjadi tidak berkesan. Terdengar suara namun batin sudah tidak lagi tertarik untuk mengenali. Dan, pada akhirnya suara serta sensasi indria lainnya tidak ada. Pikiran memusat pada satu hal yaitu obyek meditasi.
Apabila seseorang sudah mampu memasuki kondisi ini secara cepat dan mampu mempertahankan untuk waktu yang lama, maka ia akan lebih mudah menjadikan segala tindakan sehari-hari dengan badan, ucapan serta pikiran sebagai obyek konsentrasi. Inilah meditasi dalam kehidupan sehari-hari, selalu sadar setiap saat. Inilah cara meditasi yang diajarkan Sang Buddha untuk melihat hidup sebagaimana adanya, bahwa hidup adalah tidak kekal, hanya proses yang selalu berubah.
Semoga jawaban ini dapat dijadikan pedoman pelaksanaan meditasi sehingga tidak lagi kuatir dengan segala sensasi indria yang pada saatnya nanti akan lenyap dengan sendirinya.
Semoga selalu bersemangat dalam melaksanakan meditasi.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo
————————————————————————————————————
10. Pri Pramudita
Wednesday, 15 December 2010
Ternak ayam petelur
YM Bhante, apakah usaha peternakan ayam petelur menyalahi ajaran Buddha?
Karena jika memungkinkan saya bermaksud belajar dan berusaha di bidang ayam petelur dimasa datang.
Terima kasih atas jawaban Bhante
Jawaban :
Dalam tuntunan pelaksanaan Ajaran Sang Buddha, sebaiknya umat Buddha menghindari usaha yang berhubungan dengan mahluk hidup. Usaha yang berkaitan dengan jual beli mahluk hidup maupun bangkai mahluk hidup cenderung mengkondisikan terjadinya pembunuhan. Seperti telah diketahui bersama, pembunuhan adalah merupakan pelanggaran sila pertama Pancasila Buddhis.
Usaha ayam petelur pada mulanya memang hanya memberi makan ayam serta mengambil telur yang dihasilkannya. Namun, ketika ayam sudah tidak lagi menghasilkan telur, peternak akan menjualnya ke pasar. Dengan demikian, ayam petelur yang sudah tidak produktif akan menjadi ayam sayur yang dipotong untuk dikonsumsi manusia. Tindakan yang mengkondisikan pembunuhan inilah yang kiranya perlu dihindari oleh umat Buddha.
Oleh karena itu, apabila usaha ayam petelur masih merupakan keinginan, kiranya dengan penjelasan di atas dapatlah dijadikan perenungan untuk meninjau ulang keinginan yang telah muncul. Sebaliknya, apabila keinginan itu sudah sedemikian kuat dan harus dilaksanakan, maka usaha ayam petelur ini hendaknya juga dibarengi dengan memperbanyak kebajikan melalui badan, ucapan serta pikiran. Dengan banyaknya kebajikan yang sering dilakukan, diharapkan kamma baik berbuah dalam bentuk kebahagiaan.
Semoga jawaban ini bermanfaat untuk dijadikan perenungan sebelum mengambil keputusan.
Semoga selalu sukses dan berbahagia.
Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar