Selasa, 22 November 2011

kisah cakkhuphala thera



Bab I-YAMAKA VAGGA (Syair Berpasangan)
Syair 1 (I:1. Kisah Cakkhupala Thera )
Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengunjunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.
“Iiih, mengapa banyak serangga yang mati di sini ?” seru seorang bhikkhu. “Aah, jangan jangan …,” celetuk yang lain. “Jangan-jangan apa?” sergah beberapa bhikkhu. “Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!” jawabnya. “Kok bisa begitu?” tanya yang lain lagi. “Begini, sebelum sang thera berdiam di sini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya.”
“Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!” seru beberapa bhikkhu. “Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya,” timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut.
Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa ‘Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya !’
Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, “Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu ?”
“Tidak Bhante,” jawab mereka serempak.
Sang Buddha kemudian menjawab, “Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh.”
“Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?” tanya beberapa bhikkhu.
Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah :
Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. “Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan,” pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.
Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.
Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. “Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu,” demikian jawabnya. “Nantikan pembalasanku!” serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib.
Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.
Mengakhiri ceriteranya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini :
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis pandangan Terang’ (pati-sambhida).

Kamis, 10 November 2011

Ajahn Brahm, Si Winnie the Pooh



Andai Ajahn Brahmavamso (60) tidak menjadi bhikku, barangkali dia sudah jadi pelawak atau aktor. ceramahnya ringan, segar, dan jenaka. Lelucon-leluconnya mengandung pesan moral tak bersekat, tidak menggurui, tidak menghakimi, dan langsung kena di hati. Kisah-kisah yang disampaikan Ajahn Brahm, begitu sapaannya, merupakan antitesis dari seluruh standar yang dibangun di atas gagasan umum tentang ”kesuksesan” dan ”keberhasilan”. Melalui cerita, ia mengajak orang memasuki esensi hidup; wilayah lebih dalam dari ”kulit luar” kehidupan yang memesona, sekaligus mengikat, melekat. 
”Kalau saya tahu akan menjadi bhikku, saya tak perlu belajar sekeras itu di universitas, hahahaha…” ujar Ajahn Brahm, membuka ceramah Minggu (27/3) petang bertema ”Let Go Ego” di Jakarta, yang dihadiri lebih 5.000 orang. ”Begitu menjadi bhikku, saya harus melepas semuanya, termasuk melepas banyak pacar… hehehe….. Begitu melepas semua, saya merasa sangat bahagia…” ujarnya. Melepas, menanggalkan, meninggalkan adalah esensi Dhamma yang sangat ia pahami setelah sembilan tahun menjadi petapa di hutan Thailand. ”Jika Anda benar paham fisika kuantum, Anda harus mampu membuat pelayan bar paham,” begitu kata pakar fisika kuantum, Werner K Heisenberg.
”Bercerita adalah cara yang indah untuk menyampaikan pesan,” ujar Ajahn Brahm, ketika ditemui di Jakarta, Senin (28/3) pagi, di ujung akhir 15 acara di berbagai kota selama 10 hari di Indonesia.
”Suatu cerita akan menghubungkan pengalaman orang yang satu dengan yang lain karena kita berada di dalam jaring kehidupan.” Cerita keledai Ajahn Brahm dikenal sebagai ”Ajahn Nike” karena selalu mengatakan just do it (lakukan saja)— promosi dagang sepatu merek Nike—untuk mendorong agar orang tidak mengeluh dan menggerutu. ”Semua pengalaman adalah pupuk bagi hidup,” katanya. ”Suatu ketika ada seekor keledai yang menjelajah hutan dengan riang, sampai tak sadar ia terperosok ke dalam sumur tua. Untung sumur itu kering dan tak terlalu dalam. Tetapi, keledai tak bisa memanjat, jadi ia berteriak, minta tolong, E..o.. eeoo eeooo..” Suara itu memancing seorang petani mendekat. Petani itu benci keledai, tetapi ia juga tahu, sumur itu sumber bahaya. Maka, dengan sekopnya, ia mengisi tanah ke dalam sumur untuk mengubur si keledai hidup-hidup, sekaligus menutup sumur. Menyadari yang terjadi, si keledai menjerit. Ia sedih dan takut. Setelah beberapa saat, keledai itu mendapat apa yang dalam pandangan buddha disebut ”pandangan cerah”. Ia merangkul kekinian, dan… just do it. Tak ada suara lagi, sampai petani itu berpikir, ”Terkubur sudah keledai bego itu.”
Padahal, setiap sekop tanah yang menimpa punggungnya, si keledai menggoyang luruh tanah itu, lalu menginjak-injaknya hingga padat di bawah. Maka ia naik satu inci lebih tinggi. Begitu seterusnya. Petani yang sibuk menyekop tanah tak menyadari sepasang telinga mulai muncul di mulut sumur. Ketika pijakan sudah cukup tinggi, Keledai itu melompat keluar dari sumur dan melarikan diri. ”Saya ceritakan kisah ini pada Presiden Sri Lanka. Saya bilang, jika menghadapi kritik, berlakulah seperti keledai, goyang, luruhkan, dan Anda seinci lebih tinggi. Anda hanya perlu merangkul kekinian,” ujar Ajahn Brahm, ”Itulah let go ego….”
Maksudnya?
”Jangan biarkan orang lain merenggut kebahagiaanmu dengan membuatmu marah, kecewa, sedih,” ia menjelaskan makna melepas ego, yang dalam hidup sehari-hari dipahami sebagai ”menerima dengan keikhlasan yang tulus”. Cinta dan welas asih. Namun, tindakan melepas ego tak semudah mengucapkannya. Orang bertahan hidup dengan ego, kemudian sulit mengendalikannya. Ketika nafsu keinginan yang tak ada batasnya menguasai pikiran, orang tak tahu batas cukup dan tak bisa mensyukuri karunia hidup. ”Sandaran kebahagiaan bukan hal-hal yang bersifat material, ’kulit luar’ itu,” ujar Ajahn Brahm.
Menurut dia, segala bentuk kekerasan di dunia disebabkan oleh ego, oleh rasa takut dikalahkan. ”Terlalu banyak kompetisi, dan sangat sedikit kerja sama,” tuturnya. Pendidikan bisa memutus rantai itu, kata Ajahn Brahm. Sejak dini, anak dilatih menyeimbangkan kerja sama sosial dengan prestasi pribadi. Dimulai dengan 70 persen prestasi pribadi dan 30 persen nilai rata-rata kelas, sampai benar-benar seimbang. Itu akan mendorong anak bekerja sama untuk menutup kekurangan teman. ”Kementerian Dalam Negeri Inggris dari kabinet lalu memberi promosi bagi kerja sama, bukan prestasi pribadi. Penghargaan pada proses, bukan hasil akhir, pada ketulusan, kejujuran. Alangkah damainya kalau kita bisa menanggalkan gagasan menjadi yang terhebat,” kata Ajahn Brahm.
Gagasan itu melawan dalil umum tentang kemenangan sebagai hasil kompetisi sehingga acap dicapai dengan kecurangan. Di bidang politik, misalnya, terlihat sangat jelas, meski atas nama demokrasi. Padahal, cara itu berlawanan dengan arti ’kandidat’, yang berasal dari kata Latin candidatus, artinya putih. ”Pada zaman Romawi, kandidat posisi politik menggunakan jubah putih dalam kampanye pemilihan umum. Warna putih melambangkan bersih dari dosa, kemurnian, ketulusan,” jelasnya.
Menurut Anda, apa persoalan terbesar di dunia saat ini?
Kompetisi membuat orang kehilangan cinta dan welas asih. Situasi seperti ini membahayakan kehidupan karena menghancurkan kemanusiaan. Mari memahami bahwa bumi ini adalah rumah kita bersama. Kita saling terkait, terhubung, dan saling bergantung. Kita ini satu. Mari bekerja sama dengan tulus untuk menyelamatkan kemanusiaan dan bumi kita bersama.
Merangkul Sosok Ajahn yang kocak, jenaka di atas panggung berbeda dengan sosoknya ketika ia ditemui secara khusus. Senyumnya lepas, namun ia lebih serius. Sorot matanya tajam dan terasa mampu membaca gerak pikiran lawan bicaranya. Ia menyebut secara khusus nama Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, dan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang merangkul dan menolak kekerasan. Beberapa kali Ajahn Brahm juga diundang ke acara lintas agama. Pernah, undangan disampaikan lewat telepon, dan ia diminta mengeja namanya. Ia mengejanya, ”B untuk Buddhis, R untuk Roma katolik, A untuk Anglikan, H untuk Hindu, M untuk Muslim….”
Menurut Ajahn Brahm, meditasi dan memaafkan merupakan sumbangan Buddhisme pada dunia. Pada semua jenis mistisisme dari berbagai tradisi spiritual, meditasi merupakan jalan menuju pikiran yang murni dan kokoh. Di puncak keheningan akan dipahami apa yang disebut”diri”, ”tuhan”, ”dunia”, ”alam semesta”, dan segalanya.
Kisah favorit Ajahn Brahm adalah Winnie the Pooh, beruang lembut yang tak pernah belajar di sekolah. Ia adalah beruang dengan otak kecil yang membuatnya sangat bijak. Ia tidak berpikir, tetapi melihat dan mengetahui sehingga ia begitu mudah dicintai.
Anda ingin menjadi siapa dalam cerita itu?
Winnie the Pooh hehehe…
Yang membuat Anda sedih atau menyesal?
Penyesalan dan kesedihan tak punya arti khusus buat saya karena saya telah melepas masa lalu. (Dalam salah satu ceramahnya, ia bercerita saat ayah yang sangat ia cintai meninggal. Ketika keluar dari krematorium di tengah gerimis tipis, ia tahu tak akan bisa bersamanya lagi. Namun, ia tidak menangis. Suara hatinya mengatakan, ”Ayah saya sungguh hebat. Hidupnya merupakan inspirasi luar biasa. Betapa untungnya saya telah menjadi putranya. Waktu itu saya menggenggam tangan ibu saya menuju perjalanan panjang masa depan. Saya merasa bahagia, seperti baru saja usai menonton konser terhebat. Saya tak akan pernah melupakannya. Terima kasih, Ayah…”)
Tentu saja ada banyak kesedihan jika Anda melihat tsunami di Jepang, menyaksikan orang berkelahi, berperang. Daripada sedih, saya melakukan sesuatu. Itu sebabnya saya banyak melakukan perjalanan dan berbagi.
Yang membuat Anda bahagia?
Yang paling penting adalah kebahagiaan saya sendiri dan kebahagiaan orang lain. Namun, setelah bertahun-tahun hidup sebagai petapa, saya tak mampu lagi membedakan antara kebahagiaan orang lain dan kebahagiaan saya. Itu sebabnya saya bepergian dan melayani sebanyak mungkin, memberi ceramah, menceritakan kisah- kisah kocak, membuat orang tertawa.
Anda bisa marah?
Hhmmm… Anda harus berusaha keras untuk membuat saya marah hahahaha….

Cerita Angsa dan Kura-Kura


Ada sepasang Kura-Kura dan Angsa yang hidup di sebuah telaga yang bernama telaga Kumudawati. Telaga itu sangat indah serta banyak bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh di sana. Kura-kura yang jantan bernama Durbhuddhi dan yang betina bernama Katcapa. Angsa yang jantan bernama Cakrengga dan yang betina bernama Cakrenggi. Kedua pasang binatang itu sudah lama bersahabat. 
Musim kemarau telah tiba, di telaga telah mulai mengering. Kedua angsa akan berpamitan dengan sahabatnya karena angsa tidak bisa hidup tanpa air, maka kami akan meninggalkan telaga Kumdawati ini menuju telaga Manasasaro di pegnungan Himalaya. Kura-kura tidak bisa melepaskan kepergian kedua sahabatnya itu.
Akhirnya kura-kura memutuskan untuk ikut bersama dengan angsa. Angsa kemudian mau mengajak kura-kura pergi bersama dengan dirinya yaitu dengan cara kura-kura menggigit tengah-tengah kayu dan angsa yang akan memegang ujung-jungnya. Tetapi dengan persyaratan jangan lengah, janganlah sekali-kali berbicara dan jangan melihat di bawah atau jika ada orang yang bertanya jangan sekali menjawab. Kura-kura lalu berpegangan di tengah-tengah kayu dengan mulutnya, sedangkan kedua ujung-ujungnya dipegang oleh angsa.
Setelah tepat berada di tanah lapang Wila Jenggala ada sepasang anjing srigala yang berlindung di bawah pohon mangga yang jantan bernama Si Nohan dan yang betina Si Bayan. Srigala betina melihat ke atas dilihatnya angsa terbang membawa sepasang kura-kura lalu Srigala berkata pada suaminya, ayah cobalah lihat ke atas betapa aneh angsa terbang membawa sepasang kura-kura. Srigala jantan menjawab itu bukan kura-kura namun itu adalah kotoran sapi. Demikian omongan tersebut didengar oleh kura-kura, mendengar kura-kura dibilang kotoran sapi oleh Srigala, kura-kura lalu marah dan melepaskan gigitannya pada kayu dan akhirnya kura-kura itu jatuh dan dimakan oleh srigala. Angsa tinggal dengan perasaan kecewa dan menyayangkan kenapa kura-kura tidak mau mendengarkan nasehatnya.

Pembagian relik-relik sang bhagava



Kemudian Raja Magadha, Ajatasattu, putera Ratu Videhi, mendengar bahwa Sang Bhagava telah mangkat di Kusinara. Ia mengirim utusan pada suku Malla di Kusinara dan menyatakan: “Dari kesatria asal Sang Bhagava; demikianlah pula saya. Karena itu saya sangat perlu untuk menerima sebagian relik Sang Bhagava. Untuk relik Sang Bhagava itu saya akan dirikan sebuah stupa; dan untuk menghormatiNya, saya akan mengadakan suatu kebaktian dan perayaan.”
Demikian pula halnya dengan orang Licchavi dari Vesali, suku Sakya dari Kapilavasthu, suku Buli dari Allakappa, suku Koliya dari Ramagama, sang Brahmana dari Vethadipa, Suku Malla dari Pava, mereka telah mendengar Sang Bhagava telah mangkat di Kusinara, mereka segera mengirim utusan mereka untuk mendapatkan bagian relik Sang Bhagava.
Tetapi suku Malla di Kusinara menolak untuk memberikan kepada mereka. Dan situasi menjadi memanas. Pada saat kritis ini, Brahmana Doma datang untuk mendamaikan mereka, ia berkata:
“Wahai saudara-saudara dengarlah sepatah kata dariku, Sang Buddha, Maha Guru yang kita junjung tinggi, telah mengajarkan, agar kita selalu bersabar, sungguh tak layak, jika timbul ketegangan nanti, timbul perkelahian, peperangan karena relik Beliau, Manusia Agung yang tak ternilai. Marilah kita bersama, wahai para hadirin, dalam suasana persaudaraan yang rukun dan damai, membagi menjadi delapan, peninggalan yang suci ini, sehingga setiap penjuru, jauh tersebar di sana sini, terdapat stupa-stupa yang megah menjulang tinggi, dan jika melihat semua itu, lalu timbul dalam sanubari, suatu keyakinan yang teguh terhadap Beliau.”
Lalu kumpulan orang-orang itu menjawab, “Jika demikian, Brahmana, bagilah relik Sang Bhagava dengan cara terbaik dan teradil menjadi delapan bagian yang sama rata!’
Kemudian Brahmana Dona membagi dengan adil, dalam delapan bagian yang sama, semua peninggalan Sang Bhagava itu. Setelah selesai membagi itu, ia berkata kepada sidang demikian: “Biarlah tempayan ini, saudara-saudara berikan kepadaku. Untuk tempayan ini akan kudirikan sebuah stupa, dan sebagai penghormatan, aku akan mengadakan perayaan dan kebaktian.” Tempayan itu lalu diberikan kepada Brahmana Dona.
Namun kemudian suku Moriya dari Pippalivana mengetahui bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka mengirim suatu utusan pada kaum Malla dari Kusinara untuk mendapatkan relik snag Bhagava. Tetapi oleh karena relik sudah habis terbagi, maka mereka dianjurkan mengambil abu-abu dari peninggalan Sang Bhagava. Dan mereka mengambil abu-abu dari Sang Bhagava, lalu dibawa pulang ke kotanya.
Kemudian raja dari Magadha, Ajatasattu, putera dari ratu Videhi, mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava, di Rajagaha, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian. Orang Licchavi dari Vesali mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Vesali. Suku Sakya dari Kapilavasthu mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Kapilavasthu. Suku Buli dari Allakappa mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Allakappa. Suku Koliya dari Ramagama mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Ramagama. Brahmana dari Vethadipa mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Vethadipa. Kaum Malla dari Pava mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Pava. Suku Malla dari Kusinara mendirikan sebuah stupa besar untuk relik Sang Bhagava di Kusinara. Brahmana Dona mendirikan sebuah stupa besar untuk Tempayan (bekas tempat relik Sang Bhagava). Suku Moriya dari Pipphalivana mendirikan sebuah stupa besar untuk abu Sang Bhagava di Pipphalivana, dan sebagai penghormatan diadakan suatu perayaan dan kebaktian.
Demikian maka terdapat delapan stupa untuk relik Sang Bhagava dan stupa yang kesembilan untuk tempayan dan stupa yang kesepuluh untuk abu Sang Bhagava.
Demikianlah telah terjadi pada waktu yang lalu. Demikianlah riwayat hidup Buddha Gotama, Sang Bhagava, Arahat, Sammasambuddha. Terpujilah Sang Sugata, Pembimbing Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia!

Riwayat Hidup Buddha Gotama: Kremasi




Demikianlah, ketika Sang Bhagava mangkat, beberapa bhikkhu yang belum melenyapkan kesenangan napsu dengan mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari, dan meratap. Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan pengertian yang benar, merenung dalambatin: “Segala sesuatu adalah tidak kekal, bersifat sementara. Bagaimanakah yang akan terjadi, jika tidak terjadi demikian?” 
Kini Bhikkhu Anuruddha dan Bhikkhu Änanda selama satu malam suntuk memperbincangkan Dhamma. Kemudian Anurudha berkata kepada Ananda : “Ananda, sekarang pergilah ke Kusinara, umumkanlah kepada suku Malla : “Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian.” “Baiklah, Sahabat.” Lalu Bhikkhu Änanda dengan seorang kawannya mempersiapkan diri sebelum tengah hari dan sambil membawa patta serta jubahnya menuju ke Kusinara. Pada saat itu suku Malla dari Kusinara sedang berkumpul dalam ruang persidangan untuk merundingkan soal itu juga. Takala Bhikkhu Änanda menemui mereka, lalu mengumumkan : “Vasetha, ketahuilah bahwa Sang Bhagava telah mangkat. Sekarang terserahlah kepada saudara-saudara sekalian.”
Demikianlah, ketika mereka mendengar kata-kata Bhikkhu Änanda, suku Malla dengan semua anak, istri, menantu mereka menjadi sedih, berduka cita dan sangat susah kelihatannya, ada di antara mereka dengan rambut yang kusut serta mengangkat tangan mereka menangis, membanting diri di tanah sambil berguling-guling kian ke mari dan meratap
Setelah suku Malla tiba di tempat dimana Sang Bhagava mangkat, mereka mengadakan penghormatan dengan menyajikan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian dan segala sesuatu yang dibawanya; lalu mereka mendirikan kemah-kemah dan kubu-kubu untuk bernaung selama mereka ada di sana, melakukan upacara penghormatan terhadap jenasah Sang Bhagava itu selama tujuh hari.
Pada hari ketujuh, dengan hidmat dan tertib mereka mengusung jenasah Sang Bhagava itu ke arah Utara, ke bagian Utara dari kota, dan sesudah melalui pintu gerbang Utara, lalu menuju ke pusat kota, dan sesudah melewati pintu gerbang sebelah Timur mereka menuju ke cetiya dari suku Malla, Makuta-bhandhana, dan di sanalah jenasah Sang Bhagava dibaringkan.
Kemudian mereka membungkus jenasah Sang Bhagava seluruhnya dengan kain linen baru, lalu dengan kain katun wool yang telah disiapkan; dan demikian seterusnya sehingga lima ratus lapisan kain linen dan lima ratus lapisan kain katun wool. Setelah itu dikerjakan, mereka membaringkan jenasah Sang Bhagava di dalam sebuah peti dengan dicat meni yang ditaruh lagi di dalam sebuah peti yang dicat meni yang ditaruh lagi di dalam peti yang dicat meni lainnya, kemudian mereka mendirikan pancaka pembakaran yang dibuat dari segala macam kayu-kayuan wangi-wangian dan di atas pancaka itulah jenasah Sang Bhagava ditempatkan.
Waktu kremasi pun tiba, rombongan Maha Kassapa tiba di tempat pancaka Sang Bhagava di cetiya dari suku Malla, Makuta-bandhana, di Kusinara. Beliau lalu mengatur jubahnya pada salah satu bahunya, dan dengan tangan tercakup di muka, beliau menghormat Sang Bhagava; beliau berjalan mengitari pancaka tiga kali, kemudian menghadap pada jenasah Sang Bhagava, lalu beliau berlutut menghormat pada jenasah Sang Bhagava. Hal yang serupa itu, juga dilakukan oleh kelima ratus bhikkhu itu.
Demikianlah setelah dilakukan penghormatan oleh Maha Kassapa beserta kelima ratus bhikkhu itu, maka di pancaka Sang Bhagava lalu terlihat api menyala dengan sendirinya dan membakar seluruhnya.
Demikanlah terjadi takkala jenasah Sang Bhagava mulai dibakar; yang mula-mula terbakar adalah kulitnya, jaringan daging, urat-urat dan cairan-cairan semua itu tiada yang nampak, abu maupun bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Tepat sama seperti lemak atau minyak kalau dibakar tidak meninggalkan bagian-bagiannya atau debu-debunya, demikian pula dengan jenazah Sang Bhagava setelah terbakar, apa yang dinamakan kulit, jaringan, daging, urat-uratan serta cairan, tiada nampak debunya atau bagian-bagiannya, hanya tulang-tulanglah yang tertinggal. Dari kelima ratus lapisan kain linen pembungkusnya, hanya dua yang tidak musnah, yaitu yang paling dalam dan yang paling luar.
Setelah api kremasi padam, suku Malla dari Kusinara, mengambil relik (sisa jasmani) Sang Bhagava, lalu ditempatkan di tengah-tengah ruangan sidang mereka, yang kemudian dipagari sekelilingnya dengan anyaman tombak-tombak, lalu dilapisi lagi dengan pagar dari panah dan busur-busur.
Di sanalah mereka mengadakan upacara puja bakti selama tujuh hari. Untuk menghormati relik Sang Bhagava dengan tari-tarian, nyanyian dan lagu-lagu kebaktian, serta mempersembahkan bunga-bungaan dan wangi-wangian, melakukan puja bakti terhadap relik Sang Bhagava.

Riwayat Hidup Buddha Gotama: Sabda Terakhir




Sang Bhagava berkata kepada Bhikkhu Ananda: “Ananda, engkau mungkin berpikir: ‘Bimbingan dan Sang Guru tak ada lagi; sekarang kita tak lagi memiliki guru.’ Namun, engkau tak seharusnya berpikir demikian karena apa yang telah Saya ajarkan dan Saya babarkan kepadamu sebagai Dhamma dan Vinaya akan menjadi gurumu setelah Saya wafat.” 
“Sampai saat ini, para bhikkhu saling menyapa dengan sebutan ‘Sahabat’ (Avuso), namun mereka sebaiknya tidak melakukan hal ini setelah Saya mangkat. Bhikkhu yang lebih tua seharusnya menyapa bhikkhu yang lebih muda dengan nama bhikkhu atau nama keluarganya, atau sebagai ‘Sahabat’ (Avuso). Dan bhikkhu yang lebih muda seharusnya menyapa bhikkhu yang lebih tua sebagai ‘Guru’ (Bhante) atau ‘Yang Mulia’ (Ayasma).”
“Ananda, jika memang diinginkan, Sangha boleh menghapuskan aturan-aturan kecil dan yang kurang penting setelah Saya mangkat.”
“Dan Ananda, setelah Saya mangkat nanti, sanksi yang lebih berat (brahmadanda) harus dijatuhkan kepada Channa.”
“Tapi, Bhante, apa sanksi yang lebih berat itu?”
“Apa pun yang diinginkan ataupun yang dikatakan Channa, ia tak boleh disapa, ditegur, ataupun dibimbing oleh para bhikkhu lainnya.”
Lalu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu demikian: “Para Bhikkhu, mungkin saja ada bhikkhu yang memiliki keraguan atau ketidakpastian mengenai Buddha, Dhammu, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Bertanyalah sekarang, Para Bhikkhu! Jangan menyesal kelak dengan berpikir: ‘Kami berhadapan muka dengan Sang Guru, namun kami gagal bertanya kepada Yang Terberkahi langsung untuk menghalau keraguan kami’”
Ketika hal mi disampaikan, para bhikkhu diam saja. Untuk kedua dan ketiga kalinya, Sang Bhagava mengulangi kata-kata¬Nya, dan mereka tetap saja diam. Lalu Sang Bhagava berkata: “Para Bhikkhu, mungkin karena rasa hormat terhadap Sang Gurulah kalian tidak bertanya kepada Saya. Kalau begitu, Para Bhikkhu, biarlah sahabat yang satu menyampaikannya kepada yang lainnya!” Akan tetapi, mereka tetap saja diam.
Lalu Bhikkhu Ananda berkata kepada Sang Bhagava: “Menakjubkan, Bhante! Menakjubkan, Bhante! Saya begitu yakin bahwa di dalam kumpulan mi tak seorang bhikkhu pun yang memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan.”
“Ananda, engkau berkata atas keyakinan, namun Tathagata mengetahui bahwa di dalam kumpulan ini tak seorang bhikkhu pun yang memiliki keraguan atau kebimbangan mengenai Buddha, Dhamma, Sangha, Jalan Suci, ataupun mengenai cara latihan. Ananda, di antara kelima ratus bhikkhu ini, yang paling rendah pun adalah seorang Sotapanna, yang tak akan terjatuh ke alam rendah, namun kelak pasti akan mencapai Pencerahan.”
Lalu Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu dan memberikan bimbingan-Nya yang terakhir:
“Handa dani, bhikkhave, amantayami vo, Vayadhamma sankhara, Appamadena sampadetha.”
“Para Bhikkhu, sekarang Saya nyatakan kepada kalian:
Segala hal yang terkondisi pasti akan hancur. Berjuanglah dengan penuh kesadaran!”

BUDDHA SIKKHI



Buddha Sikkhi dikenal dalam tradisi Pali sebagai Buddha ke 20
Nama ayahnya adalah Arunava dan ibunya adalah Pabhavati. Tempat beliau dilahirkan dinamakan Arunavati. Nama istrinya adalah Sabbakama. Beliau mempunyai seorang putra bernama Atula.Beliau tinggal di istana-istana Suchanda, Giri dan Vehana selama 7.000 tahun sampai beliau melepaskan kehidupan perumah tangga dengan menunggang seekor gajah. Beliau melakukan latihan keras selama 8 bulan. Tepat sebelum pencerahanNya Beliau menerima nasi susu dari putri Piyadassi-Setthi; dan duduk di tempat duduk yang disediakan oleh Anomadassi. Pohon pencapaian pencerahannya adalah Pundarika (teratai). Beliau menyampaikan kotbah pertamaNya di Taman Migachira dan menunjukkan keajaiban gandaNya di suatu tempat dekat Suriyavati di bawah pohon Champaka. Abhibhu dan Sambhava adalah murid-murid bhikkhu utamaNya; sedangkan Akhila (atau Makhila) dan Paduma adalah murid utama wanitaNya. Pembantu utamaNya adalah Khemankara. Sirivaddha dan Chanda (atau Nanda) adalah pendukung pria utamaNya; dan Chitta dan Sugutta adalah yang utama diantara para pendukung wanita.
Beliau hidup selama 70.000 tahun dan meninggal di Dussarama (Assarama) di Silavati.
Beliau dinamakan “Sikkhi” karena ikat kepalanya (unhisa) seperti sebuah sikkha (kobaran api).
Selama jaman Buddha Sikkhi, Bodhisatva dilahirkan sebagai raja Arindama dan memerintah kerajaan Paribhutta.

Jangan Biarkan Batin Ini Kering



Tenang, gembira dalam ketekunan (berlatih), melihatbahaya dalam kelalaian, Mereka seperti ini tidak akan pernah jatuh atau gagal, karena mereka dekat dengan nibbana. ( Itivutaka. 40 )
Lalai
Suatu hari saya bertanya kepada seorang umat, “Masih rajin ke vihara?” “Sudah tidak lagi Bhante, aktivitas saya semakin hari semakin bertambah”. Sebuah jawaban yang kelihatan benar tetapi sesungguhnya untuk membenarkan dirinya sendiri. Seolah-olah dengan kesibukan yang setumpuk itu menandakan bahwa tidak ada waktu lagi untuk kehidupan spiritualnya.

Seringkali orang menjadi lupa membenahi batinnya karena berbagai macam alasan dalam kehidupannya. Ada seorang yang dulunya rajin setelah berumah tangga menjadi tidak lagi dekat dengan Dhamma. Ada juga yang karena kesibukan rumah tangganya juga menghentikan aktivitas spiritualnya. Banyak ditemui di masyarakat orang-orang yang akhirnya menghentikan aktivitas spiritualnya karena alasan-alasan tertentu.
Mereka lalai dan melupakan aktivitas spiritualnya hanya karena alasan kesibukan dan yang lainnya. Mereka tenggelam dan asik menikmati dunia barunya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka semakin jauh dari kehidupan yang bernuansa Dhamma. Mereka tidak menyadari bahwa kalau mereka semakin jauh dari Dhamma mereka akan semakin jauh dari kedamaian batin. Mereka bisa saja menikmati kesenangan-kesenangan duniawi tetapi batinnya mengalami ketegangan. Hidupnya menjadi tidak nyaman.
Batin yang Kering
Dampak dari jauhnya kehidupan manusia dari Dhamma adalah batin yang kering. Batin yang kering menimbulkan dampak yang tidak baik bagi orang tersebut dan juga orang lain, lingkungan bahkan mahluk lain. Kenapa?
Sebagai sebuah gambaran dalam kehidupan ini adalah ketika dunia ini dilanda musim kemarau. Dampak dari musim kemarau adalah munculnya kebakaran, sulit air dan suasana panas yang menimbulkan ketidaknyamanan. Demikian pula ketika batin ini kering. Batin yang kering akan menimbulkan dampak yang tidak nyaman pula.
Mereka mudah marah, benci, rakus, kecewa, dan hal-hal negatif lainnya. Karena manusia dibelenggu oleh akar kejahatan yang kuat maka manusia mudah terbakar. Ketika dihadapkan dengan masalah mudah marah dan melakukan tindakan tercela. Ketika tidak tercapai cita-citanya mudah kecewa dan putus asa. Tidak senang melihat orang lain berhasil. Selalu berpikir untuk menguasai yang lain.
Ketika batin dibebani oleh pikiran-pikiran semacam itu tentu batin ini akan mengalami ketegangan yang luar biasa. Ketegangan batin berdampak tidak nyamannya hidup seseorang. Makan tidak enak tidur, tidak nyenyak, dan setiap langkah kehidupannya terasa berat berat.
Lihatlah Dirimu
Jangan hanya menjadi penonton kehidupan ini tetapi jadilah pelaku dalam kehidupan ini. Ketika kita hanya menjadi penonton maka kita hanya bisa mengomentari orang lain atau apa yang kita lihat. Melihat kesalahan dan kekuarangan orang lain lebih mudah dibandingkan melihat kesalahan dan kekurangan dirinya sendiri. Kalau seseorang hanya pandai mengomentari orang lain maka orang tersebut tidak akan mendapat kemajuan dalam batinnya.
Seharusnya kita menjadi pelaku. Jangan hanya melihat orang lain tetapi lihatlah dirimu sendiri. Lihatlah bahwa batinmu semakin hari semakin kering. Jangan menunggu kebakaran hebat akan menghanguskan kehidupanmu. Dengan melihat ke dalam diri seseorang dapat melihat apa yang terjadi dalam dirinya.
Ketika berhasil melihat ke dalam dan berusaha untuk mendiagnosa ternyata batinnya penuh dengan luka dan jika tidak segera disembuhkan luka itu akan semakin parah. Lakukan sesuatu untuk kehidupanmu dan jangan biarkan hari-harimu dihinggapi pikiran-pikiran buruk. Jangan semakin jauh dari Dhamma tetapi berusahalah semakin dekat dengan Dhamma. Jangan biarkan batin ini kering karena kehidupanmu semakin jauh dari Dhamma. Hidup sesuai Dhamma akan memberi dampak yang luar biasa untuk hidup saudara.
Sembuhkan luka, keluarkan racun dan singkirkan penyakit yang ada dalam batin ini. Bagimana caranya? Gunakan setiap peluang yang dapat membuat batinmu tenang dan bahagia. Sebenarnya banyak peluang dalam kehidupan ini hanya saja kita tidak mau menggunakan peluang itu. Ketika ada peluang untuk berbuat baik lakukan perbuatan baik itu. Kalau ada peluang untuk menata perilaku jalankan agar moralitasnya semakin baik. Jika ada peluang untuk membersihkan luka pada batin ini jangan disia-siakan dan bersihkan segera. Kemauan harus dikuatkan agar tidak berhenti untuk melihat diri sendiri dan berusaha untuk membuat batin ini menjadi lebih baik dan segar setiap saat.
Dhamma Ibarat Air yang Menyejukkan
Saudara tidak mau gagal dalam spiritual? Kalau tidak mau gagal harus tekun menyiram batin ini dengan Dhamma. Dhamma dapat menyejukan batin sehingga dapat terlepas dari ketegangan mental. Dhamma akan membuat batin ini menjadi nyaman kalau Dhamma ini dipraktekkan dalam keseharian kita.
Setiap perjuangan akan dihadapkan dengan tantangan demikian pula usaha kita untuk mengolah batin ini agar tidak kering juga akan berhadapan dengan tantangan. Rasa lelah, letih, dan bosan ketika berlatih adalah hal yang dapat menghambat perjuangan ini. Namun kalau kita kembali pada tujuan utama, hambatan itu dapat terlampaui. Bukankah kita tidak mau batin ini kering? Yang diharapkan oleh semua orang adalah batin yang sejuk sehingga kehidupannya nyaman.
Kalau kita menginginkan semua itu terwujud maka kita berusaha untuk terus-menerus berjuang. Kuatkan tekad, berusahalah untuk tekun dan sabar karena kita tidak akan menjadi orang yang gagal. Kemauan, semangat, ketekunan, dan kesebaran adalah faktor penting dalam latihan. Dhamma akan menyejukan batin setiap orang jika orang tersebut mau berjuang. Batin yang tidak kering dan selalu sejuk setiap saat akan membuat orang berperilaku sesuai dengan Dhamma. Orang tersebut tidak akan mudah marah, tidak rakus, tidak mudah kecewa, dan putus asa. Pendek kata pikiran-pikiran buruknya akan berkurang seiring dengan ketekunannya berlatih. Jangan biarkan batin ini kering oleh karena itu sejukan batin ini dengan selalu tekun dalam mempraktekan Dhamma.

Kisah Kijang yang Cerdas

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, bodhisatta terlahir sebagai seekor kijang, ia tinggal di sebuah hutan dan hidup dari buah-buahan yang ada di hutan tersebut. 
Pada waktu itu, ia hidup dari buah pohon sepai (Gmelina Arborea). Di desa, terdapat seorang pemburu yang melakukan perburuan dengan cara membangun panggung kecil di cabang pohon tempat ia menemukan jejak rusa; ia mengamati dari atas saat rusa itu datang untuk makan buah dari pohon tersebut. Saat rusa muncul, ia membunuhnya dengan menggunakan tombak, dan menjual daging rusa itu untuk menghidupi dirinya. Suatu hari, ia menemukan jejak kaki Bodhisatta di sebuah pohon, ia pun membangun panggung kecil di cabang pohon tersebut.
Setelah sarapan lebih awal, ia membawa tombaknya dan masuk ke hutan itu, kemudian duduk di panggung kecil yang telah dibangunnya. Bodhisatta juga muncul pagi-pagi untuk makan buah dari pohon tersebut, namun ia tidak segera menghampiri tempat itu. Ia berpikir, “Kadang-kadang pemburu membangun panggung kecil di dahan pohon. Apakah hal itu juga terjadi di pohon ini?” Ia berhenti di tengah jalan untuk mengintip. Melihat Bodhisatta tidak mendekat, pemburu yang masih duduk di panggung itu melemparkan buah-buahan ke hadapan kijang itu. Berpikirlah kijang itu, “Buah-buahan ini datang sendiri kepadaku. Saya ragu apakah ada pemburu di atas sana.” Maka ia memperhatikan lebih teliti lagi, akhirnya terlihat juga olehnya pemburu yang berada di atas pohon itu, namun ia berpura-pura tidak melihatnya, Bodhisatta berkata kepada pohon itu, “Pohonku yang sangat berharga, sebelumnya engkau mempunyai kebiasaan untuk menjatuhkan buah ke tanah dengan gerakan laksana anting-anting yang menjalar turun, namun hari ini kamu berhenti bertingkah seperti sebuah pohon, saya juga harus berubah, dengan mencari makanan di bawah pohon yang lain.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :
Kijang ini mengetahui dengan baik buah yang engkau jatuhkan;
saya tidak menyukainya, saya akan mencari pohon lain.
Pemburu itu melemparkan tombaknya ke arah Bodhisatta dari panggung itu, dan berteriak, “Pergi! Saya tidak mendapatkanmu kali ini.” Membalikkan badannya, Bodhisatta berhenti sejenak dan berkata, “Engkau memang tidak mendapatkan saya, Teman yang baik, namun percayalah, engkau tidak kehilangan akibat perbuatanmu, yakni delapan neraka besar (mah?niraya) dan enam belas neraka kecil (ussadaniraya), serta lima bentuk ikatan dan siksaan.” Diiringi dengan kata-kata ini, kijang itu meninggalkan tempat itu, pemburu itu juga turun dari panggung itu dan pergi dari sana.

Incoming search terms:

cara kijang memperoleh makanan,cerita KIJANG,carita kijang jeung maung,cerita jataka buddha gotama kelahiran sebelumnya,cerita tentang kijang