Senin, 03 Januari 2011

Ringkasan Upasampada Bhikkhu Menurut VINAYA PITAKA PALI


Vinaya Pitaka adalah bagian kitab suci Tipitaka yang membahas
mengenai aturan-aturan kebhikkhuan termasuk syarat-syarat serta
proses pentahbisan atau upasampada seorang bhikkhu. Sebagai umat awam
tidak ada salahnya kita juga mengetahui isi Vinaya Pitaka. Pada
kesempatan kali ini, kita akan mengulas mengenai seluk beluk
upasampada seorang bhikkhu menurut Vinaya Pitaka Pali.


1.Tiga jenis metode upasampada dalam sejarah Buddhadhamma


a.Ehi-bhikkhu upasampada


Pentahbisan oleh Buddha dengan ucapan, "Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo
caro brahmacariyam samma dukkhasa antakiriyaya" - "Marilah bhikkhu,
Dhamma telah dibabarkan dengan baik, hiduplah sebagai brahmacariya
untuk mengakhiri dukkha ini selamanya." Setelah ucapan itu
diperdengarkan, orang yang berminat menjadi bhikkhu itu diterima dan
bergabung dengan Sangha. Pentahbisan ini dikenal sebagai Ehi-bhikkhu
upasampada yang berarti "Pentahbisan dengan Ucapan Marilah Bhikkhu!"


b.Tisaranagamanupasampada


Pentahbisan dilakukan di hadapan para siswa utama Buddha. Para calon
bhikkhu diharuskan mencukur terlebih dahulu rambut dan janggut mereka
serta mengenakan jubah kasaya (berwarna kuning) sebagai pertanda niat
mereka untuk bergabung dengan Sangha. Selanjutnya, mereka mengucapkan
dengan tulus rumusan Berlindung Pada Tiga Permata dengan sikap
hormat. Setelah melakukan tatacara ini, calon bhikkhu diterima dan
bergabung dengan Sangha sebagai bhikkhu seutuhnya. Oleh karena itu,
pentahbisan semacam ini disebut Tisaranagamanupasampada, yang berarti
Pentahbisan dengan Berlindung pada Tiga Permata.


c Natti-catutthakamma-upasampada


Pentahbisan dilakukan di hadapan anggota Sangha, dimana kumpulan
sejumlah bhikkhu yang jumlahnya ditentukan berdasarkan tugasnya
berkumpul dalam sebuah sima (yakni suatu tempat dengan batasan-
batasan tertentu). Mereka memaklumkan penerimaan calon bhikkhu ke
dalam anggota Sangha yang kemudian disetujui oleh para bhikkhu
lainnya.


Berdasarkan ketiga metode di atas, kita mengenal tiga jenis bhikkhu
berdasarkan metode pentahbisannya; yakni bhikkhu yang diupasampadakan
dengan metode pertama, kedua, dan ketiga.


2.Empat syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat
diupasampadakan (sampatti)


(1) Orang yang berhasrat untuk menerima upasampada haruslah pria.


(2) Ia harus mencapai usia 20 tahun sebagaimana yang disyaratkan,
dimana usia ini dihitung semenjak mulainya pembuahan (dengan
menganggap bahwa janin berada dalam kandungan ibunya selama 6 bulan
menurut penanggalan lunar).


(3) Tubuh orang itu hendaknya mencerminkan seorang pria yang
sempurna. Seorang kasim dengan demikian tidak diizinkan menjadi
bhikkhu. Selain itu, organ-organ tubuh lainnya harus sempurna dan
lengkap. Inilah yang dimaksud dengan terbebas dari kecacatan.


(4) Ia hendaknya tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan sangat
berat, seperti membunuh ibu, membunuh ayah, dan lain sebagainya.


(5) Ia hendaknya tidak pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
dianggap berat oleh Buddhasasana, seperti melanggar aturan-aturan
parajika sebelum ditahbiskan sebagai bhikkhu. Atau, kendati ia
sebelumnya pernah menjadi bhikkhu, tetapi memiliki pandangan salah
dan menganut keyakinan lainnya.


3.Langkah-langkah menuju kesempurnaan upasampada


Agar upasampada seorang bhikkhu dapat dikatakan sempurna masih ada
beberapa hal lagi yang harus dipertimbangkan


a. Vatthu-sampati


Jika seseorang pernah melakukan pelanggaran serius atau terlahir
sebagai seorang wanita, maka orang itu tidak dapat menerima
upasampada dan pentahbisan mereka disebut sebagai vatthu-vipatti,
yang secara harafiah berarti "tidak sempurna atau rusak secara
materiil." Apabila sangha dengan sadar atau atau tidak sadar
mentahbiskan orang-orang yang tidak memenuhi kelima kriteria di atas
secara sempurna, maka penerima upasampada itu tidak akan menjadi
bhikkhu yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan Sang Buddha. Begitu
sangha mengetahui adanya pelanggaran terhadap kriteria di atas, orang
yang telah "ditahbiskan" tersebut harus diusir dari sangha.
Sebaliknya, orang yang memenuhi kelima kriteria di atas disebut
vatthu-sampatti (sempurnanya seluruh kriteria) dan boleh diupasampada
oleh sangha. Meskipun demikian, seseorang telah memenuhi kriteria di
atas tetap harus diuji lebih lanjut secara seksama oleh sangha
sebelum upasampada diberikan, demi menghindari ditahbiskannya para
pencuri, penjahat, atau orang-orang yang bereputasi buruk di tengah-
tengah masyarakat. Selanjutnya, yang perlu pula dihindari adalah
orang-orang yang memiliki rajah-rajah (tatto) pada tubuhnya (sebagai
tanda hukuman di zaman dahulu) sesuai dengan kejahatan yang telah
mereka lakukan, atau memiliki luka-luka akibat cambukan pada
punggungnya, dan begitu pula dengan orang yang menderita cacat fisik
atau penyakit kronis sehingga tidak dapat mengemban tugas mereka
sebagai bhikkhu. Orang yang memiliki penyakit menular atau berada di
bawah perlindungan dan kekuasaan orang lain, seperti orang tua,
pemerintah, pejabat, majikan, dan pemberi hutang, juga tidak dapat
menerima upasampada. Namun, bila mereka diberi izin oleh pemberi
perlindungan atau orang yang berkuasa atas mereka, barulah upasampada
dapat diberikan. Sebagai contoh adalah seorang anak yang telah
mendapat restu orang tuanya, pejabat pemerintah yang berwenang
memberikan izin baginya, sang majikan membebas-tugaskannya, atau
orang itu telah melunasi segenap hutang-hutangnya. Orang-orang
semacam ini tidaklah tertutup sama sekali kemungkinannya untuk
ditahbiskan sebagai bhikkhu (berbeda dengan orang yang tidak memenuhi
kelima kriteria wajib di atas), dan bila sangha secara tidak sadar
telah mentahbiskan orang-orang semacam itu, maka upasampadanya tetap
sah dan mereka tidak perlu diusir dari sangha.


b.Parisa-sampatti


Bila sangha hendak memberikan upasampada-nya, para bhikkhu yang telah
ditetapkan jumlahnya haruslah hadir, inilah yang disebut parisa-
sampatti (sempurnanya jumlah bhikkhu yang diperlukan). Tetapi, bila
jumlah bhikkhu yang hadir kurang dari yang seharusnya, hal ini
disebut parisa-vipatti (ketidak-sempurnaan dalam hal jumlah), dan
konsekuensinya upasampada juga tidak dapat dilangsungkan.


c.Sima-sampatti


Upasampada adalah suatu kegiatan dimana seluruh bhikkhu harus
berperan serta di dalamnya. Apabila di dalam suatu daerah yang telah
ditentukan batas-batasnya (sima), terdapat bhikkhu-bhikkhu dengan
jumlah lebih banyak dibandingkan dengan yang telah ditetapkan, tetapi
mereka tidak seluruhnya mengikuti acara upasampada itu dan tidak pula
peduli dengannya, maka meskipun jumlah bhikkhu telah memadai,
upasampada tetap tidak dapat diberikan. Inilah yang disebut denga
sima-vipatti (ketidak sempurnaan dalam hal sima). Karenanya, anggota
sangha dengan jumlah yang sesuai dengan ketentuan haruslah berkumpul
dalam suatu tempat yang telah ditetapkan batas-batasnya pula. Dengan
demikian barulah upasampada akan menjadi sah, dimana hal ini disebut
sebagai sima-sampatti (sempurnanya sima).


d. Kammavaca-sampatti


Sebelum upasampada dapat dilangsungkan, masih ada lagi langkah
pendahuluan yang perlu diambil. Orang yang berniat menjadi bhikkhu
harus diuji terlebih dahulu kualitas pribadinya (dimana dalam
pengujian ini sangha harus disertai oleh satu atau acariya, yakni
guru yang membacakan pertanyaannya). Pertanyaan yang ditanyakan oleh
guru itu meliputi satu kelompok pelanggaran-pelanggaran saja. Mungkin
juga pertanyaan-pertanyaan [mengenai pelanggaran] paling serius telah
dipilih (untuk ditanyakan di hadapan sangha). Barangkali pada masa
awal perkembangannya, hanya pelanggaran-pelanggaran sangat berat
semacam ini sajalah yang ditanyakan pada calon bhikkhu, sedangkan
pelanggaran lain yang lebih ringan ditambahkan kemudian. Seorang
calon penerima upasampada memerlukan seorang bhikkhu untuk
merekomendasikan dan membawa dirinya ke hadapan sangha, dimana
bhikkhu ini disebut upajjhaya. Seorang upajjhaya hendaknya seorang
bhikkhu senior yang mumpuni, sehingga dapat mengajar bhikkhu baru
tersebut setelah ia diupasampadakan. Selain itu, ia juga harus
menanyakan apakah kebutuhan-kebutuhan wajib atau parikkhara sang
calon, seperti jubah dan mangkuk, telah tersedia. Jika belum, ia
harus mengusahakannya. Sangha harus memerintahkan seorang bhikkhu
untuk menanyakan pada calon bhikkhu mengenai barang-barang keperluan
ini. Upasampada hanya boleh diberikan bila orang itu memang bersedia
menerimanya dan tidak dapat dipaksakan. Sudah menjadi tradisi bahwa
seorang calon bhikkhu mengutarakan permohonannya agar diterima
sebagai anggota sangha. Semua ini adalah langkah-langkah pendahuluan
sebelum upasampada dapat dilangsungkan. Jika syarat-syarat pendahuan
ini ada yang kurang sempurna, tetapi calon tidak pernah melakukan
pelanggaran-pelanggaran serius, upasampada-nya tetap dianggap sah,
hanya saja tidak sesuai dengan tradisi.
Ketika segala sesuatunya telah sempurna (sampatti), tibalah saatnya
untuk mengumumkan penerimaan calon bhikkhu ke dalam komunitas sangha.
Seorang bhikkhu yang memiliki pengetahuan memadai ditugaskan untuk
membacakan pernyataan itu di hadapan sangha. Pernyataan itu sendiri
dibagi menjadi empat tahap. Pertama-tama disampaikan pemberitahuan
(natti) bagi sangha serta permohonan agar calon diterima. Ketiga
pernyataan berikutnya disebut dengan anusavana, yang berisikan hasil
perundingan antar anggota sangha, dimana masing-masing anggota berhak
untuk berbicara. Apabila ada salah seorang bhikkhu yang menentang
permohonan itu, penerimaan akan dibatalkan; tetapi bila seluruh
anggota sangha berdiam diri, hal itu dapat diartikan bahwa mereka
semua telah sepakat menerima sang calon ke dalam komunitas sangha.
Jika seluruh anggota telah sepakat, pernyataan penerimaan oleh sangha
diumumkan dan seorang guru (atau dua orang guru bila kedua acariya
yang membacakannya) mengatakan bahwa ia akan mengingat hal ini. Pada
kesempatan tersebut, nama calon bhikkhu serta upajjhaya yang
merekomendasikannya kepada sangha, dan juga sangha itu sendiri tidak
boleh lupa disebutkan. Ini merupakan suatu keharusan dan bukan
sebaliknya. Bila segenap hal ini telah dilakukan dengan benar dan
sempurna, barulah dapat disebut sebagai Kammavaca-sampatti
(sempurnanya segenap pernyataan). Sangha yang hendak memberikan
upasampada haruslah melaksanakannya berdasarkan kelima sampatti ini,
sehingga tatacara pentahbisan tersebut selaras dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Sang Buddha.


Rangkuman Empat Kondisi yang Harus Dipenuhi


1.Vatthu-sampatti - berkenaan dengan kualitas pribadi calon bhikkhu
2.Parisa-sampatti - berkenaan dengan jumlah para bhikkhunya
3.Sima-sampatti - berkenaan dengan tempat pentahbisan yang telah
ditetapkan batasannya (sima)
4.Kammavaca-sampatti - berkenaan dengan pernyataan penerimaan


Sementara itu butir terakhir dapat dibagi menjadi dua, sehingga
secara keseluruhan terdapat lima sampatti:


4.Natti-sampatti - berkenaan dengan permohonan
5.Anusavana-sampatti - berkenaan dengan penerimaan calon bhikkhu
tersebut

vinaya bhikkhu perihal makanan


Makanan yang aku makan pada hari ini,
bukanlah untuk kemewahan,dipamerkan,mendapatkan pujian,
namun hanya kesederhanaan makan agar tubuh ini dapat terus hidup mempelajari Dhamma
untuk menghindari gangguan tubuh(cth:lemes) dan membantu pencapaian hidup spiritual.
dan saya akan dapat menghilangkan rasa lapar dan tidak menciptakan keinginan untuk terus makan.
dan saya akan dapat bekerja dalam Dhamma tanpa cela dan belajar/hidup dengan tenang.


Seorang Bhikkhu bersahaja dalam makanan yang dipersembahkan kepada dirinya. pada masa Sang Buddha, seorang bhikkhu menggunakan mangkok pindapata untuk mendapat makanan,pada zaman sekarang kita masih melihat ada beberapa bhikkhu yang menggunakan mangkok dan ada yang telah makan dengan menggunakan peralatan makan sekarang seperti piring.


Vinaya menggariskan bahwa seorang Bhikkhu hanya boleh menggunakan satu mangkok makanan dan makanan yang disediakan oleh umat awam apapun juga,seorang bhikkhu tidak diizinkan memilih-milih makanan. Hal ini sangat bergantung pada latihan kesadaran agar tidak melekat pada rasa lidah dan rasa lapar. Makanan yang disediakan akan dimakan dengan cukup dan bisa melanjutkan tubuh ini mempelajari Dhamma


Mari belajar kasus.
1. Bhikkhu perkotaan biasa tinggal di vihara,makan dengan piring, apakah diperbolehkan?
Mangkok pindapata dalah sebuah simbol seorang bhikkhu Buddhis, ia boleh makan apa saja selama didanakan oleh umat dalam hal ini umat dengan tangan sendiri memberikan nasi,lauk,dan minuman kepada bhikkhu maka bhikkhu baru boleh makan.
di piring atau di mangkok,peraturan vinaya mencatat adalah sama saja.hal ini kita akan bedakan bhikkhu yang tinggal di hutan yang melakukan pindapata dengan bhikkhu yang stay di vihara dimana umat menyediakan.


Satu hal paling utama di catat adalah bahwa makanan harus didanakan oleh umat langsung kepada bhikkhu.contoh ,ada umat berdana makanan namun ia tidak mengundang bhikkhu untuk makan melainkan hanya meletakkan di meja saja,seorang bhikkhu tidak akan makan karena ia akan amsuk dalam adinadana veramani. kecuali umat dengan tangan langsung memberikan makanan dan bhikkhu dengan tangan langsung menerima.


2. Bagaimana kalo mangkok sengaja diisi pasir,apakah bhikkhu akan memakannnya juga?
pada zaman Sang Buddha ketika Buddha berpindapata,ada anak kecil yang kurang tahu memasukkan pasir dan kotoran kedalam mangkok Buddha, Sang Buddha dengan cinta kasihnya mengatakan bahwa anak kecil itu telah berdana dan mengatakan buah karma anak kecil suatu hari akan menjadi sebuah bangunan yang besar dan benar anak itu terlahir sebagai seorang raja dengan kerajaan yang luas.
kembali ke pertanyaan, seorang bhikkhu yang menemukan kejadian seperti itu,akan berkata anumodana kepada pendana,kemudia ketika sudah jauh dari pendana,ia bisa membuang dana seperti itu,karena memang tidak cocok sebagai makanan.
Kenapa tidak langsung didepan pendana?karena seorang bhikkhu harus melatih diri agar dana apapun oleh pendana selalu menjadi berkah bagi pendananya dan agar pendana juga bisa belajar cinta kasih dan kebijaksanaan.


3. Lalu bagaimana kalo umat berdana semangkok penuh dan tidak bisa dihabiskan oleh bhikkhu?
seorang bhikku yang tidak bisa menghabiskan makanan yang telah diderma maka sewajarnya ia akan mendermakan kembali makanan yang tidak habis mungkin kepada avuso(rekan bhikkhu),kepada umat yang lapar atau jika ia berada di hutan,ia bisa memberikan makanan kepada makhluk2 di sekitar.
Catatan : bhikkhu tidak dizinkan menyimpan makanan lebih dari setengah hari, dan seorang bhikkhu hanya akan makan pada saat munculnya sinar matahari(pagi) dan pertengahan matahari(siang,biasanya jam 11.00), setelah lewat dari itu makanan tidak akan disimpan.


4. Lalu untuk umat apa saja yang mesti dimengerti?
-. Danakan makanan yang selayaknya bisa dimakan oleh bhikkhu dengan tidak berlebihan atau kekurangan(ingat jalan tengah)
-. di beberapa vihara,umat boleh ikut makan bersama setelah bhikkhu selesai makan,dan sisa sayur bisa dikonsumsi oleh umat agar tidak mubajir.
-. untuk bhikkhu dhutanga, sediakan makanan yang tidak menimbulkan sakit contoh terlalu pedas,terlalu asam,sediakan makanan yang mendukung gizi seorang manusia.


5. Saya melihat ada bhikku yang minum jus setelah tengah hari memang diperbolehkan?
Sang Buddha mengajarkan bahwa setelah tengah hari maka yang disediakan adalah penunjang yang bukan dibuat untuk mengeyangkan namun sebagai obat. contoh coklat murni disediakan agar tidak timbul maag begitu juga dengan madu. yang tidak diizinkan contiohnya madu,mentega,nasi, atau istilah kasarnya makan berat.


Demikian Vinaya ini menjadi lathian seorang bhikkhu agar ia tidak menganggap makanan sebagai kemelakatan dalam dirinya.

vinaya bhikkhu perihal pakaian


Perihal Pakaian


Mengapa bhikkhu dianjurkan untuk memakai jubah berwarna kuning seperti yang telah kita kenal sekarang ini?
Sang Buddha bersabda:


Mayà apaccavekkhitvà ajja yam civaram paribhuttam,
tam yàvad-eva sãtassa patighàtàya, ubhassa patighàtàya
damsamakasavàtàtapasirimsapasamphassànam pañighàtàya,
yàvad-eva hirikopãnapañicchàdanattham.


Jubah yang saya pakai hari ini seharusnya saya merenungkan
ini hanya untuk melindungi saya dari panas dan dingin
ini hanya untuk melindungi saya dari gigitan nyamuk,serangga,angin,matahari dan objek yang berbahaya kepada tubuh saya
dan sebagai penutup dari bagian yang dianggap tidak layak dipertontonkan.


Pada zaman Sang Buddha,jubah terbuat hanya sederhana saja dengan pola yang sederhana untuk mendukung cara hidup sederhana seorang bhikkhu.


Warna kuning pada jubah merupakan perlambangan dari Arahanta Magga (The Banner Of Arahant) dan sebagai corak khas Buddhism. Ada tata cara dalam menentukan panjang jubah,pola,jenis bahan dan bagaimana cara seorang diperbolehkan memakai jubah.


Jubah berwarna putih digunakan oleh umat Buddha sebagai lambang komitmen mereka memegang teguh Atthasila, juga dipakai oleh Anagarika(calon samanera),penggunaan jubah ini harus mengikuti tata cara Buddhism,jadi umat awam mohon tidak sembarangan memakai jubah Naga tanpa mengetahui dengan jelas apa yang dia pakai.


Beberapa pertanyaan perihal jubah :


1. Apakah seorang bhikkhu boleh memakai jeans seperti misalkan kondisi perang dimana ia harus cepat-cepat mengganti celana?


Kembali lagi ke Vinaya,seorang bhikkhu sepantasnya memakai jubah yang telah diajarkan oleh Guru Buddha,memakai jeans memang perkembangan jaman namun apakah layak dipakai seorang yang telah bertekad meninggalkan keduniawian.
Jubah juga akan selalu mengingatkan pemakainya kepada peraturan Sang Buddha,menghindarkan dirinya dari perbuatan yang bertentangan dengan Buddha Dhamma dan jubah ini memang diperlukan terutama mereka yang menginjak Arahatta Magga.


2. Kenapa ada beberapa bhikkhu memakai warna merah,orange,coklat?


Kembali lagi kepada struktur daerah setempat apakah warna itu dimungkinkan diperoleh. org Tibet memakai merah danmerah menjadi perlambangan cinta kasih.hal ini disesuaikan menurut struktur geografis tiap daerah namun diinget, tata cara pembuatan jubah tetap mengikuti aturan yang sudah ada.


3. Adakah batasan jumlah jubah yg dimiliki seorang Bhikkhu? (mis: min 3 jubah)


Batasan jubah bhikku dalam setahun adalah satu jubah utama dan satu jubah serapan (dalam artian kalo dicuci maka masih ada satu lagi). Bhikkhu dalam Vinaya tidak diizinkan menumpuk jubah lebih dari itu karena ini akan mengganggu latihannya dan menambah kemelekatan akan baju, bhikkhu yang memakai jubah terlalu mewah juga dianggap tidak layak, contoh dari kain sutra yang berkilau-kilau………………….