Kamis, 06 Oktober 2011

kisah di balik ratana sutta


Pada masa kehidupan Buddha Gotama, dikisahkan terjadi kelaparan di kota Vesali yang menewaskan ribuan orang dari keluarga miskin. Oleh karena terdapat begitu banyak mayat-mayat yang membusuk di sana, setan-setan pun mulai bermunculan dan menghantui kota tersebut dan menyebabkan banyak wabah lain bermunculan. Diganggu oleh tiga bahaya: kelaparan, setan-setan jahat dan wabah penyakit, para penduduk Vesali meminta pertolongan dari Buddha yang pada saat itu sedang berdiam di Rajagaha.
Tergerak oleh rasa cinta kasihNya kepada semua makhluk, Buddha pun pergi mengunjungi kota Vesali diikuti dengan ratusan bhikkhu termasuk Yang Mulia Ananda. Tidak lama setelah Buddha tiba disana, hujan lebat turun membasahi kota Vesali dan membawa pergi serta mayat-mayat yang tak terurus. Jadi kota itu telah bersih dari gelimpangan mayat-mayat yang membusuk dan udara pun mulai segar kembali. Kemudian Buddha membabarkan Khotbah Mustika Berharga kepada Yang Mulia Ananda dan memintanya melafalkan kembali khotbah tersebut sambil mengelilingi kota Vesali sebagai sarana untuk melindungi para penduduk Vesali.
Yang Mulia Ananda mematuhi perintah tersebut dan sembari memercikkan air suci dari mangkuk dana milik Buddha, melafalkan kembali khotbah tersebut mengelilingi kota. Dan akhirnya wabah penyakit pun lenyap.
Kemudian Yang Mulia Ananda melaporkan kejadian tersebut kepada Buddha yang sedang menunggunya di Hall Utama Kota Vesali. Kemudian Buddha mengulangi kembali khotbah tersebut dan menjelaskan nilai/makna teks yang ada dalam khotbah tersebut kepada siswa-siswaNya.
Adapun isi dari Ratana Sutta adalah:
1) Makhluk apapun juga yang berkumpul di sini, baik dari dunia maupun ruang angkasa. Semoga semua mahluk berbahagia. Dengarkanlah dengan seksama kata-kata yang Saya sabdakan.
2) Duhai para makhluk, perhatikanlah. Tunjukkanlah cinta kasihmu kepada umat manusia yang mempersembahkan sesajian kepadamu siang dan malam. Karenanya, lindungilah mereka dengan tekun.
3) Harta apa pun juga yang terdapat di sini atau di alam lain; Atau permata tak ternilai apa pun juga di alam surga. Tiada yang menyamai Sang Tathagata. Sesungguhnya, dalam Sang Buddha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
4) Sang Bijaksana Sakyamuni menemukan lenyapnya dukkha, terlepasnya keinginan, pembebasan dari kematian, yang luhur; Tiada apa pun yang dapat menyamai keagungannya. Susungguhnya, dalam Dhamma terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
5) Kesucian yang dipuja oleh Sang Buddha, dinamakan samadhi dengan hasil segera — tiada satu pun yang dapat menyamai tingkat samadhi ini. Sesungguhnya, dalam Dhamma terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
6) Delapan orang yang dipuja oleh sang Budiman, Keempat pasangan ini adalah pengikut yang pantas mendapatkan pahala dari Sang Buddha — Pahala yang berbuah berkah berlimpah. Sesungguhnya, dalam Sangha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
7) Dengan tekad teguh mereka melaksanakan ajaran Gautama, tiada nafsu, mereka menuai hasilnya; terbebaskan dari kematian, mereka menikmati kedamaian abadi. Sesungguhnya, dalam Sangha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
Bagai tertanam kokoh di dalam tanah, tak tergoyahkan oleh angin dari empat penjuru; demikianlah orang bijaksana; Saya namakan, orang bijaksana yang telah memahami Kesunyataan Mulia. Sesungguhnya, dalam Sangha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
9) Mereka yang telah memahami Kesunyataan Mulia yang dibabarkan dengan jelas olehNya dengan kebijaksanaan hakiki. Sekalipun mereka lalai, mereka tidak akan terlahir di delapan alam utama. Sesungguhnya, dalam Sangha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
10) Seseorang yang telah memahami Pandangan Benar, tiga belenggu terlepaskan serentak, — Sakkya-ditthi (keyakinan adanya diri yang kekal), Vicikiccha (keragu-raguan) dan Silabbataparamassa (percaya pada takhyul) —. Terbebaskan dari empat alam menyedihkan. Ia tak dapat melakukan enam kejahatan berat. Sesungguhnya, dalam Sangha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
11) Walaupun Ia bisa melakukan beberapa kesalahan dengan perbuatan, perkataan dan pikiran, Ia tak dapat menyembunyikannya; Adalah keniscayaan bagi seseorang yang telah memahami jalan mulia. Sesungguhnya, dalam Sangha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
12) Bagaikan hutan belukar bermekaran bunga pada awal musim panas, demikian agunglah Dhamma menuju Nibbana yang Ia ajarkan, suatu kebajikan sejati. Sesungguhnya, dalam Buddha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
13) Ia, Yang Maha Agung, Maha Tahu, Maha Pemberi, Pembawa Keagungan, yang mengajarkan Keagungan Dhamma. Sesungguhnya, dalam Buddha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semoga semua mahluk berbahagia.
14) Karma mereka sirna, tiada muncul karma baru, pikiran mereka telah terbebaskan dari kelahiran kembali, benih-benih lampau dimusnahkan. Keinginan tiada timbul kembali, kebijaksanaan muncul bagaikan terang pelita ini. Sesungguhnya, dalam Sangha terdapat permata tak ternilai ini. Demi kebenaran ini, semua mahluk berbahagia.
15) Makluk apapun juga yang berada disini, baik dari dunia maupun ruang angkasa. Marilah bersama-sama kita menghormati Sang Buddha, yang dipuja dan dipuji oleh para Dewa dan Manusia. Semoga kita berbahagia.
16) Makluk apapun juga yang berada disini, baik dari dunia maupun ruang angkasa. Marilah bersama-sama kita menghormati Dhamma, yang dipuja dan dipuji oleh para Dewa dan Manusia. Semoga kita berbahagia.
17) Makluk apapun juga yang berada disini, baik dari dunia maupun ruang angkasa. Marilah bersama-sama kita menghormati Sangha, yang dipuja dan dipuji oleh para Dewa dan Manusia. Semoga kita berbahagia

kisah di balik karaniya metta sutta


Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi bersama dengan murid-muridnya, Sang Buddha memerintahkan kelima ratus orang muridnya untuk berlatih diri, bermeditasi di hutan untuk mencapai tingkat kesucian. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju ke suatu desa yang cukup besar. Penduduk desa yang ketika mengetahui murid-murid Sang Buddha mendatangi desa mereka, segera menyambutnya dengan menyiapkan tempat untuk beristirahat, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya. Mereka lalu bertanya:
“Kemanakah Bhante akan pergi?”.
Para bhikkhu itu menjawab:
“Kami akan pergi ke suatu tempat yang nyaman”.
Penduduk desa itu menyarankan:
“Bhante, tinggallah di hutan di dekat desa kami ini selama tiga bulan, sehingga kami dapat mempelajari Dhamma dibawah bimbinganmu”.
Para bhikkhu menyetujuinya, dan para penduduk berkata lagi:
“Bhante, di dekat desa kami ada hutan kecil, Bhante dapat tinggal di sana”.
Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju hutan yang ditunjukkan penduduk desa.
Di dalam hutan itu banyak terdapat makhluk halus penghuni hutan, mereka mengetahui kedatangan para bhikkhu, “Sekumpulan bhikkhu akan datang ke hutan ini, apabila para bhikkhu itu tinggal di sini, pasti tidak enak lagi kita berdiam di sini bersama anak dan istri”.
Mereka turun dari pohon dan duduk di bawah, mereka berpikir lagi:
“Kalau bhikkhu-bhikkhu itu tinggal di sini hanya satu malam, besok mereka pasti pergi dari hutan ini”.
Mereka lalu duduk diam di bawah pohon. Tetapi keesokkan harinya setelah para bhikkhu berpindapata ke desa di dekat hutan itu dan makan hasil pindapatanya, ternyata mereka kembali ke hutan itu.
Para makhluk halus penghuni hutan itu berpikir:
“Besok, kalau ada yang mengundang mereka, mereka pasti pergi dari sini. Kalau hari ini mereka tidak jadi pergi, besok mereka pasti pergi”. Setelah berpikir demikian, mereka duduk kembali di bawah pohon sepanjang malam.
Makhluk halus penghuni hutan ragu-ragu, apakah para bhikkhu itu akan segera pergi dari tempat tinggal mereka, lalu berpikir kembali:
“Apabila para bhikkhu ini tinggal di sini selama tiga bulan, pasti tidak enak lagi tinggal di sini, lagipula kita sudah lelah sekali duduk di bawah. Bagaimana yah, caranya supaya para bhikkhu ini pergi dari sini?”.
Karena merasa terganggu akhirnya makhluk halus penghuni hutan itu mengganggu para bhikkhu supaya mereka pergi dari tempat tinggal mereka. Siang dan malam hari para bhikkhu itu diganggu, ada yang melihat kepala-kepala beterbangan, ada pula yang melihat badan tanpa ada kepalanya berjalan-jalan, lalu terdengar suara-suara yang menyeramkan.
Pada waktu yang bersamaan, para bhikkhu itu banyak yang menderita bermacam-macam penyakit, ada yang sakit batuk, pilek atau sakit-sakit lainnya. Mereka lalu saling bertanya:
“Saudaraku, kamu sakit apa?”.
“Saya sakit pilek”.
“Saya batuk-batuk”.
“Saudaraku, hari ini saya melihat banyak kepala beterbangan”.
“Saudaraku, di malam hari saya melihat badan tanpa kepala berjalan-jalan”.
“Saya mendengar suara-suara yang menyeramkan”.
“Saudaraku, kita harus meninggalkan tempat ini, tempat ini tidak cocok untuk kita. Mari kita menemui Guru kita, Sang Buddha”.
Mereka meninggalkan hutan itu dan menemui Sang Buddha, setelah memberikan hormatnya dengan bernamaskara, mereka lalu duduk dan menceritakan mengapa mereka kembali, Sang Buddha lalu berkata:
“Bhikkhu, mengapa kalian tidak dapat tinggal di hutan itu?”.
Para bhikkhu menjawab:
“Yang Mulia, kami tidak dapat lagi tinggal di sana, tempat itu amat menyeramkan, banyak hal menakutkan yang kami lihat dan alami. Tempat itu tidak nyaman untuk kami, jadi kami memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali menemui Yang Mulia”.
“Bhikkhu, kamu harus kembali ke tempat itu”.
“Maaf Yang Mulia, kami tidak mau kembali ke sana”.
“Bhikkhu, ketika kamu pergi ke hutan itu untuk pertama kalinya, kamu tidak membawa “senjata”. Dan sekarang kamu harus membawa “senjata” bila kamu kembali ke sana”.
“Senjata apakah itu Yang Mulia?”
Sang Buddha lalu menjawab,
“Aku akan memberikan senjata yang dapat kamu bawa kemana pun kamu pergi”.
Sang Buddha pun mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta:
KARANIYAMATTHAKUSALENA
YAN TAM SANTAM PADAM ABHISAMECCA
SAKKO UJU CA SUHUJU CA
SUVACO CASSA MUDU ANATIMANI
SANTUSSAKO CA SUBHARO CA
APPAKICCO CA SALLAHUKAVUTTI
SANTINDRIYO CA NIPAKO CA
APPAGABBHO KULESU ANANUGIDDHO
NA CA KHUDDAM SAMACARE KINCI
YENA VINNU PARE UPAVADEYYUM
SUKHINO VA KHEMINO HONTU
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA
YE KECI PANABHUTATTHI
TASA VA THAVARA VA ANAVASESA
DIGHA VA YE MAHANTA VA
MAJJHIMA RASSAKA ANUKATHULA
DITTHA VA YE VA ADDITTHA
YE CA DURE VASANTI AVIDURE
BHUTA VA SAMBHAVESI VA
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA
NA PARO PARAM NIKUBBETHA
NATIMANNETHA KATTHACI NAM KANCI
BYAROSANA PATIGHASANNA
NANNAMANNASSA DUKKHAMICCHEYYA
MATA YATHA NIYAM PUTTAM
AYUSA EKAPUTTAMANURAKKHE
EVAMPI SABBABHUTESU
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM
METTANCA SABBALOKASMIM
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM
UDDHAM ADHO CA TIRIYANCA
ASAMBADHAM AVERAM ASAPATTAM
TITTHANCARAM NISINNO VA
SAYANO VA YAVATASSA VIGATAMIDDHO
ETAM SATIM ADHITTHEYYA
BRAHMAMETAM VIHARAM IDHAMAHU
DITTHINCA ANUPAGAMMA
SILAVA DASSANENA SAMPANNO
KAMESU VINEYYA GEDHAM
NA HI JATU GABBHASEYYAM PUNARETI’TI
Inilah yang harus dikerjakan
oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan.
Untuk mencapai ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong.
Merasa puas, mudah disokong/dilayani
Tiada sibuk, sederhana hidupnya
Tenang inderanya, berhati-hati
Tahu malu, tak melekat pada keluarga.
Tidak berbuat kesalahan walaupun kecil
yang dapat dicela oleh Para Bijaksana
Hendaklah ia berpikir :
Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram,
Semoga semua makhluk berbahagia.
Makhluk hidup apa pun juga
Yang lemah dan kuat tanpa kecuali
Yang panjang atau besar
Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk.
Yang tampak atau tidak tampak
Yang jauh atau pun dekat
Yang terlahir atau yang akan lahir
Semoga semua makhluk berbahagia.
Jangan menipu orang lain
Atau menghina siapa saja.
Jangan karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain celaka.
Bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran (kasih sayangnya) tanpa batas.
Kasih sayangnya ke segenap alam semesta
Dipancarkannya pikirannya itu tanpa batas
Ke atas, ke bawah dan kesekeliling
Tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan.
Selagi berdiri, berjalan atau duduk
Atau berbaring, selagi tiada lelap
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini
Yang dikatakan : Berdiam dalam Brahma
Tidak berpegang pada pandangan salah (tentang atta/aku)
Dengan sila dan penglihatan yang sempurna
Hingga bersih dari nafsu indera
Ia tak akan lahir dalam rahim mana pun juga.
Selesainya Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta, Sang Buddha berkata:
“Bhikkhu, bacakanlah Karaniya Metta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan ketika hendak memasuki tempat meditasi”.
Setelah berkata demikian, Sang Buddha melepaskan para bhikkhu kembali ke hutan.
Para bhikkhu menghormat Sang Buddha dan kembali ke hutan dengan membawa “senjata” yang telah Sang Buddha ajarkan. Dengan membacakan Karaniya Metta Sutta bersama-sama, mereka masuk ke dalam hutan.
Makhluk halus penghuni hutan mendengar Karaniya Metta Sutta, yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sesudahnya mereka amat senang dan merasa bersahabat dengan para bhikkhu. Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan minta ijin agar diperbolehkan membawakan mangkok-mangkok dan jubah-jubah. Mereka membersihkan tangan dan kaki para bhikkhu, lalu menempatkan penjagaan yang kuat di sekelilingnya. Mereka duduk bersama-sama para bhikkhu, berjaga-jaga. Suara-suara dan bayangan-bayangan menakutkan tidak ada lagi, para bhikkhu menjadi tenang dan nyaman.
Mereka segera duduk bermeditasi, melatih diri pada siang dan malam hari, untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan pikiran yang terpusat dan terkendali mereka merenungkan kematian, tentang tubuh yang mudah rusak dan membusuk, lalu mereka menarik kesimpulan,
“Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan”.
Mereka lalu mengembangkan Pandangan Terang.
Sang Buddha yang sedang bermeditasi mengetahui bahwa murid-muridnya mulai mengembangkan Pandangan Terang, lalu ia berbicara kepada mereka:
“Demikianlah bhikkhu. Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan”.
Sambil berkata demikian, Sang Buddha mengirimkan bayangan dirinya yang dapat terlihat dengan jelas oleh murid-muridnya.
Meskipun Sang Buddha berada amat jauh, tetapi para bhikkhu dapat melihat Sang Buddha dalam bentuk yang nyata, dengan memancarkan sinar yang amat terang, Sang Buddha mengucapkan syair:
“Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, maka hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota dan menyerang mara dengan senjata kabijaksanaan”

jenis jenis peta (setan)

Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:

1. yang hanya bertulang tanpa daging (aööhisaõkha-sika),
2. yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika),
3. yang berdaging benjol (maõsapióòa),
4. yang tak berkulit (nicchavirisa),
5. yang berbulu seperti pisau (asiloma),
6. yang berbulu seperti tombak (sat-tiloma),
7. yang berbulu seperti anak panah (usuloma),
8. yang berbulu seperti jarum (sûciloma),
9. yang berbulu seperti jarum jenis kedua (duti-yasûciloma),
10. yang berpelir besar (kumbhaóòa),
11. yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),
12. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
13. yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka),
14. yang berbau busuk (duggandha),
15. yang bertubuh bara api (ogilinî),
16. yang tak berkepala(asîsa),
17. yang berperawakan seperti bhikkhu,
18. yang berperawakan seperti bhikkhunî,
19. yang berperawakan seperti calon bhikkhunî(sikkhamâna),
20. yang berperawakan seperti sâmanera,
21. yang berperawakan seperti sâmanerî.

Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebutkan
adanya 12 macam setan, yaitu:

1. yang makan ludah, dahak dan mun-tahan(vantâsikâ),
2. yang makan mayat manusia atau binatang(kuópâsa),
3. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
4. yang berlidah api(ag-gijâlamukha),
5. yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),
6. yang terdorong keinginan tiada habis (taóhaööita),
7. yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),
8. yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),
9. yang bertubuh sangat besar (pabbataõga),
10. yang bertubuh seperti ular piton (ajagaraõga),
11. yang menderita di siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),
12. yang memiliki kesak-tian(mahiddhika).