Rabu, 28 November 2012

Kisah Samanera Cilik




Disuatu vihara tinggallah seorang samanera cilik,suatu hari samanera itu diajak ke suatu tempat oleh seorang bhikkhu senior divihara itu. tempat tersebut berada dibelakang vihara dan tempat tersebut tidak pernah dikunjungi oleh satupun orang divihara itu. pada saat dibuka pintu tempat tersebut oleh bhikkhu senior ternyata didalamnya terdapat sebuah kolam yang didalamnya terdapat tengkorak dan air dari kolam tersebut bewarna hijau dan terdapat sebatang kayu papan diatasnya yang menghubungkan satu ujung dengan ujung yang lainnya. samanera ini bertanya kepada bhikkhu senior itu "kenapa aku diajak kesini??" dan bhikkhu tersebut menjawab "saya mengajak kamu kesini karena saya akan mengetes kamu untuk menyebrangi kolam itu"  alangkah kagetnya samanera itu. lalu bhikkhu senior itu kembali berkata "kamu akan menyebrangi kolam ini minggu depan, maka selama satu minggu kamu harus terus berlati ingat itu dan satu lagi air kolam itu adalah air keras dan jika kamu terjatuh dan gagal maka kamu akan meninggal". Samanera cilik itu bertambah kaget setelah mengetahui hal tersebut, lalu samanera tersebut diajak keluar dari tempat itu. Setelah kembali dari tempat itu samanera terus terus dan terus berlatih untuk mempersiapakan semuanya, dan awal latihan beliau gagal tetapi akhirnya lama kelamaan berhasil. Dan tibalah waktunya dimana samanera itu harus menyebrangi kolam itu, lalu tibalah mereka di tempat tersebut sebelum masuk bhikkhu itu bertanya kepada samanera cilik itu “apakah kamu sudah siap??” jawab samanera cilik itu dengan lantangnya “saya siaaappp….” Akhirnya dibukalah pintu dari tempat tersebut dan apa yang terjadi ternyata tanpa diduga samanera cilik ternyata papan kayunya menjadi lebih kecil, dan hal tersebut membuat samanera cilik itu menjadi tidak yakin padahal sebelumnya beliau sudah yakin bisa menyebrangi kolam itu. Lalu bhikkhu senior berkata “hayo, silahkan kamu menyebrangi kolam tersebut” dengan terpaksa ,rasa ragu, dan takut samanera cilik itu menyebrangi kolam dengan hati-hati dan ternyata pada saat beliau tiba di tengah kolam samanera cilik itu menjadi tidak seimbang dan terjatuh Dan bhikkhu senior itu tertawa terbahak-bahak menyaksikan hal tersebut. Dan apa yang terjadi samanera itu kaget ternyata beliau tidak apa-apa, lalu beliau bertanya kepada bhikkhu senior tersebut “bhante, kenapa saya tidak mengalami apapun padahal air kolam  ini adalah air keras kata kamu waktu itu??” lalu bhikkhu itu menjawab “ternyata kamu mudah terpengaruh akan apa yang di ucapkan oleh orang lain. Sebenarnya air dari kolam hanyalah air biasa, karena keraguan dan ketakutan kamu maka membuat kamu gagal dalam menyebrangi kolam tersebut. Seandainya saja kamu yakin pada diri kamu sendiri bahwa kamu bisa walau papan tersebut menjadi lebih kecil kamu pasti berhasil menyebrangi kolam tersebut” dengan basah samanera dan bhikkhu itu kembali kevihara, dari hal tersebut samanera cilik itu belajar bahwa kita harus yakin pada diri sendiri bahwa kita bisa melakukan sesuatu hal walau apa yang kita hadapi itu sulit dan tidak mudah percaya akan apa yang diucapkan seseorang karena apa yang diucapkan belum tentu benar adanya.

kesimpulan: - bahwa kita harus yakin pada diri sendiri bahwa kita bisa melakukan sesuatu hal walau apa yang kita hadapi itu sulit.
-tidak mudah percaya akan apa yang diucapkan seseorang karena apa yang diucapkan belum tentu benar adanya.

Cerita ini dikutip dari buku sicacing dan kotoran kesayangannya edisi pertama
Semoga cerita ini bermanfaat bagi anda sekalian. Thx

Masih Ada Hari Esok

Ada sebuah kisah, suatu hari Raja Neraka merasa jumlah penghuni neraka semakin berkurang dan dengan gelisah bertanya pada iblis penjaga neraka, "Bagaimana caranya untuk meningkatkan jumlah penghuni neraka ini?"

Jende

ral berkepala kerbau menjawab, "Saya akan pergi ke alam manusia dan memberi tahu manusia bahwa 'tidak ada surga' di dunia ini, jadi tidak perlu lagi berbuat kebajikan. Kebajikan sebanyak apa pun, hati sebaik apa pun sama sekali tiada gunanya."

Mendengar usul tersebut, Raja Neraka menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Mengatakan demikian kepada manusia, kekuatannya tidak cukup kuat."

Jenderal berwajah kuda berkata, "Saya akan ke bumi dan memberi tahu manusia bahwa 'tidak ada neraka', sehingga mereka bebas melakukan apa saja dan mengerjakan apa saja sesuka hati."

Raja Neraka berpikir dan menganggap perkataan yang demikian pun tidak akan berpengaruh besar. Pada saat itu, ada satu setan kecil yang berkata, "Aku akan mengunjungi mereka dan memberitahukan mereka bahwa 'masih ada hari esok."

Mendengar usul tersebut, Raja Neraka dengan puas menitahkan, "Betul!" Cepat umumkan kepada segenap umat manusia bahwa, "Setiap orang masih memiliki hari esok.' Manusia mudah mengendur, jika mereka mengetahui bahwa masih ada hari esok, mereka akan berpikir masih ada waktu; Meningkatkan kualitas diri, lakukan saja besok; Berbuat baik, kerjakan saja besok. Segala harapan diletakkan pada hari esok, semangat untuk mengejar kemajuan akan patah. Dengan terpatahkannya semangat, maka kelengahan akan timbul, dan mereka pada akhirnya akan terjerumus ke neraka."

Dari sini dapat disimpulkan: Kehidupan manusia tidak kekal, bagaimana kita dapat berpikir untuk menunggu hari esok?

Dikutip dari Buku Ilmu Ekonomi Kehidupan (Karya Master Cheng Yen).

Minggu, 30 September 2012

Riwayat Para Samma Sambuddha


BUDDHA KASSAPA

Buddha Kassapa adalah Buddha ke 24 dari tradisi Pali; dan salah satu dari 7 Buddha yang disebutkan dalam daftar-daftar Pali. ia juga dianggap sebagai Buddha ke 3 di aeon saat ini (Kappa Bhadda).

Kassapa dilahirkan di Taman Rusa di Isipatana saat raja Kiki memerintah Varanasi. Beliau adalah putra dari Brahmadatta dan Dhanavati dan termasuk dalam suku Kassapa. IstriNya adalah Sunanda dan Vijitasena adalah putraNya. Beliau menjalani kehidupan berumah tangga selama 2.000 tahun dan hidup dalam istana-istana yaitu Hamsa, Yasa dan Sirinanda. Selanjutnya Beliau melepaskan kehidupan duniawi.

IstriNya mempersembahkan nasi susu; dan Soma memberinya rumput untuk tempat dudukNya tepat sebelum pencerahanNya. Yana adalah pohon bodhiNya. Beliau menyampaikan kotbah pertamaNya di Isipatana kepada sekelompok bhikkhu; dan menunjukkan keajaiban gandaNya di kaki pohon Asana di bagian luar Sundaranagara.

Banyak legenda dihubungkan denganNya; dan cerita tentang percakapan Yakkha Naradeva adalah yang paling menarik. Tissa dan Bharadvaja adalah bhikkhu utamaNya; dan diantara para bhikkhuni Anula dan Uruvela adalah pengikutNya yang paling terkenal. PembantuNya adalah Sabbamitta. Konon wajah keemasan Maha Kacchana disebabkan karena persembahan sebuah batu bata emasnya untuk tempat pemujaan Kassapa.

Buddha Kassapa hidup selama 20.000 tahun dan meninggal di Taman Setavya di Kashi.

Selama jaman Buddha Kassapa, Bodhisatva hidup sebagai seorang pemuda brahmin dengan nama Jotipala.

Faxian (Fahsien) dan Xuangzang (Huan Tsang) juga menunjukkan keberadaan fisik tempat-tempat pemujaan Kassapa.

Teks-teks Sansekerta Buddhist seperti Divyavadana 333 f.; Mahavastu i. 114 menyebut Kassapa sebagai Kashyapa


BUDDHA VESSABHU

Buddha Vessabhu dalam tradisi Pali dianggap sebagai Buddha ke 21.
Beliau dilahirkan di Anoma. Nama ayahNya adalah Supattita dan ibuNya adalah Yasavati.
Beliau dinamakan dengan nama ini karena saat lahir Beliau berteriak seperti seekor sapi jantan.
Nama istriNya adalah Suchitta; dan putraNya adalah Suppabuddha.
Beliau hidup sebagai perumah tangga selama 6.000 tahun dan hidup di tiga istana antara lain Ruchi, Suruchi dan Vaddhana. Beliau melepaskan keduniawian di sebuah tandu emas; dan melakukan latihan keras hanya selama 6 bulan. Tepat sebelum pencerahanNya, Beliau menerima nasi susu dari Sirivaddhana. Raja naga Narinda mempersiapkan tempat dudukNya. Beliau mencapai pencerahan di bawah pohon Sal. Beliau menyampaikan kotbah pertamaNya kepada putra saudaraNya yaitu Sona dan Uttara yang menjadi murid utamaNya. Pembantu utamaNya adalah Upasanta (juga disebut Upasannaka). Diantara para pendukung priaNya Sotthika dan Rama adalah yang utama dan Gotami dan Sirima adalah yang utama diantara para pendukung wanitaNya.

Beliau meninggal di Khemarama pada umur 60.000 tahun.

Bodhisatva hidup sebagai Raja Sarabhavati dan mempunyai nama Sudassana selama jaman Buddha Vessabhu.

Catatan: Beliau dipanggil Vishvabhu di Divyavadana 333.


BUDDHA KAKUSANDHA

Buddha Kakusandha dikenal sebagai Buddha ke 22 dalam tradisi Pali.
Beliau dilahirkan di Taman Khema. Nama ayahNya adalah Aggidatta yang menjadi seorang pendeta Brahmin di masa Raja Khemankara di Khemavati. Nama ibuNya adalah Visakha. Nama istriNya adalah Virochamana dan Uttara adalah putraNya.

Beliau melepaskan kehidupan duniawi di sebuah kereta kuda pada umur 4.000 tahun; dan melakukan latihan keras selama 8 bulan. Beliau menerima nasi susu dari seorang gadis Brahmin Vajirindha dari desa Suchirindha tepat sebelum pencapaian pencerahanNya; dan duduk di tempat duduk rumput yang disediakan oleh Subbhadda. Beliau mencapai pencerahan di bawah pohon Sirisa; dan menyampaikan kotbah pertamaNya kepada perkumpulan 84.000 bhikkhu di suatu taman dekat Makila.

Diantara para bhikkhu Vidhura dan Sanjiva adalah murid utamaNya; dan diantara para bhikkhuni adalah Sama dan Champa. Pembantu pribadi utamaNya adalah Buddhija. Diantara para pendukung pria Acchuta dan Samana adalah yang utama; sedangkan diantara para pendukung wanita Nanda dan Sunanda adalah pendukung utamaNya. Acchuta mendirikan sebuah vihara untuk Buddha Kakusandha di tempat sama dimana Anathapindika belakangan mendirikan Jetavana Arama untuk Buddha Gotama.

Menurut Samyutta Nikaya (II. 194) gunung Vepulla Rajgir saat itu dinamakan Pachinvamsa; dan rakyat dari daerah Tivara.

Beliau meninggal pada umur 40.000 tahun.

Bodhisatva pada jaman Buddha Kakusandha dilahirkan sebagai raja Khema.

BUDDHA KONAGAMANA

Konagamana adalah Buddha ke 23 dan Buddha ke 2 diantara Buddha yang lahir di Kappa Bhadda.

Lahir di Taman Subhagavati di Sobhavati, ibukota dari raja Sobha, Beliau adalah putra dari seorang Brahmin bernama Yannadatta. Uttara adalah ibuNya. IstriNya adalah Ruchigatta dan Satthavaha adalah putra mereka. Beliau hidup sebagai perumah tangga selama 3.000 tahun di 3 istana: Tusita, Santusita dan Santuttha. Selanjutnya Beliau melepaskan kehidupan duniawi dengan menunggang seekor gajah. Beliau melakukan latihan keras selama 6 tahun. Beliau menerima nasi susu dari seorang wanita Brahmin Aggisoma; dan rumput untuk tempat dudukNya dari Tinduka. Pohon pencapaian pencerahanNya adalah Udumbara. Beliau menyampaikan kotbah pertamaNya di Taman Sudassana Nagara.

Beliau meninggal di Pabbatarama pada umur 30.000 tahun. MuridNya yang utama diantara para bhikkhu adalah Bhiyya dan Uttara; dan Samudda dan Uttaraa diantara para bhikhuni. Pembantu utamaNya adalah Sotthiya. Di antara para pengikut pria awam Ugga dan Somadeva adalah yang populer; sedangkan diantara para pengikut wanita awam Sivala dan Sama adalah yang terpopuler.

Saat Buddha dilahirkan, kemudian diikuti dengan hujan emas di seluruh India purba (Jambu dvipa). Maka Buddha dinamakan Kanakagamana dimana dalam proses waktu menjadi Konagamana. Selama jamanNya gunung Vepulla di Rajgir dikenal sebagai Vankaka; dan rakyat di daerah tersebut disebut sebagai Rohitassa.

Bodhisatva dilahirkan sebagai seorang Khattiya (Chatriya) di Mithila pada saat Buddha Konagamana dan saat itu namanya adalah Pabbata.

Sumber-sumber berhubungan dengan ilmu purbakala mendukung keberadaan stupa yang didirikan di tempat kelahiran Buddha Konagamana dimana Asoka Maha Besar membesarkan ukurannya 2 kali lipat dan memujanya di masa pemerintahannya ke 20 tahun. (Lihat Hultszch, Tulisan Asoka p. 165). Faxian (Fahsien) yang mengunjungi India dari 399-414 Masehi; dan Xuangzang (Huan Tsang) yang tinggal di India dari 629-645 Masehi juga memberikan petunjuk keberadaan fisik dari stupa-stupa Konagamana di tempat kelahiranNya.

Teks-teks Sansekerta Buddhis seperti Divyavadana (333 f.); Mahavastu (i. 114) menyebut Konagamana sebagai Kanakamuni.


BUDDHA SAKYAMUNI

Buddha Sakyamuni / Sidharta Gautama adalah Sammasambudha di kalpa kita saat ini. Beliau adalah putra seorang raja yang bernama Sudhodana dan ibunya Mahamaya. Beliau meninggalkan kehidupan gemerlap di istana serta segala kemewahaannya dan memutuskan untuk mencari jalan untuk mengatasi penderitaan. Beliau mencapai Kebudhaan dibawah pohon Bodhi setelah menemukan 4 kesunyataan mulia, yang antara lain mengajarkan tentang: Adanya Dukkha, Sebab Dukkha, Lenyapnya Dukkha serta Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha.

BUDDHA MAITREYA

Maitreya adalah Buddha masa depan yang sangat dinantikan dan belum dilahirkan. Selanjutnya Beliau akan dianggap sebagai Buddha ke 25 menurut tradisi Pali.

Lebih lanjut lagi,menurut ramalan Budha Sakyamuni, beliau akan dihitung sebagai Buddha yang terakhir di aeon sekarang yaitu Kappa Bhadda. Dipercayai bahwa Beliau akan dilahirkan saat kehidupan manusia diperpanjang sampai 84.000 tahun. Tempat kelahiranNya adalah Ketumati di masa pemerintahan Chakkavatti Samkha dimana dia sendiri akan menjadi pengikut Buddha dan melepaskan kehidupan duniawi.

Maitreya akan dilahirkan di sebuah keluarga terpelajar yang terkenal dan namaNya adalah Ajita. Nama sukuNya juga Metteya. Nama ayahNya adalah Subrahma dan ibuNya adalah Brahmawati. Beliau akan menikah dengan Chandamukhi dan akan mempunyai putra Brahmavaddhana. Beliau akan hidup di empat istana selama 8.000 tahun yaitu Sirivaddha, Vaddhamana, Siddhattha dan Chandaka. Selanjutnya Beliau akan melepaskan keduniawian setelah melihat 4 tanda.

Yang akan menjadi para pengikutnya yang luar biasa adalah dua saudaraNya Isidatta dan Purana Jatimitta dan Vijaya diantara pengikut pria dan Suddhana, Sanghaa dan Visakhaa diantara pengikut wanita. Yang akan menjadi murid-murid utamaNya diantara para bhikkhu adalah Asoka dan Brahmadeva dan diantara para bhikkhuni adalah Paduma dan Sumana. Siha akan menjadi pembantu pribadiNya. Beliau akan mencapai pencerahan di bawah pohon Naga.

Telah menjadi tradisi bahwa Buddha akan datang berdiam di dunia Dewa Tusita dengan nama Nath. Beliau sering digambarkan atau diukir dalam mahkota-mahkota dan permata-permata karena Beliau belum melepaskan kehidupan duniawi. 

Rabu, 29 Februari 2012

Jumat, 20 Januari 2012

Kisah Godhika Thera

Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.
Dhammapada Atthakatha :
Kisah Godhika Thera
Godhika Thera, pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai kemajuan, beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.
Tanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.
Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan dimana Godhika Thera tersebut dilahirkan, tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang buddha dan bertanya dimana Godhika Thera sekarang. Sang Buddha menjawab, “Sia-sia kamu mencari kemana Godhika Thera pergi, setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran batin, ia mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah meninggal dunia.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
“Tesam sampannasalanam appamadaviharinam
sammadaññovimuttanam maro maggam na vindati”
Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.

Kisah Garahadinna

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.
Begitu juga di antara orang duniawi, siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna, bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.
Dhammapada Atthakatha :
Kisah Garahadinna
Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.
Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna seringkali berkata kepada Sirigutta, “Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha? Kemarilah, jadilah pengikut guruku.” Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kapada Garahadinna, “Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?” Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui segalanya. Dengan kekuatannya, dia dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.Sirigutta ingin mengetahui kebenaran tentang Nigantha, apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan untuk mengetahui pikiran seseorang, masa lampau, sekarang dan masa depan seseorang.
Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.
Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilahkan untuk masuk satu per satu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.
Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, “Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?” Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.
Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.
Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangnya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga mengutarakan rasa kuatir bahwa undangan tersebut mungkin suatu jebakan.
Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.
Garahadinna menggali parit, mengisinya dengan bara yang menyala dan menutupnya dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang, agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.
Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus Bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridnya duduk.
Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: “Bantulah saya, teman. Karena keinginan saya untuk membalas dendam, saya sungguh telah melakukan perbuatan salah. Rencana buruk saya sama sekali tidak berpengaruh terhadap gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. Tolonglah saya.”
Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur, semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut kemudian disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya.
Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan Beliau berkata, “Mereka yang tidak-tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
“yatha sakkaradhanasmim ujjhitasmim mahapathe
padumam tattha jayetha sucigandham manoramam
evam sakkarabhatesu andhabhate puthujjane
atirocati paññaya sammasambuddhasavako”
Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.
Begitu juga di antara orang duniawi,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna,
bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.
Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.
Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.
Sekembalinya ke Vihara Jetavana, para bhikkhu menyatakan ketakjuban mereka mengenai teratai yang muncul dari parit yang dipenuhi arang. Sang Buddha menjawab, bahwa ini bukanlah yang pertama kalinya hal itu terjadi. Kemudian atas permintaan mereka, Sang Buddha kemudian menceritakan Khadirangara Jataka.
——
Notes :
Khadirangara Jataka; di salah satu kehidupannya yang lalu, Sang Bodhisatta adalah seorang bendaharawan, beliau hendak memberikan dana makanan kepada seorang Pacceka Buddha. Mara menghalangi niat itu dengan menciptakan parit besar berisi api menyala di antara bendaharawan dan Pacceka Buddha. Tetapi sang bendaharawan tsb dengan tekad yang kuat tetap melangkah menuju Pacceka Buddha untuk memberikan mangkuk berisi makanan. Ketika ia melangkahkan kaki, muncul bunga-bunga teratai besar menerima pijakan kakinya, hingga ia selamat mencapai sang Pacceka Buddha untuk menuangkan makanan ke mangkuk Pacceka Buddha tsb.

Missionaris Buddhis

Pergilah kalian, demi kebaikan semua, demi kebahagiaan semua, atas dasar belas kasih kepada dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan. Babarkanlah Dhamma ini, yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya, dan indah pada akhirnya.
~ Buddha Gotama~ (Marakatha, Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka I) 
AJARAN MISIONARI PERTAMA
Kutipan ayat di atas cukup menjelaskan bahwa ajaran Buddha adalah ajaran misionari pertama dalam sejarah dengan pesan universal bagi kebaikan (be good) dan kebahagiaan (be happy) segenap makhluk.
Setelah memeriksa alam semesta, Buddha mengetahui bahwa ada beberapa makhluk yang mampu memahami Dhamma yang pelik ini. Buddha memutuskan untuk mengajarkan Dhamma dengan mengatakan: “Pintu Nibbana kini telah terbuka. Aku akan membabarkan Dhamma kepada segenap makhluk agar mereka yang meyakini dan mau mendengarnya meraih manfaatnya.” Setelah itu Buddha berkeliling India selama 45 tahun dengan hanya makan satu kali sehari dan tidur satu jam sehari, mengajarkan tentang kenyataan penderitaan dan jalan keluar dari penderitaan.
PRINSIP MISIONARI BUDDHIS
Demi kebaikan dan kebahagiaan semua makhluk.
Inilah motif dasar sekaligus akhir dari setiap misionari Buddhis; bukan sekadar demi kemuliaan Buddha atau keunggulan Dhamma semata.
Ehipassiko (Datang dan Lihatlah Sendiri).
Kebebasan berpikir dan bertanya itu sungguh penting; ajaran Buddha dijalankan secara “ehipassiko”, yang artinya mengundang Anda untuk datang dan melihat sendiri, bukan datang dan percaya begitu saja.
Tidak Ada Fanatisme.
Ajaran Buddha dapat dikatakan bebas dari segala bentuk fanatisme. Ajaran Buddha bertujuan untuk menghasilkan perubahan internal dengan jalan penaklukan diri sendiri; bagaimana mungkin ajaran Buddha dikatakan mencari kekuasaan atau keuntungan sepihak? Buddha hanya menunjukkan jalan kebahagiaan ( atau lebih cocok disebut selesai atau berakhirnya penderitaan ), selanjutnya terserah setiap orang untuk memutuskan akan mengikutinya atau tidak.
Tidak Mengubah Agama Orang.
Umat Buddha tidak pernah menarik masuk dengan cara memaksakan pendapat dan keyakinan terhadap orang yang tidak berminat; juga tidak menggunakan berbagai rayuan atau tipuan untuk memenangkan pandangannya. Misionari Buddhis tidak pernah bersaing untuk mengubah agama orang.
Dalam Sutta Udumbara, Buddha berkata:
Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima.”
Toleransi Luar Biasa.
Toleransi umat Buddha diteladankan oleh Kaisar Asoka dalam salah satu dekritnya yang terukir di batu karang dan masih ada sampai hari ini di India:
Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, tapi juga harus menghormati agama lain karena satu dan lain hal. Dengan bertindak demikian, seseorang membantu agamanya sendiri untuk tumbuh sekaligus memberikan pelayanan bagi agama lain. Dengan bertindak sebaliknya, seseorang menggali kubur bagi agamanya sendiri sekaligus merugikan agama lain.”
“Barang siapa yang menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, melakukannya demi pemujaan terhadap agamanya sendiri, berpikir, ‘Saya akan memuliakan agama saya sendiri,’ dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri. Kerukunan itu baik; biarlah semua mendengar dan berniat untuk mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain.”

Kandina Jataka

Pada suatu ketika di kerajaan Magadha, raja sedang berdiam di Rajagaha. Saat itu musim panen telah tiba dan berbahaya bagi para rusa untuk berdiam di hutan dekat ladang-ladang petani. Oleh karena itu rusa-rusa tersebut pergi menuju pedalaman hutan menjauhi ladang petani.
Dikisahkan hiduplah seekor rusa jantan yang jatuh cinta kepada seekor rusa betina yang berasal dari hutan dekat sebuah desa. Tergerak oleh rasa cintanya, rusa jantan itu mengikuti rusa betina kembali ke kawanannya di hutan dekat desa. Rusa betina tersebut berkata, “Anda adalah seekor rusa jantan biasa dan lingkungan di sekitar desa-desa penuh dengan jebakan dan bahaya. Oleh karena itu janganlah anda mengikuti kami.”
Tetapi karena besar rasa cintanya kepada rusa betina, dia tetap mengikuti rusa betina itu kembali ke hutan desa. Ketika para petani menyadari bahwa telah tiba saatnya para rusa kembali dari hutan pedalaman ke hutan desa, mereka segera menyiapkan jebakan atau berburu secara terbuka. Mencium bau manusia, si rusa betina sengaja membiarkan rusa jantan berjalan terlebih dahulu di depannya. Melihat buruannya si pemburu segera melepaskan sebuah anak panah tepat menuju si rusa jantan. Rusa betina segera melarikan diri secepat kilat. Kemudian si pemburu keluar dari tempat persembunyiannya, menggorok dan menguliti si rusa jantan dan menyalakan api untuk memanggang daging segar yang baru diperolehnya. Selesai makan dan minum sampai puas dia membawa sisa daging untuk diberikan kepada anak-anaknya.
Saat itu Bodhisatta terlahir sebagai peri hutan yang berdiam di pucuk pepohonan dan dia melihat apa yang telah terjadi. “Bukan karena ayah atau ibunya, tetapi nafsulah yang telah menghancurkan rusa bodoh ini. Permulaan dari nafsu memang menyenangkan tetapi akan berakhir dengan kesedihan dan penderitaan…”

Lakkhana Jataka

Pada suatu ketika di sebuah kota bernama Rajagaha di kerajaan Magadha, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan. Dia berdiam di dalam hutan sebagai pemimpin sekawanan rusa yang berjumlah seribu ekor. Dia memiliki dua putra, masing-masing bernama si Untung dan si Hitam. Ketika dia bertambah tua, dia pun memberikan posisi kepemimpinannya kepada dua anaknya, masing-masing dengan lima ratus rusa pengikut. Maka, sekarang posisi pemimpin berada di kedua rusa muda tersebut.
Kemudian musim panen dimulai. Ketika hasil panen sudah siap diambil, akan menjadi sangat berbahaya bagi rusa-rusa di hutan sekitar ladang. Keinginan untuk membunuh hewan yang merusak dan memakan hasil panen mereka, para petani dan pemburu menggali lubang, menempatkan jebakan, dan memasang berbagai perangkap lainnya sehingga banyak rusa yang terbunuh pada musim ini.
Oleh karena itu, ketika Bodhisatta menyadari bahwa musim panen telah tiba, dia berkata kepada kedua putranya, “Anak-anakku, sekarang musim panen telah tiba dan banyak rusa yang menemui ajalnya pada musim ini. Kami yang sudah tua akan bersembunyi di salah satu tempat; tetapi kalian berdua sebaiknya pergi menjauh menuju pegunungan bersama-sama dengan para pengikut kalian dan kembali lagi kemari setelah hasil panen diambil.”
“Baiklah,” jawab kedua anaknya, dan mereka pun pergi bersama dengan rombongannya masing-masing.
Dikisahkan bahwa manusia yang tinggal di sepanjang rute perjalanan sudah cukup mengetahui bahwa para rusa akan melalui rute yang sama untuk menuju pegunungan. Mereka pun memasang berbagai perangkap, memanah, dan membunuh banyak rusa. Si hitam yang bodoh, tidak pernah mengindahkan saat yang tepat untuk bepergian. Dia memimpin rusa-rusa pengikutnya saat dini dan malam hari, mendekati perbatasan-perbatasan desa. Para petani, entah itu secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, berhasil membunuh sejumlah kawanan si hitam. Akhirnya setelah melalui berbagai macam jebakan dan perburuan, dia berhasil mencapai hutan pegunungan bersama dengan sedikit kawanan.
Di lain pihak, si untung bersikap cermat dan bijaksana. Dia tidak pernah mendekati batas-batas desa. Dia pun tidak bepergian saat siang, dini atau malam hari. Hanya pada saat tengah malam buta dia mulai melakukan perjalanan dan hasilnya adalah dia berhasil membawa semua rusa pengikutnya mencapai hutan pegunungan.
Empat bulan kemudian, musim panen telah berlalu. Mereka pun siap kembali. Dalam perjalanan kembali si hitam masih mengulangi kesalahan yang sama hingga akhirnya hanya dia sendiri yang berhasil pulang. Sedangkan si untung tidak kehilangan satu pun anggota rombongannya.