Jumat, 20 Januari 2012

Kisah Godhika Thera

Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.
Dhammapada Atthakatha :
Kisah Godhika Thera
Godhika Thera, pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai kemajuan, beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.
Tanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.
Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan dimana Godhika Thera tersebut dilahirkan, tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang buddha dan bertanya dimana Godhika Thera sekarang. Sang Buddha menjawab, “Sia-sia kamu mencari kemana Godhika Thera pergi, setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran batin, ia mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah meninggal dunia.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
“Tesam sampannasalanam appamadaviharinam
sammadaññovimuttanam maro maggam na vindati”
Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.

Kisah Garahadinna

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.
Begitu juga di antara orang duniawi, siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna, bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.
Dhammapada Atthakatha :
Kisah Garahadinna
Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.
Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna seringkali berkata kepada Sirigutta, “Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha? Kemarilah, jadilah pengikut guruku.” Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kapada Garahadinna, “Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?” Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui segalanya. Dengan kekuatannya, dia dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.Sirigutta ingin mengetahui kebenaran tentang Nigantha, apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan untuk mengetahui pikiran seseorang, masa lampau, sekarang dan masa depan seseorang.
Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.
Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilahkan untuk masuk satu per satu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.
Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, “Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?” Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.
Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.
Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangnya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga mengutarakan rasa kuatir bahwa undangan tersebut mungkin suatu jebakan.
Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.
Garahadinna menggali parit, mengisinya dengan bara yang menyala dan menutupnya dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang, agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.
Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus Bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridnya duduk.
Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: “Bantulah saya, teman. Karena keinginan saya untuk membalas dendam, saya sungguh telah melakukan perbuatan salah. Rencana buruk saya sama sekali tidak berpengaruh terhadap gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. Tolonglah saya.”
Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur, semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut kemudian disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya.
Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan Beliau berkata, “Mereka yang tidak-tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
“yatha sakkaradhanasmim ujjhitasmim mahapathe
padumam tattha jayetha sucigandham manoramam
evam sakkarabhatesu andhabhate puthujjane
atirocati paññaya sammasambuddhasavako”
Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.
Begitu juga di antara orang duniawi,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna,
bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.
Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.
Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.
Sekembalinya ke Vihara Jetavana, para bhikkhu menyatakan ketakjuban mereka mengenai teratai yang muncul dari parit yang dipenuhi arang. Sang Buddha menjawab, bahwa ini bukanlah yang pertama kalinya hal itu terjadi. Kemudian atas permintaan mereka, Sang Buddha kemudian menceritakan Khadirangara Jataka.
——
Notes :
Khadirangara Jataka; di salah satu kehidupannya yang lalu, Sang Bodhisatta adalah seorang bendaharawan, beliau hendak memberikan dana makanan kepada seorang Pacceka Buddha. Mara menghalangi niat itu dengan menciptakan parit besar berisi api menyala di antara bendaharawan dan Pacceka Buddha. Tetapi sang bendaharawan tsb dengan tekad yang kuat tetap melangkah menuju Pacceka Buddha untuk memberikan mangkuk berisi makanan. Ketika ia melangkahkan kaki, muncul bunga-bunga teratai besar menerima pijakan kakinya, hingga ia selamat mencapai sang Pacceka Buddha untuk menuangkan makanan ke mangkuk Pacceka Buddha tsb.

Missionaris Buddhis

Pergilah kalian, demi kebaikan semua, demi kebahagiaan semua, atas dasar belas kasih kepada dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan. Babarkanlah Dhamma ini, yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya, dan indah pada akhirnya.
~ Buddha Gotama~ (Marakatha, Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka I) 
AJARAN MISIONARI PERTAMA
Kutipan ayat di atas cukup menjelaskan bahwa ajaran Buddha adalah ajaran misionari pertama dalam sejarah dengan pesan universal bagi kebaikan (be good) dan kebahagiaan (be happy) segenap makhluk.
Setelah memeriksa alam semesta, Buddha mengetahui bahwa ada beberapa makhluk yang mampu memahami Dhamma yang pelik ini. Buddha memutuskan untuk mengajarkan Dhamma dengan mengatakan: “Pintu Nibbana kini telah terbuka. Aku akan membabarkan Dhamma kepada segenap makhluk agar mereka yang meyakini dan mau mendengarnya meraih manfaatnya.” Setelah itu Buddha berkeliling India selama 45 tahun dengan hanya makan satu kali sehari dan tidur satu jam sehari, mengajarkan tentang kenyataan penderitaan dan jalan keluar dari penderitaan.
PRINSIP MISIONARI BUDDHIS
Demi kebaikan dan kebahagiaan semua makhluk.
Inilah motif dasar sekaligus akhir dari setiap misionari Buddhis; bukan sekadar demi kemuliaan Buddha atau keunggulan Dhamma semata.
Ehipassiko (Datang dan Lihatlah Sendiri).
Kebebasan berpikir dan bertanya itu sungguh penting; ajaran Buddha dijalankan secara “ehipassiko”, yang artinya mengundang Anda untuk datang dan melihat sendiri, bukan datang dan percaya begitu saja.
Tidak Ada Fanatisme.
Ajaran Buddha dapat dikatakan bebas dari segala bentuk fanatisme. Ajaran Buddha bertujuan untuk menghasilkan perubahan internal dengan jalan penaklukan diri sendiri; bagaimana mungkin ajaran Buddha dikatakan mencari kekuasaan atau keuntungan sepihak? Buddha hanya menunjukkan jalan kebahagiaan ( atau lebih cocok disebut selesai atau berakhirnya penderitaan ), selanjutnya terserah setiap orang untuk memutuskan akan mengikutinya atau tidak.
Tidak Mengubah Agama Orang.
Umat Buddha tidak pernah menarik masuk dengan cara memaksakan pendapat dan keyakinan terhadap orang yang tidak berminat; juga tidak menggunakan berbagai rayuan atau tipuan untuk memenangkan pandangannya. Misionari Buddhis tidak pernah bersaing untuk mengubah agama orang.
Dalam Sutta Udumbara, Buddha berkata:
Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima.”
Toleransi Luar Biasa.
Toleransi umat Buddha diteladankan oleh Kaisar Asoka dalam salah satu dekritnya yang terukir di batu karang dan masih ada sampai hari ini di India:
Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, tapi juga harus menghormati agama lain karena satu dan lain hal. Dengan bertindak demikian, seseorang membantu agamanya sendiri untuk tumbuh sekaligus memberikan pelayanan bagi agama lain. Dengan bertindak sebaliknya, seseorang menggali kubur bagi agamanya sendiri sekaligus merugikan agama lain.”
“Barang siapa yang menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, melakukannya demi pemujaan terhadap agamanya sendiri, berpikir, ‘Saya akan memuliakan agama saya sendiri,’ dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri. Kerukunan itu baik; biarlah semua mendengar dan berniat untuk mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain.”

Kandina Jataka

Pada suatu ketika di kerajaan Magadha, raja sedang berdiam di Rajagaha. Saat itu musim panen telah tiba dan berbahaya bagi para rusa untuk berdiam di hutan dekat ladang-ladang petani. Oleh karena itu rusa-rusa tersebut pergi menuju pedalaman hutan menjauhi ladang petani.
Dikisahkan hiduplah seekor rusa jantan yang jatuh cinta kepada seekor rusa betina yang berasal dari hutan dekat sebuah desa. Tergerak oleh rasa cintanya, rusa jantan itu mengikuti rusa betina kembali ke kawanannya di hutan dekat desa. Rusa betina tersebut berkata, “Anda adalah seekor rusa jantan biasa dan lingkungan di sekitar desa-desa penuh dengan jebakan dan bahaya. Oleh karena itu janganlah anda mengikuti kami.”
Tetapi karena besar rasa cintanya kepada rusa betina, dia tetap mengikuti rusa betina itu kembali ke hutan desa. Ketika para petani menyadari bahwa telah tiba saatnya para rusa kembali dari hutan pedalaman ke hutan desa, mereka segera menyiapkan jebakan atau berburu secara terbuka. Mencium bau manusia, si rusa betina sengaja membiarkan rusa jantan berjalan terlebih dahulu di depannya. Melihat buruannya si pemburu segera melepaskan sebuah anak panah tepat menuju si rusa jantan. Rusa betina segera melarikan diri secepat kilat. Kemudian si pemburu keluar dari tempat persembunyiannya, menggorok dan menguliti si rusa jantan dan menyalakan api untuk memanggang daging segar yang baru diperolehnya. Selesai makan dan minum sampai puas dia membawa sisa daging untuk diberikan kepada anak-anaknya.
Saat itu Bodhisatta terlahir sebagai peri hutan yang berdiam di pucuk pepohonan dan dia melihat apa yang telah terjadi. “Bukan karena ayah atau ibunya, tetapi nafsulah yang telah menghancurkan rusa bodoh ini. Permulaan dari nafsu memang menyenangkan tetapi akan berakhir dengan kesedihan dan penderitaan…”

Lakkhana Jataka

Pada suatu ketika di sebuah kota bernama Rajagaha di kerajaan Magadha, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan. Dia berdiam di dalam hutan sebagai pemimpin sekawanan rusa yang berjumlah seribu ekor. Dia memiliki dua putra, masing-masing bernama si Untung dan si Hitam. Ketika dia bertambah tua, dia pun memberikan posisi kepemimpinannya kepada dua anaknya, masing-masing dengan lima ratus rusa pengikut. Maka, sekarang posisi pemimpin berada di kedua rusa muda tersebut.
Kemudian musim panen dimulai. Ketika hasil panen sudah siap diambil, akan menjadi sangat berbahaya bagi rusa-rusa di hutan sekitar ladang. Keinginan untuk membunuh hewan yang merusak dan memakan hasil panen mereka, para petani dan pemburu menggali lubang, menempatkan jebakan, dan memasang berbagai perangkap lainnya sehingga banyak rusa yang terbunuh pada musim ini.
Oleh karena itu, ketika Bodhisatta menyadari bahwa musim panen telah tiba, dia berkata kepada kedua putranya, “Anak-anakku, sekarang musim panen telah tiba dan banyak rusa yang menemui ajalnya pada musim ini. Kami yang sudah tua akan bersembunyi di salah satu tempat; tetapi kalian berdua sebaiknya pergi menjauh menuju pegunungan bersama-sama dengan para pengikut kalian dan kembali lagi kemari setelah hasil panen diambil.”
“Baiklah,” jawab kedua anaknya, dan mereka pun pergi bersama dengan rombongannya masing-masing.
Dikisahkan bahwa manusia yang tinggal di sepanjang rute perjalanan sudah cukup mengetahui bahwa para rusa akan melalui rute yang sama untuk menuju pegunungan. Mereka pun memasang berbagai perangkap, memanah, dan membunuh banyak rusa. Si hitam yang bodoh, tidak pernah mengindahkan saat yang tepat untuk bepergian. Dia memimpin rusa-rusa pengikutnya saat dini dan malam hari, mendekati perbatasan-perbatasan desa. Para petani, entah itu secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, berhasil membunuh sejumlah kawanan si hitam. Akhirnya setelah melalui berbagai macam jebakan dan perburuan, dia berhasil mencapai hutan pegunungan bersama dengan sedikit kawanan.
Di lain pihak, si untung bersikap cermat dan bijaksana. Dia tidak pernah mendekati batas-batas desa. Dia pun tidak bepergian saat siang, dini atau malam hari. Hanya pada saat tengah malam buta dia mulai melakukan perjalanan dan hasilnya adalah dia berhasil membawa semua rusa pengikutnya mencapai hutan pegunungan.
Empat bulan kemudian, musim panen telah berlalu. Mereka pun siap kembali. Dalam perjalanan kembali si hitam masih mengulangi kesalahan yang sama hingga akhirnya hanya dia sendiri yang berhasil pulang. Sedangkan si untung tidak kehilangan satu pun anggota rombongannya.

TIPALLATTHAMIGA JATAKA (JATAKA 16)

“Dalam ketiga sikap tubuh,” 
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika menetap di Arama Badarika di Kosambi, mengenai Thera Rahula, yang memiliki ketetapan hati untuk menjalankan peraturan dalam Sanggha. Ketika Sang Guru menetap di Wihara Aggalava dekat Kota alavi, banyak upasaka, upasika, Bhikkhu dan bhikkhuni datang berduyun-duyun menuju tempat tersebut untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ketika khotbah disampaikan pada siang hari, tidak ada satu pun upasika atau bhikkhuni yang hadir, yang ada hanya upasaka dan para bhikkhu. Kemudian khotbah disampaikan di sore hari; setelah selesai, para bhikkhu senior kembali ke bilik mereka masing-masing. Sementara para samanera bersama upasaka lainnya beristirahat di baktisala. Saat mereka terlelap, terdengar suara dengkuran, dengusan serta suara kertakan gigi. Setelah tidur sejenak, beberapa orang terbangun, kemudian melaporkan ketidaklayakan yang mereka saksikan kepada Sang Bhagawan. Beliau berkata, “Jika seorang bhikkhu tidur bersama (satu atap) dengan para samanera, itu adalah pelanggaran Pacittiya (diperlukan adanya pengakuan dan pengampunan).”
Setelah menyampaikan peraturan latihan tersebut, Beliau pergi ke Kosambi. Para bhikkhu berkata kepada Rahula, “Awuso, Sang Bhagawan telah menetapkan peraturan latihan ini, mohon Anda mencari tempat tinggal untuk Anda sendiri.” Sebelumnya, karena menghormati ayahnya, dan karena keinginan anak tersebut yang kuat untuk menjalankan peraturan-peraturan Sanggha, mereka menerima anak muda itu dengan senang hati bahkan memintanya menganggap tempat itu seperti rumahnya sendiri; — mereka membuatkan tempat tidur kecil yang cocok untuknya dan memberikan kain untuk dijadikan bantal olehnya. Namun saat kisah ini terjadi, mereka bahkan tidak bersedia menyisihkan tempat di gudang kepadanya, takut kalau mereka akan melanggar peraturan. Rahula yang mulia tidak pergi kepada Sang Buddha selaku ayahnya, pun tidak pergi ke Sariputta, sang Panglima Dhamma selaku guru pelantiknya (upajjhaya), pun tidak pergi ke Moggallana selaku gurunya (acariya), pun tidak pergi ke Thera Ananda selaku pamannya, ia pergi ke kamar mandi Sang Buddha dan menetap di sana seakan berada di sebuah gedung yang sangat menyenangkan. Kamar mandi Sang Buddha ini sendiri pintunya selalu tertutup rapat; permukaan lantainya merupakan lapisan tanah yang wangi; bunga dan rangkaian bunga menghiasi dinding-dindingnya; dan sepanjang malam, sebuah lampu menerangi tempat tersebut. Namun, bukan hal-hal tersebut yang mendorong Rahula menetap di sana, sama sekali bukan. Ia hanya menuruti perkataan para bhikkhu agar ia mencari tempat tinggal sendiri dan karena ia menghormati perintah yang diberikan kepadanya, juga karena keinginannya untuk menjalankan peraturan Sanggha. Biasanya, para bhikkhu dari waktu ke waktu, dengan alasan untuk mengujinya, begitu melihat kedatangannya dari jauh, selalu menjatuhkan sapu maupun pembersih debu lainnya ke lantai, kemudian pura-pura bertanya siapa yang telah menjatuhkan barang itu saat R?hula telah dekat. “Yah, Rahula yang datang dari arah itu,” merupakan perkataan mereka selanjutnya. Namun calon thera itu tidak pernah mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hal tersebut, dengan rendah hati ia memohon maaf dari para bhikkhu, dan tidak akan pergi sebelum ia dimaafkan;— begitu antusiasnya ia menjalankan peraturan-peraturan tersebut. Hal inilah yang merupakan penyebab utama ia mau tinggal di kamar mandi tersebut.
Suatu hari, saat langit masih belum terang, Sang Buddha berdiri di depan kamar mandi dan berdehem. Suara tersebut di balas oleh Bhikkhu Rahula. “Siapa yang berada di dalam sana?” tanya Sang Buddha. “Saya, Rahula,” jawabnya; anak muda itu kemudian muncul dan memberi hormat kepada Sang Buddha.
“Mengapa engkau tidur di sini, Rahula?” “Karena saya tidak tahu harus pergi ke mana. Sebelum ini, para bhikkhu memperlakukan saya dengan sangat baik, Bhante; saat ini mereka semua takut melakukan pelanggaran sehingga mereka tidak bersedia menampungku lagi. Akhirnya saya tinggal di sini, karena saya pikir ini adalah tempat dimana saya tidak akan berhubungan dengan orang lain.”
Sang Guru berpikir sendiri, “Jika Rahula saja diperlakukan seperti ini, apa yang tidak bisa mereka lakukan terhadap anak-anak (muda) lainnya yang diterima dalam Bhikkhu Sanggha?” Hati-Nya tergerak untuk menunjukkan kebenaran.
Maka saat pagi tiba, Beliau mengumpulkan semua bhikkhu, dan bertanya pada sang Panglima Dhamma, “Sariputta, tahukah engkau dimana Rahula tinggal selama ini?”
“Tidak, Bhante, saya tidak tahu.”
“Sariputta, selama ini Rahula tinggal di kamar mandi. Jika Rahula saja mendapatkan perlakuan seperti ini, apa yang tidak bisa dilakukan mereka terhadap anak muda lain yang engkau terima dalam Sanggha? Perlakuan seperti ini tidak akan mampu diterima oleh mereka yang bergabung dalam Sanggha.
Di masa yang akan datang, terimalah para samanera untuk tinggal di tempatmu selama satu atau dua hari, dan pada hari ketiga minta mereka untuk pindah ke tempat lain, dan engkau harus mengetahui tempat tinggal mereka.” Demikianlah Sang Guru menetapkan peraturan latihan dengan tambahan ini. Saat berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan kebaikan Rahula, “Lihatlah, Awuso, betapa besarnya niat Rahula untuk menjalankan peraturan-peraturan itu.
Saat mencari tempat tinggal, ia tidak mengatakan, ‘Saya adalah putra dari Sang Buddha; apa yang kamu lakukan di tempat ini? Berikan tempat tinggal ini kepadaku’. Tidak, tidak ada satu pun bhikkhu yang ia usir, malah, ia memilih tinggal di dalam kamar mandi.”
Saat mereka sedang membicarakan hal tersebut, Sang Guru memasuki tempat itu dan duduk di tempat-Nya, dan bertanya, “Apa topik pembicaraan kalian, para Bhikkhu?”
“Bhante,” jawab mereka, “kami sedang membicarakan niat Rahula yang sangat besar dalam menjalankan peraturan-peraturan Sanggha, bukan membicarakan hal-hal yang lain.”
Sang Guru berkata, “Hal ini tidak ditunjukkannya saat ini saja, di kehidupan yang lampau ia juga melakukan hal yang sama, bahkan saat ia terlahir sebagai hewan.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
_____________________
Sekali waktu seorang Raja Magadha memerintah di Rajagaha, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan, ia tinggal di sebuah hutan sebagai pemimpin dari sekawanan rusa.
Kakaknya membawa anak laki-lakinya menghadap Bodhisatta, berkata, “Adikku, ajari keponakanmu tentang cara-cara rusa menghindari penangkapan.” “Pasti,” jawab Bodhisatta, “pulanglah sekarang, Nak, dan datang pada waktu ini dan itu untuk menerima pelajaran.” Tepat pada waktu yang disebut pamannya, rusa muda itu tiba dan menerima pelajaran tentang cara-cara tersebut.
Suatu hari, saat sedang menjelajahi hutan, ia terjebak dalam perangkap. Ia mengeluarkan suara tangis yang menyedihkan karena terjebak dalam perangkap itu. Kawanan rusa yang lain segera melarikan diri dan menyampaikan hal itu kepada ibunya. Ia segera menemui adiknya dan bertanya apakah anaknya telah mempelajari cara-cara tersebut. “Jangan khawatir; anakmu tidak akan melakukan kesalahan,” kata Bodhisatta.
“Ia telah mempelajari semua cara-cara rusa menghindari penangkapan, dan akan segera kembali untuk menerima sambutan darimu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia mengulangi syair-syair berikut ini :
Dalam ketiga sikap tubuh — punggung dan kedua sisinya — anakmu telah mempelajarinya, ia telah dilatih untuk menggunakan kedelapan kukunya, kecuali di tengah malam, ia tidak akan melepas dahaganya, saat terbaring di tanah, ia akan terlihat tanpa daya, hanya bernafas dengan bagian bawah hidung. Ia mengetahui enam cara untuk menipu lawannya.
Dengan syair itulah Bodhisatta menghibur kakaknya, menunjukkan bagaimana anaknya telah menguasai seluruh cara-cara itu. Sementara itu, rusa muda yang terjebak dalam perangkap itu tidak melakukan perlawanan, melainkan berbaring merebahkan sisi-sisi tubuhnya, dengan kaki terentang keluar tegang dan kaku. Ia mengais tanah di sekitar kuku-kukunya untuk menjatuhkan rumput dan tanah; membuatnya terasa alami; kepalanya terkulai; ia juga menjulurkan lidah; meliuri sekujur tubuhnya; menggembungkan diri dengan menarik nafas; membalikkan mata; hanya bernafas dengan bagian bawah hidungnya; menahan nafas di hidung bagian atas; membuat dirinya terkesan tegang dan kaku seperti mayat. Beberapa ekor lalat hijau bahkan mengerumuninya; dan disekitarnya juga terdapat burung gagak.
Pemburu itu datang, ia memukul perut rusa itu dengan tangannya dan berkata, “Ia pasti terperangkap tadi pagi; ia telah menjadi amis.” Setelah itu, ia melepaskan rusa dari ikatannya, dengan berkata, “Saya akan memotongnya di sini dan membawa dagingnya pulang ke rumah.” Saat pemburu itu mengumpulkan kayu dan dedaunan (untuk membuat api), rusa itu berdiri dan membebaskan dirinya, ia menarik lehernya, dan seperti awan kecil yang menghindari angin topan, berlari dengan cepat kembali ke pelukan ibunya.
____________________
Setelah mengulangi apa yang telah Beliau katakana bahwa di kehidupan yang lampau, R?hula juga menunjukkan keinginan yang sangat besar untuk menjalankan peraturan-peraturan itu, tidak kurang dibandingkan dengan apa yang ditunjukkannya di kehidupan ini. Sang Guru kemudian mempertautkan kedua kisah itu dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “R?hula adalah rusa muda di masa itu, Uppalavann? adalah ibunya dan Saya sendiri adalah paman rusa tersebut.”

EKAPANNA JATAKA (Jataka 149)

“Jika racun tersembunyi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di karigarasil 228, Mahavana dekat Vesali.
Pada masa itu, Vesali berada dalam keadaan yang sangat makmur. Sebuah dinding berlapis tiga mengelilingi kota tersebut, setiap dinding berjarak satu yojana dari dinding berikutnya, dan terdapat tiga buah gerbang dengan menara pengawas. Di kota tersebut selalu terdapat tujuh ratus tujuh puluh tujuh orang raja yang memerintah kerajaan tersebut, serta raja muda, jenderal dan bendaharawan dengan jumlah yang sama. Di antara para putra raja terdapat satu orang yang dikenal sebagai Pangeran Licchavi yang jahat, pemuda yang kasar, emosional, kejam, selalu memberi hukuman, seperti ular berbisa yang penuh kemarahan. Demikianlah sifat alaminya, sehingga tidak seorang pun yang bisa berbicara lebih dari dua atau tiga patah kata di hadapannya; baik orang tua, kerabat maupun teman-temannya tidak bisa membuatnya berubah menjadi lebih baik. Akhirnya orang tuanya memutuskan untuk membawa anak muda yang tidak bisa dikendalikan itu menghadap Yang Tercerahkan Sempurna, menyadari bahwa tidak ada orang lain selain diri-Nya yang mampu menjinakkan jiwa anak muda yang buas itu. Maka mereka membawanya ke hadapan Sang Guru, dengan penuh hormat mereka memohon Beliau memberikan nasihat kepada pemuda tersebut.
Sang Guru menyapa pangeran itu dan berkata, “Pangeran, manusia tidak boleh kasar, emosional, dan kejam. Orang yang bengis adalah orang yang kasar dan kejam, baik kepada ibu yang membesarkannya, kepada ayah dan anaknya, kepada saudara lelaki dan perempuannya, kepada istrinya, teman-teman dan kerabatnya; menimbulkan ketakutan seperti seekor ular berbisa yang meluncur ke depan untuk menggigit, seperti seorang perampok yang menyerang korbannya di hutan, seperti seorang yaksa yang bergerak maju untuk melahap mangsanya, — orang yang demikian akan langsung terlahir kembali di neraka atau alam penuh siksaan lainnya; bahkan dalam kehidupan ini, betapa rupawan pun dirinya, ia terlihat jelek. Walaupun wajahnya cantik seperti cakra bulan purnama, namun terlihat menjijikkan seperti teratai yang gosong karena kobaran api, seperti potongan emas yang ditutupi oleh kotoran. Kemarahan yang demikian membuat seseorang seperti membunuh diri mereka sendiri dengan pedang, minum racun, menggantung diri dan melemparkan diri mereka dari tebing yang curam; demikian mereka menemui ajal karena kemarahan mereka sendiri, dan akan terlahir kembali di alam yang penuh penderitaan. Demikian juga dengan mereka yang mencelakai orang lain, dipenuhi oleh kebencian dalam kehidupan ini, dan karena perbuatan jahat mereka, setelah kematiannya akan terlahir kembali di neraka dan alam rendah lainnya; sekalipun mereka terlahir kembali sebagai manusia, [505] penyakit dan rasa sakit di mata, telinga dan segala hal menimpa mereka sejak mereka lahir hingga seterusnya. Karenanya, sebaiknya semua orang menunjukkan kebaikan dan menjadi pelaku kebaikan, kemudian yakinlah bahwa mereka tidak perlu takut pada neraka dan siksaan.”
Demikianlah kekuatan satu kali ceramah itu membuat ketinggian hatinya semakin berkurang; kesombongan dan keegoisan hilang dari dirinya, dan hatinya dipenuhi oleh kebaikan dan cinta kasih. Ia tidak pernah mencaci maupun memukul lagi, namun berubah menjadi ramah bagaikan seekor ular yang taringnya telah dicabut, bagaikan kepiting yang capitnya putus, bagaikan seekor sapi jantan dengan tanduk yang telah patah.
Melihat perubahan suasana hatinya, para Bhikkhu berkumpul bersama dalam Balai kebenaran, membicarakan bagaimana Pangeran Licchavi yang jahat, walaupun melalui nasihat yang tiada henti dari kedua orang tuanya tetap tidak dapat membuatnya mengendalikan dirinya, tetapi menjadi tunduk dan rendah hati hanya dengan satu nasihat saja dari Buddha Yang Maha Bijaksana, dan bagaimana hal itu seperti menjinakkan enam gajah yang buas secara bersamaan.
Dikatakan, ‘Awuso, pelatih gajah membimbing gajah yang dilatihnya untuk berbelok ke kanan atau kiri, mundur atau maju, sesuka hatinya; sama dengan para pelatih kuda dan pelatih sapi dengan kuda dan sapi mereka; demikian juga dengan Bhagawan, Yang Tercerahkan Sempurna, membimbing manusia yang akan dididik-Nya ke jalan yang benar, menuntunnya ke arah mana pun yang sesuai dengan keinginan Beliau di sepanjang delapan arah, dan membuat murid-murid-Nya melihat bentuk luar diri-Nya. Demikianlah Buddha dan hanya Buddha sendiri,’ — dan seterusnya, hingga ke kata, — ‘Beliau dielu-elukan sebagai pembimbing utama manusia, yang paling unggul dalam membuat manusia tunduk dalam Dhamma.’ “Karena, Awuso,” kata mereka, “tidak ada pembimbing umat manusia seperti Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna.”
Di saat itu, Sang Guru masuk ke dalam Balai Kebenaran dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka menceritakannya dan Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya sebuah nasihat tunggal dari-Ku berhasil menundukkan pangeran tersebut, tetapi hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana di Negeri Utara, dan setelah dewasa mula-mula ia belajar Tiga Weda kemudian semua pelajaran lainnya di Takkasil?, dan selama beberapa waktu menempuh kehidupan duniawi.
Setelah orang tuanya meninggal, ia menjadi seorang petapa, menetap di Himalaya dan memperoleh kemampuan batin luar biasa dan pencapaian meditasi. Ia menetap di sana cukup lama, hingga kebutuhan akan garam dan kebutuhan hidup lainnya membawanya kembali ke tempat tinggal penduduk, dan ia tiba di Benares, tinggal di taman kerajaan.
Keesokan harinya ia berpakaian dengan penuh usaha dan kehati-hatian, dan dengan pakaian petapa yang terbaik ia pergi melakukan pindapata ke kota [506] dan tiba di gerbang istana. Raja sedang duduk dan melihat Bodhisatta dari jendela, dan terlihat pada dirinya, bagaimana petapa tersebut bijaksana dalam hati dan jiwanya, memandang dengan penuh kepastian padanya, bergerak dengan langkah laksana langkah seekor raja singa, seakan dalam setiap langkah kakinya tersimpan satu kantong yang berisikan ratusan keping uang. “Jika kebaikan memang ada,” pikir raja tersebut, “ia pasti berada di dalam dada orang ini.”
Maka ia memanggil seorang pengawal istana, memintanya untuk mengundang petapa tersebut ke dalam istana. Pengawal tersebut menemui Bodhisatta dan, dengan penuh hormat, mengambil patta dari tangannya. “Ada apa, Tuan?” tanya Bodhisatta. “Raja mengundangmu dengan penuh hormat,” jawabnya. “Tempat tinggal saya adalah di Himalaya, dan saya bukan orang yang istimewa bagi raja.”
Pembawa pesan itu kembali dan melaporkan hal tersebut kepada raja. Berpikir bahwa ia tidak mempunyai seorang penasihat pribadi saat ini, raja meminta agar Bodhisatta dibawa masuk, dan Bodhisatta setuju untuk datang.
Raja menyapanya saat ia masuk dengan penuh kesopanan dan memintanya untuk duduk di sebuah singgasana emas di bawah payung kerajaan. Dan Bodhisatta dijamu dengan makanan yang awalnya dipersiapkan untuk disantap oleh raja sendiri.
Kemudian raja menanyakan tempat tinggal petapa tersebut, dan mengetahui bahwa ia berdiam di Himalaya.
“Kemanakah tujuanmu sekarang?”
“Dalam pencarian, Paduka, sebuah tempat tinggal selama musim hujan.”
“Mengapa engkau tidak menetap di taman saya saja?” saran raja. Kemudian, setelah mendapatkan persetujuan Bodhisatta, dan telah menyantap makanannya sendiri, raja pergi bersama tamunya menuju taman dan di sana terdapat sebuah tempat pertapaan yang dibangun dengan sebuah bilik untuk siang hari dan sebuah bilik untuk malam hari. Tempat tinggal ini dilengkapi dengan delapan perlengkapan petapa. Setelah menempatkan Bodhisatta di sana, raja menyerahkan tanggung jawab atas dirinya kepada penjaga taman dan kembali ke istana. Maka Bodhisatta menetap di taman kerajaan dan raja mengunjunginya dua hingga tiga kali sehari.
Raja mempunyai seorang putra yang kasar dan emosional, ia dikenal sebagai “Pangeran Jahat”, yang tidak bisa dikendalikan baik oleh ayah maupun para kerabatnya. Para anggota istana, para brahmana dan para penduduk, semua memberitahukan tentang kesalahan tindak tanduknya, namun semuanya sia-sia saja. Ia tidak memedulikan nasihat-nasihat mereka. Dan raja merasa bahwa harapan satu-satunya untuk mendapatkan kembali putranya adalah melalui petapa yang penuh kebaikan itu.
Maka sebagai kesempatan terakhir, [507] ia membawa pangeran tersebut dan menyerahkannya untuk diurusi oleh Bodhisatta. Bodhisatta berjalan bersama pangeran tersebut di taman kerajaan hingga mereka tiba di sebuah tempat dimana tunas pohon nimba229 sedang tumbuh, yang terlihat hanyalah dua helai daun, satu pada suatu sisi, dan satu lagi di sisi lainnya.
“Cobalah sehelai daun pohon kecil ini, Pangeran,” kata Bodhisatta, “dan lihat seperti apa rasanya.”
Anak muda itu melakukan hal tersebut; namun tidak mungkin menempatkan daun itu dalam mulutnya, saat ia meludahkannya keluar dengan sebuah umpatan, ia mengeluarkannya dan meludah lagi untuk menghilangkan rasa itu dari mulutnya.
“Ada apa, Pangeran?” tanya Bodhisatta.
“Bhante, saat ini, pohon ini hanya menimbulkan kesan sebagai pohon beracun; namun jika dibiarkan tumbuh, akan menjamin kematian bagi banyak orang,” kata pangeran tersebut, kemudian mencabut dan menghancurkan pohon kecil yang sedang tumbuh itu di tangannya, sambil mengucapkan syair berikut ini : —
Jika racun tersembunyi dalam pohon kecil ini,
apa lagi yang akan ditunjukkan oleh pohon
yang telah tumbuh besar?
Kemudian Bodhisatta berkata, “Pangeran, takut tunas beracun ini akan tumbuh besar engkau mencabut dan menghancurkannya. Seperti apa yang engkau lakukan pada pohon itu, penduduk kerajaan ini, yang takut atas apa yang akan dilakukan oleh seorang pangeran yang kasar dan emosional jika ia menjadi raja, tidak akan menempatkanmu di takhta, melainkan mencabutmu seperti pohon nimba ini dan mengusirmu ke tempat pengasingan. Karena itu, ambillah pelajaran dari pohon ini dan sejak hari ini, tunjukkan kemurahan hati dan rasa cinta pada kebaikan yang berlimpah.”
Sejak saat itu suasana hati pengeran berubah. Ia menjadi rendah hati dan penuh kelembutan, serta murah hati dan berlimpah dalam kebaikan. Mematuhi nasihat Bodhisatta, [508] setelah ayahnya meninggal dunia ia dinobatkan menjadi raja. Ia selalu melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, dan akhirnya meninggal dunia untuk terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru berkata, “Demikian, para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya saya menjinakkan pangeran yang jahat; saya juga melakukan hal yang sama di kelahiran yang lampau.” Kemudian Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Pangeran Licchavi yang jahat saat ini adalah Pangeran Jahat pada kisah tersebut. Ananda adalah sang raja, dan Saya adalah petapa yang menasihati pangeran itu hingga berubah menjadi baik.”