Jumat, 16 Desember 2011

Yang Ariya Khema Theri

Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang “Brahmana “
Khema berasal dari keluarga yang berkuasa di Desa Sagala Magadha. Ia sangat cantik, kulitnya berwarna kuning keemasan. Kecantikan Khema tersebut membuat Raja Bimbisara meminang Khema dan menjadikannya sebagai permaisuri.
Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan bukan hal yang utama, dan karena itu Ratu Khema menghindar untuk berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara mengerti sikap Ratu Khema terhadap Sang Buddha, ia juga mengetahui betapa istrinya amat mengagumi kecantikan wajahnya, lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan sebuah lagu yang isinya memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.
Ketika Ratu Khema mendengar lagu tersebut menjadi penasaran, karena hutan Veluvana yang digambarkan sebagai suatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri.
“Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?” , tanya Ratu Khema kepada para penyanyi.
“Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang tentang hutan Veluvana”, jawab mereka.
Setelah mendengar lagu dari penyanyi tersebut Ratu Khema lalu menjadi ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana.
Sang Buddha yang pada saat itu sedang berkumpul membabarkan Dhamma kepada murid-murid-Nya, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu Sang Buddha menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri di samping-Nya.
Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir, “Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang paling utama. Tetapi di sisi Sang Buddha sekarang berdiri seorang wanita yang kecantikannya luar biasa. Saya belum pernah melihat wanita secantik ini”, ucap ratu Khema dengan kagum. Ratu Khema tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan Sang Buddha, pandangannya hanya tertuju kepada bayangan wanita cantik di sisi Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui bahwa Ratu Khema amat serius memperhatikan bayangan wanita cantik itu, lalu Sang Buddha mengubah bayangan wanita muda yang amat cantik itu perlahan-lahan menjadi wanita tua, berubah terus sampai akhirnya yang tersisa hanyalah setumpuk tulang belulang. Ratu Khema yang memperhatikan semua itu lalu berkesimpulan, “Pada suatu saat nanti, wajah yang muda dan cantik itu akan berubah menjadi tua, rapuh lalu mati. Ah, semua itu bukan kenyataan!”
Sang Buddha mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, lalu berkata,
“Khema, inilah kenyataan perubahan dari kecantikan wajah. Sekarang lihatlah semua kenyataan ini.”
Sang Buddha lalu mengucapkan syair,
“Khema, lihatlah paduan unsur-unsur ini, berpenyakit, penuh kekotoran dan akhirnya membusuk. Tipu daya dan kemelekatan adalah keinginan orang bodoh”.
Ketika Sang Buddha selesai mengucapkan syair ini Ratu Khema mencapai Tingkat kesucian Pertama (Sottapana). Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Khema, semua mahluk di dunia ini, hanyut dalam nafsu indria, dipenuhi oleh rasa kebencian, diperdaya oleh khayalan, mereka tidak dapat mencapai pantai bahagia, tetapi hanya hilir mudik di tepi sebelah sini saja”.
Sang Buddha lalu mengucapkan syair,
“Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tetapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan serta melepas kesenangan-kesenangan indria”.
(Dhammapada, Tanha Vagga No. at)
Setelah Sang Buddha selesai mengucapkan syairnya, Khema mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Sang Buddha lalu berkata kepada Raja Bimbimsara,
“Baginda, Khema lebih baik meninggalkan keduniawian ataukah mencapai nibbana?”
Raja Bimbisara menjawab, “Yang Mulia, izinkanlah ia memasuki Sangha bhikkuni, jangan dulu mencapai nibbana!”
Khema meninggalkan keduniawian dan menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka.

Visakha

Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
Visakha adalah puteri dari seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Dhananjaya dan ibunya bernama Sumanadevi. Kakek Visakha adalah seorang hartawan bernama Ram, yang merupakan salah satu dari lima hartawan di wilayah kerajaan Raja Bimbisara.
Pada suatu hari, ketika kakek Visakha mendengar kabar bahwa Sang Buddha sedang berjalan memasuki kota, ia mengajak Visakha yang baru berusia tujuh tahun bersama lima ratus pengawalnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.
“Cucuku sayang, hari ini hari bahagia untukmu dan untukku, kumpulkan lima ratus pengawal beserta lima ratus pelayan. Mari kita temui Sang Buddha”, kata kakek Visakha.
“Baiklah!” jawab Visakha. Keesokan harinya kakek Visakha mengundang Sang Buddha bersama para bhikkhu untuk menerima persembahan dana darinya. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Kakek Visakha, Visakha dan lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.
Ketika Visakha dewasa, dia tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Ia dipersunting oleh Punnavaddhana, putra Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Pada waktu ia pindah mengikuti suaminya ke Savatthi, ayahnya meminta 8 orang penasihat mengiringinya ke Savatthi.
Pada suatu hari, ketika ayah mertuanya sedang makan siang di rumahnya, seorang bhikkhu berhenti di rumah tersebut untuk berpindapatta, Visakha yang pada saat itu sedang berdiri di dekat ayah mertuanya, ketika melihat bhikkhu itu, ia lalu berpikir, adalah tidak tepat jika saya memberitahukan kepada ayah mertua tentang kedatangan bhikkhu tersebut. Ia lalu bergeser ke samping supaya ayah mertuanya melihat kedatangan bhikkhu itu.
Tapi ketika ayah mertua melihat kedatangan bhikkhu tersebut, beliau tidak perduli, dan meneruskan makan siangnya. Visakha berpikir, “Ayah mertuaku sudah melihat kedatangan bhikkhu itu tapi beliau tidak perduli.” Akhirnya ia berkata kepada bhikkhu tersebut, “Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa,”
Ayah mertua yang sedang makan, mendengar ucapan menantunya bahwa ia makan makanan sisa, lalu mengibaskan tangannya dan berkata dengan marah, “Buang makanan ini dan usir perempuan itu dari rumah sekarang juga!”
Visakha yang mendengar ayah mertuanya marah dan mengusirnya, berkata dengan lembut, “Ayah, tidaklah cukup alasan yang mengharuskan saya pergi dari rumah ini, ayah saya mengirim 8 orang penasihat untuk mengawasi saya apabila saya melakukan kekeliruan. Saya akan mengundang mereka dan menjelaskan apa yang terjadi.”
Ayah mertuanya menyetujui ucapan Visakha untuk memanggil ke 8 penasihat tersebut. Ketika para penasihat itu berkumpul, Migara berkata, “Ketika saya sedang makan dengan piring emas, Visakha mengatakan saya sedang makan makanan sisa, maka saya mengusirnya keluar dari rumah ini.”
“Apakah benar anakku?” tanya para penasihat. “Saya tidak mengatakan demikian yang terjadi sebagai berikut, ketika seorang bhikkhu sedang berpindapata, berdiri di depan pintu, ayah mertua yang sedang makan dengan piring emas tidak mempedulikan bhikkhu tersebut.” Jadi saya berkata, “Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa. Saya pikir ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik saat ini, beliau hanya makan hasil dari perbuatan baiknya di masa lampau.”
“Apakah saya berkata salah, Tuan?” tanya Visakha kepada para penasihat. “Tidak, kamu tidak bersalah, apa yang Visakha katakan seluruhnya benar”, jawab para penasihat. “Mengapa tuan marah kepadanya?” tanya salah satu penasihat kepada Migara.
Akhirnya ayah mertuanya menyadari kekeliruannya, lalu Visakha berkata, “Tuan-tuan, meskipun pada mulanya tidaklah benar bila saya meninggalkan rumah ini atas perintah ayah, dan sekarang anda telah membebaskan saya atas semua tuduhan terhadap saya, maka sekaranglah waktu yang tepat bagi saya untuk pergi dari rumah ini.”
Visakha lalu memberi perintah, “Beritahu kepada semua pembantu baik laki-laki atau perempuan, persiapkan kereta dan segalanya, saya mau pulang ke rumah orang tuaku.” Ayah mertua menghampirinya, “Saya memaafkanmu, menantuku.”
“Ayah, saya sebagai murid Sang Buddha, tidak dapat tinggal diam apabila ada para bhikkhu yang sedang berpindapata. Namun, apabila saya diijinkan untuk mengundang dan berdana kepada para bhikkhu, saya akan tinggal”, jawab Visakha kepada ayah mertuanya.
Kemudian ayah mertuanya berkata, “Menantuku, kamu dapat mengundang para bhikkhu sesuai dengan keinginanmu.” Visakha lalu mengundang Sang Buddha dan murid-murid-Nya ke rumah mertuanya untuk keesokan harinya.
Ketika dana makanan telah disajikan Visakha mengundang ayah mertua untuk bertemu dengan Sang Buddha, tetapi ayah mertuanya yang mempercayai pertapa yang berpandangan salah, melarangnya. Untuk kedua kalinya Visakha meminta ayah mertuanya untuk datang.
Namun ayah mertuanya tetap bersikeras tidak mau menemui Sang Buddha. Namun Visakha bersepakat dengan ayah mertuanya untuk mendengarkan kotbah Sang Buddha dari balik tirai.
Setelah mendengar kotbah, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Migara amat berterima kasih kepada Sang Buddha dan kepada menantunya. Sejak saat itu ia menyatakan Visakha sebagai ibunya, yang kemudian dikenal sebagai Migara mata. Visakha lalu berdana makanan dan kebutuhan lain kepada Sang Buddha dan murid-murid-Nya.
Visakha hidup bahagia dan makmur, dan dari pernikahannya itu, Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.
Pada suatu hari, Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama pelayannya, sesampainya di vihara ia melepaskan perhiasan yang dihadiahi ayahnya ketika ia menikah, karena terlalu berat, lalu membungkusnya dengan selendang dan meminta pelayannya untuk menjaganya. Namun, ketika pulang pelayan itu lupa membawa perhiasan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan Yang Arya Ananda menyimpan barang-barang yang ditinggalkan oleh umat.
Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara dan berkata, “Pergi dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Yang Arya Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; Saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Yang Arya Ananda.” Tetapi Yang Arya Ananda tidak menerima dana tersebut.
Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan crore dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota; Vihara itu dikenal dengan nama Pubbarama, ia lalu mempersembahkan vihara itu dengan rasa bahagia kepada Sang Buddha dan murid-muridnya-Nya. Selain itu Visakha juga berdana makanan, obat-obatan dengan penuh rasa hormat, ia amat bahagia karena semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi punya keraguan, kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar menglilingi vihara.
Syair itu berbunyi :
Kapankah aku dapat mempersembahkan sebuah vihara,
tempat tinggal yang dibangun dengan semen dan batu bata.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat mempersembahkan
perlengkapannya-perlengkapannya, kasur-kasur,
kursi-kursi, karpet dan bantal-bantal.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat mempersembahkan
makanan dan minuman.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat mempersembahkan
jubah dan kain-kain.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat mempersembahkan
obat-obatan, madu dan mentega.
Semoga tercapai keinginanku.
Para bhikku yang mendengar suaranya, berkata kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, selama ini kami tidak pernah mendengar Visakha bernyanyi, tapi pada hari ini, dengan dikelilingi anak-anak dan cucu-cucunya, ia bernyanyi sambil mengelilingi vihara. Apakah ia sudah kehilangan akal sehatnya ?”
Sang Buddha menjawab, “O, para bhikkhu, anakku Visakha tidak bernyanyi, tapi ia melantunkan syair karena semua keinginannya telah terpenuhi dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Visakha pada masa lampau selalu berbuat kebaikan-kebaikan yang besar dan mempunyai keyakinan yang kuat kepada ajaran Para Buddha. Seperti seorang ahli bunga menyusun banyak rangkaian bunga dari setumpuk bunga-bunga.”
Kemudian Sang Buddha mengucapkan Syair 53 :
Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.

Culla Subadha

Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar; Bagaikan puncak pegunungan Himalaya. Tetapi meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat; Bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.
Berawal dari Anathapindika masih remaja. Ia mempunyai sahabat akrab dari anak seorang bendahara bernama Ugga, yang tinggal di kota Ugga. Mereka belajar bersama ilmu sastra di rumah seorang guru. Ketika mereka belajar bersama, mereka membuat perjanjian, “Bila kita sudah dewasa, lalu menikah dan mempunyai anak, yang perempuan akan dijadikan isteri dari anak laki-laki.” Ketika kedua remaja ini menjadi dewasa, mereka menjadi bendahara, yang tinggal di kota masing-masing.
Waktu berlalu, Anathapindika telah berkeluarga dan mempunyai anak perempuan yang bernama Culla Subhadda. Pada suatu kesempatan Bendahara Ugga berkunjung ke Savatthi dengan membawa kereta untuk berdagang. Ketika itu Anathapindika berkata kepada anak perempuannya Culla Subhadda, “Anakku sayang, ayahmu Bendahara Ugga akan datang mengunjungi kita; kamu harus melayaninya dengan baik.” “Baiklah ayah”, jawab Culla Subhadda, ia berjanji untuk mematuhi perintah ayahnya.
Sejak Bendahara Ugga tiba, Culla Subhadda menyiapkan sendiri piring-piring, masakan dan makanan lainnya, menghiasi rumah dengan bunga-bunga, menyediakan minyak wangi, obat gosok dan lain-lain untuk menyenangkan tamunya. Ketika waktu makan tiba, ia segera menyiapkan air untuk tamunya mandi dan sesudah itu ia melayani segala macam kebutuhan tamunya itu.
Ketika Bendahara Ugga memperhatikan tingkah laku Culla Subhadda yang menyenangkan itu, hatinya bahagia. Suatu hari ia berbincang-bincang dengan Anathapindika, ia mengingatkan kembali perjanjian di antara mereka, ketika mereka masih remaja, ia lalu memutuskan untuk memilih Culla Subhadda untuk menjadi menantunya.
Sekarang ini, Bendahara Ugga berguru kepada pertapa telanjang yang mempunyai pandangan yang salah, dan Anathapindika lalu bertanya kepada Sang Budhha tentang masalah ini. Sang Guru melihat bahwa Bendahara Ugga mempunyai kemampuan untuk mempelajari Dhamma, mengijinkan Culla Subhadda untuk menjadi menantu Bendahara Ugga. Sesudah Bendahara Anathapindika membicarakan masalah ini kepada isterinya, ia lalu menerima lamaran Bendahara Ugga dan mempersiapkan upacara pernikahan puterinya.
Bendahara Anathapindika memberikan beberapa hadiah kepada putrinya. Ia memberikan Sepuluh Peringatan, kemudian berkata, “Putriku sayang, kalau kamu tinggal di rumah mertuamu, api di dalam rumah jangan dibawa keluar dan sebagainya.” Ia juga menyediakan delapan orang pengikut sebagai penasihat, ia berpesan kepada mereka, “Kalau ada kesalahan berada di pihak puteriku, kalian harus memberitahukan kesalahannya.”
Ketika ia hendak melepaskan puterinya, ia berdana yang luar biasa besarnya kepada Bhikkhu Sangha, yang dipimpin oleh Sang Buddha, dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa puterinya telah melakukan perbuatan baik sehingga puterinya memperoleh kebahagian, ia lalu melepas puterinya pergi dengan penuh rasa bahagia.
Ketika Culla Subhada tiba di kota Ugga, seluruh anggota keluarga mertuanya dan keluarga besar lainnya datang menyambut dengan penuh kehangatan. Ia memasuki kota dengan berdiri di atas kereta kencana, berpawai ke sekeliling kota, yang memperhatikan kebesaran dan kebahagiaannya. Ia menerima banyak hadiah dari penduduk, sehingga menimbulkan hubungan dan pengertian yang baik dengan penduduk di sekitarnya. Seluruh kota membicarakan dengan penuh hormat kecantikan dan keluhuran budinya.
Sekarang ini, ayah mertuanya sedang menjamu para pertapa telanjang pada suatu festival, dan pada saat itu ia mengirimkan pesan kepada menantunya, “Panggillah ia masuk, untuk memberikan hormat kepada pertapa-pertapa kita.”
Tetapi dengan penuh kerendahan hati Culla Subhadda menolak untuk bertemu dan masuk menemui mereka. Berkali-kali mertuanya memberikan pesan supaya menantunya datang dan berkali-kali pula ia manolak untuk masuk. Akhirnya ayah mertuanya marah dan memerintahkan, “Usir dia keluar dari rumah ini!”
Tetapi ia menolak, “Tidak seorangpun dapat menghukum tanpa suatu alasan.” Dengan segera Culla Subhadda mengumpulkan para penasihat yang mengiringinya dan menerangkan permasalahan di hadapan mereka.
Ayah mertua berbincang-bincang dengan isterinya tentang masalah ini dan berkata, “Perempuan ini menolak untuk memberikan hormat kepada para pertapa kita, alasannya karena mereka ‘tidak sopan’.” Ibu mertuanya berkata, “Bagamanakah tingkah laku para bhikkhunya, sehingga ia puja sedemikian tinggi ?”
Ia lalu memanggil Culla Subhadda dan berkata, “Bagaimanakah tingkah laku para bhikkhumu, yang kamu puja sedemikian tinggi? Apa yang mereka pahami dan bagaimana mereka mempraktekannya? Jawablah pertanyaan saya.”
Dalam menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Culla Subhadda menjelaskan tentang kemuliaan dan keluhuran dari Sang Buddha dan Ajaran-Nya sebagai berikut :
“Tenang ucapan mereka,
tenang pikiran mereka,
tenang langkah mereka berjalan,
tenang pendirian mereka
Mereka melihat ke bawah;
sedikit yang mereka ucapkan.
Itulah para bhikkhu saya.
Perbuatan mereka bersih,
Ucapan mereka bersih,
Pikiran mereka bersih,
Itulah para bhikkhu saya.
Tidak bernoda seperti mutiara,
Murni di dalam dan di luar
Penuh dengan sifat-sifat baik,
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira dengan keuntungan dan
bersedih karena kerugian.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; keuntungan dan kerugian.
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira karena terkenal dan
bersedih karena tidak terkenal.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; terkenal atau tidak terkenal.
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira karena pujian dan
bersedih karena celaan.
Tetapi mereka tidak bereaksi
terhadap keduanya; pujian dan celaan.
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira karena kesenangan dan
bersedih karena penderitaan.
Tetapi mereka tidak berubah
terhadap kesenangan dan penderitaan.
Itulah para bhikkhu saya”.
Dengan kata-kata yang diucapkannya itu, dan pada saat itu juga Culla Subhadda memuaskan ibu mertuanya. Sehingga ibu mertuanya bertanya kepadanya,
“Mungkinkah bagi kami untuk bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu kamu?”
“Tentu saja mungkin,” jawab Culla Subhadda.
“Kalau begitu, aturlah supaya kami dapat bertemu dengan mereka,” tanya ibu mertuanya.
“Baiklah,” jawab Culla Subhadda.
Kemudian Culla Subhadda menyiapkan persembahan-persembahan kepada Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha.
Ia lalu berdiri di lantai paling atas di istana dan menghadap Vihara Jetavana, sambil menghormat, ia merenungkan kebajikan-kebajikan Sang Buddha. Ia menghormati Sang Buddha dengan mempersembahkan dupa, wewangian dan bunga-bunga, lalu ia melemparkannya ke udara delapan genggam bunga melati, sambil berkata dengan penuh hormat,
“Yang Mulia saya mengundang Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha besok pagi, semoga Sang Guru mengetahui permohonan undangan saya melalui bunga-bunga ini.”
Bunga-bunga ini lalu melayang di udara dan membentuk payung bunga yang indah diatas Sang Buddha ketika Beliau sedang membabarkan Dhamma di tengah para bhikkhu.
Pada waktu itu Anathapindika, yang sedang mendengarkan Dhamma, mengundang Sang Buddha untuk menjadi tamunya besok pagi. Sang Buddha lalu menjawab,
“Saudara, saya sudah menerima undangan untuk besok pagi.”
“Tetapi Yang Mulia,” jawab Anathapindika, “Tidak ada seorangpun yang datang ke sini sebelum saya, undangan siapakah Yang Mulia terima?”
Sang Guru berkata :
“Culla subhadda mengundangku, saudara.”
“Tetapi, Yang Mulia, bukankah Culla Subhadda tinggal jauh dari sini, kira-kira seratus dua puluhleagues (1 league = 4,8km) dari sini ?”
“Ya,” jawab Sang Buddha. “Tetapi perbuatan baik, meskipun jauh dapat menampakkan dirinya seperti saling berhadapan.” Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair :
“Meskipun dari jauh,
orang baik akan terlihat bersinar
bagaikan puncak
pegunungan Himalaya.
Tetapi meskipun dekat,
orang jahat tidak akan terlihat,
Bagaikan anak panah yang dilepaskan
pada malam hari.”
Dewa Sakka, raja para dewa menyadari bahwa Sang Guru telah menerima undangan Culla Subhadda, memberikan perintah kepada Dewa Vissakamma:
“Ciptakanlah lima ratus pagoda dan pada esok hari antarkanlah Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha menuju Kota Ugga.”
Keesokan paginya, Dewa Vissakamma menciptakan lima ratus pagoda dan menunggu di depan pintu Vihara Jetavana. Sang Buddha memilih lima ratus Arahat, dan rombongan ini bersama-sama lalu duduk di pagoda, dan melalui udara menuju Kota Ugga.
Bendahara Ugga beserta rombongan, dengan dikepalai oleh Culla Subhadda berdiri menunggu di jalan, di mana Sang Buddha akan tiba. Ketika ia melihat Sang Buddha mendekati dengan semua kemegahan dan keagungan-Nya, hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang luar biasa.
Ia menyampaikan penghormatan yang tertinggi dengan karangan bunga dan persembahan lainnya, mengundang Sang Guru untuk memasuki rumahnya, dan menyampaikan hormatnya. Ia mempersembahkan berbagai macam dana, mengundang Sang Buddha berkali-kali untuk bersedia menjadi tamunya. Selama tujuh hari ia mempersembahkan dana yang luar biasa besar.
Sang Buddha lalu mengingatkannya untuk selalu berbuat kebaikan dan membabarkan Dhamma kepada ayah mertuanya.
Dimulai dengan Bendahara Ugga, delapan puluh empat ribu makhluk hidup, mencapai pengertian terhadap Dhamma Yang Mulia.
Sebagai hadiah atas kemurahan hati Culla Subhadda, Sang Buddha lalu meminta Yang Mulia Anuruddha untuk tetap tinggal, dengan berkata, “Kamu tetap tinggal di sini.”
Sang Buddha lalu kembali ke Savatthi. Sejak saat itu kota Ugga menjadi kota yang penduduknya mengerti akan Dhamma Yang Mulia, kota yang sejuk dan damai.

Yang Ariya Ambapali Theri

Demikianlah tubuh ini. Sekarang berkeriput, tempat berbagai rasa sakit bersemayam, rumah tua dengan plesteran dinding yang mengelupas. Ucapan Pembabar Kebenaran tidaklah salah.
Pada suatu pagi, seorang tukang kebun dari Kerajaan Licchavi di Vaseli, menemukan seorang bayi perempuan terbaring di bawah pohon mangga dan memberikannya nama Ambapali, yang berasal dari kata amba (mangga) dan pali (garis atau batang).
Kemudian Ambapali tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang cantik dan anggun.
Banyak pangeran dari Licchavi ingin menikahinya. Mereka saling bertengkar ingin menjadikan Ambapali sebagai isteri. Untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut, mereka berdiskusi dan sepakat memutuskan,
“Biarlah Ambapali menjadi milik semua orang.”
Dengan demikian, Ambapali menjadi wanita penghibur. Dengan sifatnya yang baik, dia melatih ketenangan dan kemuliaan. Ambapali sering memberikan dana dalam jumlah besar dalam setiap kegiatan amal. Walaupun Ambapali seorang wanita penghibur, namun dia terlihat seperti ratu yang tak bermahkota di Kerajaan Licchavi itu.
Ketenaran Ambapali menyebar dan terdengar oleh raja Bimbisara dari Magadha. Kemudian Raja Bimbisara menemuinya, Beliau sangat terpesona akan kecantikannya. Terjalinlah hubungan diantara Raja Bimbisara dengan Ambapali, dari hubungan tersebut lahirlah seorang anak laki-laki.
Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesali dan tinggal vihara di hutan mangga. Ambapali datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha memberikan khotbah kepada Ambapali. Keesokan harinya Ambapali mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumahnya.
“Yang mulia, saya mengundang Yang Mulia bersama para bhikkhu untuk menerima dana makanan, besok pagi di rumah saya,” mohon Ambapali. Sang Buddha menerima undangan itu.
Setelah itu Ambapali dengan tergesa-gesa meninggalkan Pangeran Licchavi yang saat itu berada di dalam kereta, pangeran itu berusaha menemukan alasannya dan bertanya,
“Ambapali, ada apa gerangan sehingga kau berkeliling menemaniku dengan tergesa-gesa?”
“Pangeran, saya baru saja mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumah besok pagi, untuk menerima dana makanan dan saya ingin meyakinkan bahwa semua telah dipersiapkan dengan baik”, jawab Ambapali.
Mengetahui hal tersebut para bangsawan Licchavi memohon kepada Ambapali untuk memberikan hak istimewa tersebut kepada mereka, dengan menawarkan kepadanya seratus ribu logam emas, tapi Ambapali menolak tawaran tersebut. Kemudian para bangsawan Licchavi itu datang menemui Sang Buddha, dan berkata,
“Izinkanlah kami besok mengundang Yang Mulia dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan besok pagi.” Undangan makan dari para bangsawan Licchavi tersebut terjadi di hari yang sama dengan undangan makan Ambapali. Sang Buddha tidak menerima undangan tersebut, dan berkata, “Saya telah menerima undangan Ambapali lebih dahulu.”
Keesokan paginya Sang Buddha dan para bhikkhu datang ke rumah Ambapali untuk menerima dana makanan. Setelah selesai menerima dana makanan tersebut, Ambapali mempersembahkan hutan mangga tersebut kepada Sang Buddha.
Pada suatu hari, anak Ambapali dari Raja Bimbisara, bernama Vimala-Kondañña, yang telah menjadi seorang bhikkhu dan telah mencapai Tingkat Kesucian Arahat, memberikan khotbah Dhamma. Setelah mendengar khotbah dari anaknya tersebut, Ambapali meninggalkan kehidupan duniawi, menjadi anggota Sangha Bhikkhuni. Beliau menggunakan tubuhnya sebagai obyek meditasi, merefleksikan sifat-sifat ketidakkekalan, dengan melatih meditasi dengan giat, Beliau akhirnya mencapai Tingkat Kesucian Arahat.
Dalam versi Therighata, dikatakannya pada saat Beliau tua, Beliau membandingkan kecantikannya yang ia miliki dahulu dengan keadaan sekarang :
Rambutku hitam,
bagai warna kumbang,
diujungnya berikal
Karena usia tua,
sekarang bagai serat kulit kayu rami
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Ditutupi bunga,
rambutku wangi bagai kotak parfum
Sekarang karena usia tua,
baunya bagai bulu anjing
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya alisku nampak
demikian indah,
bagai lukisan bulan sabit
yang dilukis sangat indah,
karena usia tua,
tergantung ke bawah oleh kerutan.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Mataku berbinar,
sangat bercahaya bagai permata,
Berwarna biru gelap dan
berbentuk panjang,
Dipengaruhi oleh usia tua,
tidak lagi kelihatan cantik
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya gigiku nampak indah,
bagai warna kuncup
tanaman yang masih muda.
Karena usia tua,
hancur dan menghitam.
Ucapan Pembabar Kebenaran
t idaklah salah.
Sebelumnya, kedua dadaku
nampak indah, menggembung
bundar, berdekatan, menjulang,
Sekarang keduanya turun
bagai kantung air kosong
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya tubuhku nampak indah,
bagai lembaran emas yang digosok.
Sekarang penuh oleh
kerutan-kerutan halus
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Sebelumnya kedua kakiku
nampak indah,
bagai (sepatu) yang penuh kapas.
Karena usia tua,
menjadi retak-retak dan berkeriput.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.
Demikianlah tubuh ini.
Sekarang berkeriput,
tempat berbagai rasa sakit
bersemayam,
rumah tua dengan plesteran dinding
yang mengelupas.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Yang Ariya Sona Theri

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang berjuang penuh dengan semangat.
Sona adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai sepuluh orang anak. Beliau merawat, mengasuh, membesarkan, mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Seluruh hidupnya dicurahkan hanya untuk anak-anaknya, oleh karena itu ia dikenal sebagai Sona “Si Banyak Anak”.
Suami Sona adalah pengikut Sang Buddha, ia belajar banyak mengenai kehidupan. Setelah beberapa tahun menjadi kepala rumah tangga, suami Sona memutuskan untuk terbebas dari belenggu kehidupan dengan cara menjalani kehidupan suci. Dengan persetujuan Sona sebagai isterinya, suami Sona meninggalkan keluarganya, menjalani kehidupan suci dan ditahbiskan (upasampada) sebagai bhikkhu. Sona menjadi orang tua tunggal yang menghidupi dan merawat kesepuluh anak-anaknya itu dengan susah payah.
Waktu berlalu, Sona telah tua, dan anak-anaknya telah berkeluarga. Sona banyak menghabiskan waktunya pada kegiatan-kegiatan keagamaan. Walaupun demikian Sona yang telah tua, merasa takut dan cemas menghadapi hari tuanya. Sona merasa ia hanya menjadi beban bagi keluarga anak-anaknya saja. Sona takut akan kesepian, ditinggalkan oleh anak-anaknya.
“Aku sekarang sudah tua, sudah tidak seperti dulu lagi, akankah anak-anakku menyokongku…, memperhatikanku…, merawatku ketika sakit, seperti aku merawat mereka, bagaimanakah aku nanti…?” Sona menyadari kenyataan bahwa ia tidak dapat menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya, tapi harus bergantung kepada diri sendiri.
Pemikiran ini, membuat Sona memutuskan untuk mengikuti jalan hidup suaminya, yaitu menjalani kehidupan suci dan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni, sehingga ia dapat mengembangkan cinta kasih dan sifat-sifat kebajikan.
Saat memasuki Sangha Bhikkhuni, Sona yang sudah lanjut usia itu membawa kebiasaan-kebiasaannya sendiri, ia harus menghadapai hal-hal baru yang tidak pernah dilakukannya, sehingga sering mendapat kritik dan saran dari para bhikkhuni lainnya yang lebih muda, namun memiliki vassa yang lebih banyak. Sona menyadari bahwa tidak mudah untuk mencapai pencerahan, harus berlatih dengan giat dan penuh semangat.
Dengan usianya yang telah lanjut, Sona merasa tidak banyak waktu lagi untuk berlatih sebelum meninggalkan dunia ini. Oleh karena itu, Sona berlatih meditasi dengan giat. Setiap malam ia habiskan waktunya untuk bermeditasi dengan sikap duduk dan sikap berjalan, dan Sona hanya tidur sebentar.
Dalam kegelapan malam, Sona berlatih meditasi jalan sambil memegang pilar demi pilar vihara, berjaga-jaga agar tidak tersandung benda.
Dengan usahanya yang giat, tanpa mengenal lelah, ia sendirian di dalam ruangan vihara, dimana para bhikkhuni lainnya sedang keluar, Sona mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Dia menggambarkan dalam kata-katanya sendiri terdapat dalam Apadana :
Pada saat para bhikkhuni lainnya
meninggalkanku sendiri di vihara
Mereka telah memberikanku instruksi
Merebus seketel air
Mengambil air
Menuangkannya ke dalam ketel
Menaruh ketel di atas kompor dan duduk
Kemudian pikiranku menggubah
Aku melihat bahwa
Sesuatu tidak kekal,
Aku melihat sesuatu
sebagai penderitaan dan tidak berinti
Melepaskan segala kekotoran batin
Di sana aku mencapai Arahat
(Ap.ii, 3:6, vv. 234-36)

Yang Ariya Bhadda Kapilani Theri

Setelah melihat bahaya kehidupan dunia, kami berdua menjadi pertapa dengan memusnahkan kekotoran batin dan kami mencapai Nibbana
Bhadda Kapilani dilahirkan di dalam keluarga yang makmur dari suku Kosiya. Bhadda tumbuh menjadi dewasa di Sagala, ibukota dari kerajaan Madda. Pada suatu hari, ketika Bhadda masih kecil, ia melihat seekor burung gagak memakan serangga dan serangga tersebut kelihatan sangat menderita bergeliat-geliut diantara benih wijen kering. Kejadian tersebut sangat menakutkan Bhadda. Tetapi yang lebih menakutkan lagi ketika beberapa anak yang lebih tua mengatakan bahwa kematian serangga tersebut merupakan kesalahan Bhadda. Walaupun kejadian tersebut terlihat biasa, tetapi tidak menurut Bhadda. Semenjak kejadian itu, Bhadda mengambil keputusan untuk melepas hidup keduniawian.
Ternyata kejadian yang sama menimpa seorang anak laki-laki, yang kelak menjadi suami Bhadda, bernama Kassappa. Ketika itu Kassappa sedang berdiri di tengah-tengah sawah yang telah dibajak. Kassappa yang pada saat itu masih kecil melihat cacing-cacing sedang dimakan oleh burung-burung. Dia merasa bersalah atas penderitaan itu. Sama seperti Bhadda, dia memutuskan untuk menjadi pertapa.
Masing-masing tumbuh di kedua tempat yang berbeda. Bhadda dan Kassappa tetap pada keputusannya untuk menjadi pertapa. Keduanya bertekad bahwa mereka tidak akan menikah. Keputusan ini membuat kedua orang tua mereka menjadi sedih.
Orangtua Kassappa membujuk Kassappa untuk menikah.
“Kassappa, kami ingin melihat kamu berkeluarga”, ucap ayah Kassappa.
Namun Kassappa menolak,
“Maaf ayah, saya sudah memutuskan untuk tidak menikah.”
Orang tua Kassappa mendesak terus supaya Kassappa menikah, akhirnya ia menyetujuinya, tetapi dengan sebuah persyaratan,
“Ayah Ibu, aku akan menikah, tetapi carilah wanita yang wajahnya mirip dengan patung yang akan aku buat”, kata Kassappa kepada kedua orangtuanya.
Kassappa lalu membuat sebuah patung wanita yang sangat cantik. Orang tuanya kemudian mengutus orang-orang untuk mencari wanita cantik di seluruh negeri yang mirip dengan patung itu. Akhirnya ditemukanlah wanita cantik yang menyerupai patung yang dibuat oleh Kassappa itu.
“Kami telah menemukan wanita cantik yang dicari, ia benama Bhadda Kapilani”, lapor seorang yang ditugaskan itu kepada orang tua Kassappa.
Mereka amat bahagia karena anaknya akan menikah. Sungguh luar biasa dapat menemukan wanita yang persis sama seperti patung itu.
Kegembiraan itu juga dirasakan oleh orang tua Bhadda.
“Mari segera kita persiapkan pesta pernikahan Kassappa dengan Bhadda!”, ucap ayah Kassappa dengan bersemangat.
Kemudian kedua orang tua Kassappa dan Bhadda merencanakan pesta pernikahan untuk mereka secara rahasia. Mengetahui rencana pernikahan tersebut, Bhadda dan Kassappa berusaha untuk membatalkannya dengan cara menulis surat kepada kedua orangtuanya, yang berisi bahwa mereka akan menjadi pasangan suami isteri yang tidak harmonis.
Tetapi taktik surat tersebut tidak behasil dan pesta pernikahan tetap dilangsungkan. Namun sesudah pernikahan tersebut, Kassappa dan Bhadda sepakat untuk tidak mewujudkan kehidupan berumah tangga, mereka sepakat untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka saling memotong rambut mereka satu sama lain, mengenakan jubah kuning, memberikan kebebasan kepada pelayan-pelayannya dan menjadi pertapa.
Kassappa dan Bhadda meninggalkan rumah, Bhadda berjalan mengikuti Kassappa, mereka menyadari bahwa berjalan bersama-sama kesana kemari, akan menimbulkan prasangka, maka mereka memutuskan untuk berpisah. Kassappa mengambil arah kanan sedangkan Bhadda mengambil arah kiri.
Setelah berselang beberapa waktu Kassappa menjadi pengikut Sang Buddha dan ditahbiskan (upasampada) menjadi bhikkhu. Bhadda tinggal di Titthiya rama dekat hutan Jeta di Savatthi.
Setelah kurang lebih 5 tahun pada saat Maha Pajapati Gotami membentuk Sangha Bhikkhuni, kemudian Bhadda ditahbiskan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni
Kassappa, Sang Putera,
pewaris Sang Buddha,
penuh konsentrasi,
yang mengetahui bahwa
Ia telah hidup dimasa lampau,
Ia telah melihat surga dan neraka.
Kassappa memutuskan lingkaran
tumimbal lahir, mencapai Arahat,
karena ketiga pengetahuan yang ia
miliki maka ia disebut brahmana
pemilik Tiga Pengetahuan.
Dengan cara yang sama,
Bhadda Kapilani pemilik Tiga Pengetahuan,
Setelah meninggalkan kematian,
melanjutkan sisa kehidupan
jasadnya yang terakhir kali,
setelah menaklukkan Mara dan
para pengikutnya.
Setelah melihat
bahaya kehidupan dunia,
kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana.

Yang Ariya Kisa Gotami Theri

Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.
Kisa Gotami adalah seorang gadis dari sebuah keluarga miskin di kota Savatthi. Nama sebenarnya adalah “Gotami”. Tetapi karena tubuhnya yang kurus maka dia dipanggil “Kisa”. Setiap orang yang melihat Kisa Gotami berjalan, dengan badannya yang tinggi dan kurus, tak seorang pun dapat melihat kebaikan yang ada di dalam dirinya.
Kisa Gotami sulit mendapatkan suami karena miskin dan tidak memilik daya tarik. Namun secara tak terduga kebaikan Kisa Gotami terlihat oleh seorang pedagang kaya yang menganggap bahwa kebaikan tidak dapat dilihat dari penampilan luar saja. Pedagang kaya itu kemudian menikahi Kisa Gotami.
Kisa Gotami tidak menduga ternyata keluarga suaminya memandang rendah dirinya karena kasta, kemiskinan, dan penampilan dirinya. Hal-hal tersebut membuat Kisa Gotami sangat menderita, terutama karena suaminya tercinta harus menghadapi konflik antara orang-orang yang ia sayangi, yaitu orangtua dan isterinya.
Waktu terus berlalu, lahirlah seorang bayi laki-laki dari pernikahannya itu. Kisa Gotami mulai diterima dan dihormati oleh seluruh keluarga suaminya. Dia sangat bahagia, tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, anaknya tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan. Kematian anaknya itu membuat Kisa Gotami sangat sedih dan amat takut.
“Akankah keluarga suamiku memandang rendah dan menyalahkan diriku atas semua yang telah terjadi?”
“O, tidak, aku harus berbuat sesuatu”, pikirannya amat kalut.
Kejadian tersebut membuat Kisa Gotami menjadi gila, apalagi dia tidak pernah melihat kematian sebelumnya. Kisa Gotami tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal, dia menganggap anaknya hanya sakit dan harus mendapatkan obat untuk menyembuhkannya.
Dengan menggendong anaknya, Kisa Gotami meminta obat dari rumah ke rumah
“Tolong…, oh tolonglah, berikanlah obat untuk anakku yang sakit ini”, ucapnya dengan penuh pengharapan.
Tidak sedikit orang yang mengejeknya tanpa perasaan, namun ada seorang baik hati dan bijaksana yang iba melihatnya, kemudian dia menasihatinya untuk menemui Sang Buddha.
“Saudari, pergilah kepada Sang Buddha, Beliau memiliki obat yang kamu butuhkan”, kata orang baik hati dan bijaksana itu.
Dengan bergegas Kisa Gotami menemui Sang Buddha di Jetavana, di kediaman Anathapindika, di mana Sang Buddha sedang bermalam. Kemudian Kisa Gotami memohon kepada Sang Buddha,
“Yang Mulia…. tolong …… tolonglah…… berikanlah obat yang dapat menyembuhkan anakku yang sakit ini.”
Lalu Sang Buddha menjawab,
“Gotami, mintalah segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah mengalami kematian.”
“Baik, Yang Mulia,” Kisa Gotami berkata dengan pikiran gembira.
Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia itu, Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada.
“Bolehkah saya meminta segenggam biji lada?” tanya Kisa Gotami.
“Oh … tentu saja,” jawab si tuan rumah, kemudian diberikanlah segenggam biji lada kepada Kisa Gotami.
Kemudian Kisa Gotami bertanya lagi,
“Apakah di rumah ini tidak pernah mengalami kematian dari salah satu anggota keluarga.”
“Tentu saja pernah”, jawab si tuan rumah. Kemudian Kisa Gotami meninggalkan rumah tersebut dan menanyakan hal yang sama ke rumah-rumah lainnya. Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian dari anggota keluarga belum pernah terjadi.
Hari sudah menjelang malam dan akhirnya Kisa Gotami menyadari bahwa bukan hanya ia seorang yang terpukul karena kematian orang yang disayangi.
Ternyata terdapat banyak orang yang telah meninggal dunia, ini merupakan segi-segi kehidupan manusia. Kisa Gotami menjadi sadar dan mengerti bahwa pada setiap kelahiran pasti ada kematian.
Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya. Kisa Gotami memakamkan anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha.
” Sudahkah kamu mendapatkan biji lada, Gotami?” tanya Sang Buddha.
“Yang Mulia, Saya tidak mendapatkan segenggam biji lada dari rumah yang keluarganya belum pernah mengalami kematian,” jawab Kisa Gotami.
Kemudian Sang Buddha berkata,
“Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya.”
Mendengar hal ini, Kisa Gotami benar-benar menyadari akan ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan dan mencapai tingkat kesucian Sotapatti dan memohon ditahbiskan untuk menjadi bhikkhuni. Kisa Gotami memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dengan bernamaskara. Kemudian memohon ditahbiskan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni.
Tak lama setelah menjadi bhikkhuni, Kisa Gotami mempelajari sebab-sebab kemunculan dari benda-benda. Pada suatu hari, ketika Kisa Gotami sedang menyalakan beberapa lampu, ia melihat beberapa api lampu mati dan yang lainnya masih menyala. Tiba-tiba Kisa Gotami mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha dengan kemampuan-Nya yang luar biasa melihat dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar serta menampakkan diri-Nya di hadapan Kisa Gotami. Sang Buddha berkata kepada Kisa Gotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk mencapai Nibbana.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair Dhammapada 114 berikut:
“Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian (Nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat “keadaan tanpa kematian”.”
Kisa Gotami mencapai Tingkat Kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Yang Ariya Patacara Theri

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.
Patacara merupakan putri seorang saudagar kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik. Orangtua Patacara sangat menyayangi dan menjaganya dengan ketat. Oleh karena itu ketika Patacara menginjak umur 16 tahun, ia selalu dikelilingi oleh beberapa penjaga, untuk melindunginya dari gangguan para pemuda. Karena selalu dijaga oleh para penjaga dan dikelilingi para pelayan di rumahnya, Patacara terlibat hubungan asmara dengan salah seorang pelayan di rumahnya. Hubungan tersebut berlangsung tanpa diketahui oleh orangtua Patacara.
Pada suatu hari, orangtua Patacara merencanakan pernikahannya dengan seorang pemuda dari golongan yang sederajat. Mengetahui hal tersebut, membuat Patacara menjadi sangat terkejut. Patacara tidak mau menikah dengan pemuda pilihan orangtuanya, karena itu ia melarikan diri meninggalkan kota bersama kekasihnya, pelayan orang tuanya, pergi melalui pintu gerbang utama, dan tinggal di sebuah desa kecil, jauh dari Savatthi.
Patacara, kini menjadi isteri orang miskin. Suaminya menjadi petani dan Patacara harus melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga sendiri, hal yang sebelumnya tidak pernah ia kerjakan.
Tidak lama kemudian Patacara hamil dan pada saat persalinan sudah dekat, Patacara minta ijin kepada suaminya untuk mengantarnya pulang ke rumah orangtuanya.
“Suamiku, di sini tidak ada orang yang merawatku apabila aku melahirkan anak kita, ijinkanlah aku pulang ke rumah orang tuaku”, mohon Patacara. Namun suaminya tidak mengijinkannya, beberapa kali Patacara meminta izin namun jawabannya selalu sama, hingga pada suatu hari ketika suaminya sedang pergi bekerja di sawah, Patacara memutuskan untuk pergi ke rumah orangtuanya sendirian dan memberitahukan kepergiannya kepada tetangganya.
Sewaktu suaminya kembali dan diberitahukan oleh tetengganya tentang kepergian istrinya, maka dengan segera ia menyusul. Setelah menemukan Patacara, suaminya memohon kepada Patacarta untuk kembali ke rumah mereka tapi Patacara menolak, dan terus berjalan. Di tengah perjalanan, Patacara merasa kesakitan karena bayinya akan segera lahir. Akhirnya Patacara melahirkan anak laki-lakinya di semak-semak. Setelah Patacara melahirkan, suaminya membawanya pulang bersama bayi laki-lakinya, kembali ke rumah mereka.
Beberapa tahun kemudian, Patacara hamil anaknya yang kedua, pada saat akan melahirkan Patacara juga ingin pulang ke rumah orang tuanya. Patacara juga ingin melahirkan, anaknya di rumah orang tuanya. Dengan menuntun anaknya yang pertama Patacara berjalan pulang menuju rumah orang tuanya, suaminya terus mengikuti Patacara. Namun di tengah perjalanan menuju Savatthi, hujan badai menerpa mereka.
“Suamiku, carikanlah aku tempat berlindung!”, teriak Patacara dengan muka yang pucat. Dengan segera suami Patacara mencarikan tempat perlindungan untuk istrinya. Ketika suami Patacara sedang memotong dahan pohon, seekor ular berbisa keluar dari liangnya dan mematuknya, pada saat itu juga ia meninggal dunia.
Patacara menantikan kedatangan suaminya dengan penuh rasa cemas, takut dan kesakitan, pada saat penantiannya itu, Patacara melahirkan anaknya yang kedua. Deru angin dan hujan badai terus berlangsung, kedua anaknya itu menangis karena ketakutan, kedinginan dan kelaparan. Patacara dengan tubuh yang masih lemah karena melahirkan, melindungi kedua anaknya dengan posisi tubuh menelungkupi mereka di tanah, ia melewati malam itu dengan penuh rasa cemas, ketakutan dan kedinginan.
Pada pagi harinya, ketika matahari sudah terbit, Patacara mencari suaminya sambil menggendong bayinya dan menuntun anak tertuanya. Ia berjalan menuju bukit kecil dan melihat tubuh suaminya sudah kaku di dekat gundukan rumah semut. Patacara sangat sedih dan berduka, ia menyalahkan dirinya atas kematian suaminya.
” Hu….Hu….karena kesalahan aku, maka suamiku mati”. Tangisan tersedu-sedu.
Patacara menangis dan meratap sepanjang hari, sambil meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya. Hujan yang tak henti-henti, membuat sungai Aciravati meluap dan airnya setinggi pinggang. Patacara yang masih lemah amat kebingungan, ia tidak mampu menyeberangi sungai dengan kedua anaknya. Lalu ia meninggalkan anak tertuanya di satu sisi sungai yang airnya mengalir dengan amat deras, dan ia menyeberang dengan menggendong bayinya. Sesampainya diseberang sungai, Patacara menebarkan ranting pohon yang telah dipatahkannya, dan membaringkan bayinya yang dibalut dengan kain penutup kepalanya diatas ranting-ranting itu.
Kemudian Patacara menyeberang kembali untuk menjemput anak tertuanya. Ketika ia berada di tengah sungai seekor elang besar menyambar bayinya, bagaikan sepotong daging. Melihat kejadian itu Patacara berteriak-teriak untuk mengusir burung elang itu, namun usahanya sia-sia, burung elang itu tidak memperdulikannya tetap membawa bayinya terbang tinggi. Anak tertuanya yang mengira ibunya memanggil, berjalan menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Karena arus sungai yang amat deras, anak itu hanyut terbawa arus sungai.
Dalam sekejap Patacara kehilangan kedua anaknya dan juga kehilangan suaminya. Patacara lalu menangis dan meratap keras seperti orang gila, “Hu… hu… bayiku disambar elang, anak tertuaku hanyut, suamiku mati dipatuk ular berbisa….!”
Dengan perasaan sedih dan duka yang mendalam, Patacara berusaha pulang ke Savatthi menuju rumah orang tuanya. Sesampainya di Savatthi, Patacara menjumpai seorang laki-laki di tengah jalan, dan menanyakan tentang keadaan orang tuanya.
“Saudari, tadi malam rumah saudagar kaya itu roboh dan menimpa mereka. Rumahnya terbakar, saudagar kaya, isteri dan anak laki-lakinya, mereka semua terbakar dalam satu tumpukan. Saudari, lihatlah kemari…! asapnya dapat terlihat dari sini”, ucap lelaki itu sambil tangannya menunjuk pada kepulan asap.
Mendengan berita yang demikian tragis, Patacara tidak kuat lagi menerima kenyataan yang menyedihkan ini ia menjadi gila, ia merobek-robek pakaiannya dan hampir tidak berpakaian. Patacara berlari-lari, berteriak-teriak, meratap-ratap di sepanjang jalan. Orang-orang yang melihatnya mengusirnya, “Pergi… Pergilah… wanita gila…!”
Sang Buddha yang sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, melihat Patacara sedang berteriak-teriak di depan vihara. Seorang murid Sang Buddha berusaha mencegahnya masuk dan berkata kepada orang yang ada didepan vihara, “Jangan biarkan wanita gila itu masuk.”
“Jangan melarangnya, biarkan ia mendekat”, kata Sang Buddha. Ketika Patacara berada cukup dekap dengan Sang Buddha. Beliau berkata dengan penuh kelembutan, “Anak-Ku Patacara, sadarlah.”
Setelah mendengarkan kata-kata dari Sang Buddha Patacara menjadi tenang, dan kesadarannya pulih kembali. Ia lalu sadar bahwa tubuhnya hampir tidak berpakaian, Patacara menjadi malu dan ia lalu bersimpuh di tanah. Lalu salah seorang murid Sang Buddha memberinya sehelai kain, dan Patacara membungkus dirinya dengan kain itu. Lalu ia mendekat pada Sang Buddha, bersujud di kaki-Nya dan berkata,
“Yang Mulia, tolonglah saya. Salah satu anakku disambar burung elang, yang satunya lagi hanyut terbawa arus sungai, suamiku meninggal dipatuk ular berbisa, orang tua dan saudara laki-lakiku rumahnya roboh dan terbakar dalam satu tumpukan”, ratap Patacara.
Sang Buddha berkata, “Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepadaKu yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu cucurkan atas kematian kedua anakmu, suami, orangtua, dan saudara laki-lakimu sudah sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra.”
Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci ‘Anamatagga Sutta’, yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang dan damai. Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya berjuang keras menyucikan diri untuk mencapai Nibbana. Mendengar nasihat Sang Buddha, Patacara mencapai Tingkat Kesucian Sotapatti. Kemudian Patacara menjadi bhikkhuni.
Pada suatu hari, Patacara sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap. Lalu ia menuangkan untuk kedua kalinya, air tersebut mengalir sedikit lebih jauh, tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangnya air yang dituangkan sebanyak tiga kali, Patacara mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.
Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin-Nya dari Vihara Jetavana, mengirim seberkas sinar dan menampakkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, “Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khanda). Seseorang yang tidak mengerti karakteristik ketidak-kekalan, ketidak-puasan, tanpa inti dari khanda adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun.”

YANG ARIYA UPALI

Terkemuka dalam Menjaga Sila
Enam bangsawan muda Sakya yaitu Ananda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta dan Kimbila memutuskan bersama untuk menjadi siswa Sang Buddha. Ketika mereka meninggalkan Kapilavatthu, ibu kota kerajaan Sakya, mereka diiringi dengan rombongan besar kereta, gajah dan sejumiah pelayan untuk melayani mereka dalam perjalanan. Di perbatasan antara kerajaan Sakya dan kerajaan Magadha, mereka mengirim seluruh kereta kembali ke Kaplivatthu, dan yang tinggal bersama mereka hanyalah Upali, tukang cukur mereka.
Di tepi hutan mereka menyuruh Upali untuk mencukur rambut mereka. Kemudian mereka melepaskan baju mereka yang mewah, perhiasan, lalu mengenakan jubah yang telah disiapkan. Mereka memberikan baju dan perhiasan itu kepada Upali dan menyuruhnya kembali ke Kapilavatthu. Upali mendapati dirinya sendirian dengan barang-barang berharga di dekatnya. Dengan gemetar dipungutnya barang-barang itu. Namun ia berpikir, kalau ia membawa pulang barang-barang itu tentu orang-orang akan mencurigainya dan ia akan dituduh mencuri barang-barang itu. Kemudian ia bertanya-tanya, mengapa keenam bangsawan muda itu mau meninggalkan kehidupan keduniawian untuk memasuki kehidupan suci. Ia teringat sabda Sang Buddha, “Semua penderitaan di dunia ini lahir karena nafsu keinginan. Bila nafsu keinginan tidak dilenyapkan, kedamaian pikiran sulit dicapai”.
Upali tidak lagi tertarik pada baju dan perhiasan mewah itu, dan ia pun bergegas mengejar para bangsawan muda itu untuk ikut pula menemui Sang Buddha. Mereka menjumpai Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu dan memohon agar Upali dapat ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi kesombongan hati mereka dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka.
Dengan sikap rendah hati Upali selalu menerima apa yang dikatakan orang dengan baik dan melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh, belajar dan melaksanakan semua aturan dengan baik melebihi para bhikkhu lainnya. Pada suatu kali Upali memohon ijin untuk tinggal di dalam hutan untuk melatih diri dalam meditasi.
Tetapi Sang Buddha menjawab, “Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Engkau tidak terlahir untuk hidup dalam kesunyian di hutan. Bayangkanlah apabila terdapat seekor gajah besar sedang mandi dengan gembira di sebuah danau. Apa yang akan terjadi bila seekor kelinci atau kucing melihat kegembiraan sang gajah, kemudian mencoba menyainginya dengan melompat ke dalam air juga?”
YA Upali kemudian menyadari bahwa beliau harus tetap berada dalam Sahgha, mengabdikan dirinya dalam peraturan dan latihan, menjaga sila dan bertindak sebagai penuntun bagi bagi bhikkhu-bhikkhu lainnya. Apabila menemui keragu-raguan sesedikit apapun, beliau segera menanyakannya kepada Sang Buddha. Beliau memegang teguh semua sila – mulai dari yang paling dasar yaitu tidak membunuh, mencuri, melakukan tindakan asusila, berdusta, minum minuman keras yang memabukkan – sedemikian baiknya sehingga orang-orang mulai datang kepadanya untuk meminta nasihatnya.
Meskipun demikian tidak berarti YA Upali mengikuti peraturan secara dogmatis. Beliau tahu bagaimana untuk membuat pengecualian. Pada suatu kali beliau bertemu dengan seorang bhikkhu tua yang sakit yang baru kembali dari perjalanan. Mendengar bahwa sakit tersebut dapat diobati dengan meminum anggur, YA Upali menemui Sang Buddha dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Sang Buddha berkata bahwa orang yang sakit dikecualikan dari aturan yang melarang minum minuman yang diragi. YA Upali segera memberikan anggur kepada bhikku itu, yang dengan demikian menjadi sembuh dari sakitnya.
YA Upali melaksanakan sila untuk kepentingan semua bhikkhu dan untuk perbaikan Sangha. Beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha mencapai Parinibbana, beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang diselenggarakan di bawah pimpinan YA Maha Kassapa. Ketika pertemuan dibuka, YA Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada bhikkhu Upali mengenai Vinaya”.
YA Upali menjawab, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa”.
Kemudian YA Maha Kassapa bertanya, “Bhikkhu Upali, di mana ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?”
“Di Vesali, Bhante”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka”
Demikianlah ditanyakan tentang pokok persoalannya, asal mulanya dan tentang orang-orang yang terlibat, apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. Ditanyakan pula tentang peraturan-peraturan yang lain, baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun untuk para bhikkhuni. Demikianlah semua pertanyaan dijawab oleh YA Upali dengan terang dan jelas sehingga Vinaya dapat terulang kembali dengan benar untuk dilestarikan.

Yang Ariya Maha Pajapati Gotami Theri

Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran serta dapat mengendalikan diri dalam 3 saluran perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang “Brahmana”
Maha Pajapati Gotami, yang terkenal sebagai salah satu pembentuk Sangha Bhikkhuni, berasal dari suku Koliya. Pada waktu Maha Pajapati Gotami dilahirkan, seorang peramal meramalkan bahwa jika besar nanti ia akan menjadi pemimpin dari suatu perkumpulan yang mempunyai banyak pengikut. Oleh karena itu ia diberi nama “Pajapati”, yang berarti pemimpin suatu perkumpulan besar, sedangkan “Maha” merupakan suatu awalan yang berarti luar biasa.
Maha Pajapati Gotami mempunyai kakak perempuan bernama Maya, kakak beradik ini menikah dengan Raja Suddhodana, dan tinggal bersama di Kapilavatthu. Kakak Maha Pajapati Gotami, Ratu Maya hamil lebih dahulu, yang kemudian melahirkan Pangeran Siddharta. Tujuh hari setelah melahirkan Pangeran Siddharta, Ratu Maya meninggal dunia.
Sudah menjadi tradisi, Maha Pajapati Gotami menggantikan kakaknya, menjadi Permaisuri dari Raja Suddhodana. Maha Pajapati Gotami walaupun sebagai ibu tiri, beliau menyusui dan mengurus Pangeran Siddharta seperti anaknya sendiri. Dari pernikahannya dengan Raja Suddhodana melahirkan dua orang anak, yaitu seorang anak perempuan bernama Sundari-Nanda dan seorang anak laki-laki bernama Nanda.
Waktu berlalu, Pangeran Siddharta yang telah mencapai ke-Buddha-an datang berkunjung ke Kapilavatthu, bersemayam di Nigrodharama (Taman Banyan), ketika itu Raja Suddhodana telah mangkat. Mendengar kabar kedatangan Sang Buddha, Maha Pajapati Gotami, bersama-sama dengan lima ratus wanita datang menemui Sang Buddha dan memohon kepada Beliau supaya wanita dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni, dan mengajukan permohonan,
“Yang mulia, akan menjadi baik, apabila seorang wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Tanpa menjelaskan alasan-Nya, Sang Buddha langsung menolak, dengan berkata,
“Cukup, O Gotami, jangan mengajukan permohonan supaya wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Untuk kedua dan ketiga kalinya Maha Pajapati Gotami mengulangi permohonannya, Sang Buddha tetap memberikan jawaban yang sama.
Kemudian, ketika Sang Buddha sedang berada di Kapilavatthu dalam perjalannya menuju Vesali, Beliau tinggal di sana pada waktu yang sesuai, saat itu Beliau berada di Mahavana (Hutan Besar) di Ruang Kutagara (Ruang Menara).
Ketika itu Maha Pajapati Gotami telah mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dengan lima ratus wanita pengikutnya, dalam perjalanan menuju Vesali, mereka tiba di Ruang Kutagara, Mahavana. Maha Pajapati Gotami dengan kaki yang bengkak, penuh dengan debu, amat berduka, sangat sedih dan penuh airmata, berdiri dengan menangis di depan pintu masuk ruangan. Yang Mulia Ananda menemui mereka yang sedang menangis dan menanyakan mengapa mereka amat berduka, kemudian beliau menemui Sang Buddha dan berkata,
“Lihatlah, Yang Mulia, Maha Pajapati Gotami berdiri di luar pintu, dengan kaki yang bengkak, tubuh yang berdebu dan amat sedih. lzinkanlah wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Buddha. Adalah baik, Yang Mulia, kalau wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci.”
“Cukup, Ananda, jangan meminta agar wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata”, jawab Sang Buddha.
Untuk kedua dan ketiga kalinya, Yang Mulia Ananda atas nama para wanita memohon kepada Sang Buddha, tetapi Beliau tetap tidak mengizinkan.
“Yang Mulia, apakah wanita mempunyai kemampuan, apabila mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, mencapai Arahat?”
Sang Buddha menjawab, bahwa mereka mampu untuk mencapai Tingkat-tingkat Kesucian.
Mendengar jawaban Sang Buddha ini, Yang Mulia Ananda mencoba untuk membujuk Yang Maha Sempurna dengan berkata,
“Kalau demikian, Yang Mulia, mereka mampu untuk mencapai Tingkat Kesucian. Maha Pajapati Gotami telah memberikan pengorbanan yang besar kepada Yang Mulia, sebagai ibu asuh, perawat dan memberikan susunya, ia menyusui ketika ibu Yang Mulia meninggal dunia. Yang Mulia, adalah baik apabila wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Akhirnya, setelah Yang Mulia Ananda mengajukan permohonan berkali-kali, Sang Buddha lalu berkata,
“Ananda, kalau Maha Pajapati Gotami mau menerima Delapan Peraturan Utama, ia harus melaksanakan peraturan ini sebagai persyaratan penahbisannya. Peraturan-peraturan ini harus dihormati, dijaga, dihargai, dijunjung tinggi selama hidupnya, dan tidak boleh dilanggar.”
Yang Mulia Ananda lalu menyampaikan hal ini kepada Maha Pajapati Gotami, ia dengan gembira menerima Delapan Peraturan Utama. Dengan diterimanya persyaratan ini, secara otomatis ia sudah menerima Penahbisan Tertinggi, menjadi bhikkhuni.
Maha Pajapati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan Bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Maha Pajapati Gotami, oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.
Tambahan :
Dengan munculnya Sangha Bhikkhuni, Sang Buddha lalu menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang, dengan bersabda,
“Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan sepuluh ribu tahun lamanya. Tetapi, sejak wanita diijinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang mulia hanya akan bertahan selama lima ribu tahun.”
Sang Buddha menambahkan,
“Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit maka akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama.”
“Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka.”
Pernyataan ini, tentu saja tidak begitu menyenangkan bagi para wanita, Sang Buddha tidaklah bermaksud untuk menghukum, tetapi memperhitungkan hal ini karena kelemahan fisik wanita itu sendiri.
Meskipun ada beberapa alasan yang masuk akal, Sang Buddha dengan berat hati mengizinkan wanita untuk ditabhiskan menjadi bhikkhuni, hal ini menujukkan kebesaran hati Sang Buddha, dan merupakan yang pertama kali di dalam sejarah dunia ini, terbentuknya Sangha Bhikkhuni dengan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan selama hidupnya.

YANG ARIYA RAHULA

Terkemuka dalam Melaksanakan Kebaikan
Pada hari ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Puteri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Puteri Yasodhara kemudian bertanya pada Rahula, “Anakku, tahukah engkau siapa orang itu ?”. Rahula menjawab, “Beliau adalah Sang Buddha, ibu”. Yasodhara tak dapat menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, “Anakku, petapa yang kulitnya kuning keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Pergilah kepadanya dan mintalah harta pusaka untukmu”.
Pangeran Rahula, yang masih kecil itu kemudian pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha mengatakan apa yang dipesankan ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang. Selesai makan siang Sang Buddha meninggalkan istana. Rahula mengikuti sambil terus merengek, “Ayah, berikanlah aku harta pusaka. Kelak aku akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka. Ayah, berikanlah aku warisan”. Tak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan Rahula berbuat demikian. Setibanya di taman, beliau berpikir, “Rahula minta warisan harta pusaka, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik Aku memberikan warisan berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku peroleh bawah pohon Bodhi. Dengan demikian akan mewarisi harta pusaka yang paling mulia”.
Di vihara, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula sebagai samanera. Rahula dengan demikian merupakan samanera pertama. Mendengar berita Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana merasa sedih sekali. Oleh karena itu ia mohon kepada Sang Buddha agar seseorang yang akan ditahbiskan menjadi bhikkhu atau samanera agar dengan ijin orangtuanya. Sang Buddha menyetujui permohonan tersebut dan mulai saat itu tidak mentahbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari orangtuanya.
Rahula merupakan putera dari Pangeran Siddhattha dan Puteri Yasodhara. Ketika Pangeran Siddhattha mendengar berita bahwa isterinya telah melahirkan seorang putera, mukanya menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menatap langit dan berkata, “Rahulajato, bandhanam jatam” (Satu belenggu telah terlahir, satu ikatan telah terlahir). Karena itulah maka bayi yang baru lahir itu diberi nama Rahula. Kelahiran Rahula disambut dengan pesta besar yang meriah. Namun saat itu Pangeran Siddhattha telah bertekad untuk meninggalkan istana untuk mencari jalan untuk membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan kematian.
Sesaat sebelum meninggalkan istana, Pangeran Siddhattha pergi ke kamar Puteri Yasodhara untuk melihat isteri dan anaknya. Isterinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak dapat terlihat. Pangeran semula ingin menggeser tangan isterinya untuk dapat melihat muka puteranya itu, tetapi hal ini diurungkan karena takut hal itu menyebabkan Puteri Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran berkata dalam hati, “Biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan isteriku”. Setelah itu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggang kuda Kanthaka diikuti oleh kusirnya, Channa, untuk berkelana mencari jalan kebahagiaan bagi umat manusia.
Kepergian Pangeran Sidhattha memberikan kesedihan yang mendalam bagi ayahnya, Raja Suddhodana terlebih pula isterinya, Puteri Yasodhara. Rahula yang kehilangan ayahnya diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang dan tumbuh menjadi anak yang pandai dan baik budi. Puteri Yasodhara sendiri ketika mendengar bahwa Pangeran Siddhattha yang telah menjadi petapa memakai jubah kuning, ia pun memakai jubah kuning, sewaktu mendengar petapa Siddhattha hanya makan satu kali sehari, ia pun makan hanya satu kali sehari. Demikian pula mengikuti kehidupan petapa Siddhattha, Puteri Yasodhara tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan mewah, tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian.
Setelah ditahbiskan oleh YA Sariputta, Rahula kini harus mengikuti peraturan yang berlaku. Sebagai anak Rahula tidak dapat memanggil ayah atau selalu berdekatan dengan Sang Buddha. Ini mungkin merupakan kesedihan baginya karena ia tidak dapat memperlakukan ayahnya sebagai seorang ayah sehingga mendorongnya untuk melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Contohnya, suatu kali ia menunjukkan arah yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan bertanya di mana dapat bertemu dengan Sang Buddha. Hal ini terdengar oleh Sang Buddha yang segera menuju ke kuti Rahula.
Rahula merasa bahagia ketika melihat ayahnya datang menghampirinya. Sang Buddha lalu meminta Rahula untuk menyiapkan sebaskom air. Setelah Rahula membasuh kaki Sang Buddha, Sang Buddha bertanya, “Rahula, dapatkah kamu minum air ini ?”
Rahula menjawab, “Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk diminum”
Sang Budhha lalu menyuruh Rahula membuang air itu dan kembali dengan baskom yang sudah kosong. Lalu Sang Buddha berkata, “Rahula, dapatkah kamu menaruh makanan ke dalam baskom ini?”
Rahula menjawab, “Tidak saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor”.
Mendengar jawaban Rahula Sang Buddha berkata, “Seseorang yang mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong, yang akan mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. Dan penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak akan dapat dielakkan oleh si pembuat kebohongan”.
Dengan kata-kata yang disampaikan oleh Sang Buddha, sejak saat itu Rahula dengan amat rajin mematuhi semua peraturan Sangha dan menjadi seorang bhikkhu yang terkemuka dalam melaksanakan perbuatan baik. Banyak orang memandang Rahula dengan penuh simpati. Meskipun terlahir dan dididik sebagai pangeran, Ia dapat melepaskan semua hak-hak istimewanya dan pada usia demikian muda dapat menjalani kehidupan suci dengan begitu baik. Namun adapula anggota sangha yang memperlakukannya dengan tidak ramah dan beberapa orang bhikkhu iri hati kepadanya. Menerima perlakuan yang tidak menyenangkan itu merupakan ujian berat baginya.
Pada suatu ketika, ketika YA Sariputta dan Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, seorang perusuh melempar pasir ke mangkuk YA Sariputta dan memukul Rahula. YA Sariputta mengingatkan Rahula, “Rahula, engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun yang kamu terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam hatimu. Kamu harus selalu berbelas kasihan kepada semua makhluk. Orang yang paling berani, orang yang mencari penerangan, membuang kesombongan dan memiliki keteguhan hati untuk mengatasi kemarahan”. Rahula tersenyum dan terus berjalan sampai menemui sebuah sungai dan membersihkan kotoran dari tubuhnya.
Rahula tidak pernah membenci nasihat yang diberikan kepadanya. Setiap bangun pagi ia mengambil segenggam pasir dan bertekad, “Semoga hari ini saya mendapat nasihat sebanyak pasir ini”. Semangatnya dapat terlihat dari kenyataan bahwa ia melaksanakan latihan-latihan yang sangat sulit dan keras, dengan cara tidak berbaring melainkan duduk dalam posisi meditasi untuk tidur selama masa dua belas tahun.
Pada usia dua puluh tahun, Rahula ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan pembimbing (upajjhaya) YA Sariputta dan guru penahbisan resmi YA Moggallana. Selama kurang lebih satu masa latihan musim hujan Rahula melatih diri dengan sungguh-sungguh. Ketika itu Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran Rahula sudah matang, membawanya ke hutan Andha dan mengajarkan ajaran yang dikenal sebagai Nasihat Kecil untuk Rahula (Cullarahulovada Sutta, Majjhima Nikaya) Rahula merasakan kegembiraan setelah mendengar sabda Sang Buddha dan hatinya terbebas dari kekotoran batin (asava) dan beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu Arahat.
Pada suatu kali delapan tahun setelah mencapai tingkat Arahat, terdapat para bhikkhu yang datang memakai tempat tidur YA Rahula. Karena tidak menemukan tempat untuk beristirahat, YA Rahula tidur di ruang terbuka di depan tempat Sang Buddha. YA Rahula mencapai Parinibbana (wafat) setelah wafatnya Sang Buddha, diperkirakan pada usia lima puluh tahun. Dibangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan beliau.