Rabu, 21 Desember 2011

HARI TERAKHIR SANG BUDDHA

     
         Banyak kejadian dalam kehidupan Sang Buddha yang terjadi sesudah tahun ke-45 usia Sang Buddha, dicatat tanpa petunjuk tahun yang pasti saat maan kejadian itu berlangsung. Akan tetapi kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun ke-80 usia Sang Buddha, ditulis pada tahun tersebut karena kejadian-kejadian tersebut dicatat di dalam Maha Parinibbana Sutta.     Ketika Sang Buddha mencapai usia ke-80, Beliau merasa bahwa hariNya di dunia ini hampir berakhir. Merskipun Beliau menderita sakit dan akibat-akibat dari usia tua seperti orang-orang pada umumnya, Beliau berbeda dari orang kebanyakan. Dengan kekuatan batinNya yang dikembangkan melalui latihan batin yang telah maju sekali, Beliau mampu mengatasi berbagai rasa sakit di tubuhNya. Batin Beliau selalu bersinar laksana berlian yang bersinar, meskipun jasmaniNya telah mulai melemah.     Dalam tahun terakhir dari hidupNya ini, Beliau memutuskan untuk menghabiskan hari-hari terakhirNya di alam sekitar yang tenang dan damai di Kusinara, desa kecil di Utara India. Beliau lebih suka pergi meninggalkan kota-kota besar dan makmur seperti Rajagaha dan dan Savatthi beserta keramaian-keramaiannya, para pedagang, dan para rajanya di sana.     Kota tempat Beliau memulai perjalananNya adalah Rajagaha, ibukota Magadha. Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, ditemani oleh Yang Mulia Ananda serta banyak siswaNya, berjalan melewati banyak kota dan desa. Waktu ini, Yang Mulia Rahula dan Yang Mulia Yasodhara telah meninggal dunia, begitu juga dengan kedua orang murid utama Sang Buddha, Yang Mulia Moggallana dan Yang Mulia Sariputta.     Selama perjalanan, pikiran-pikiran Sang Buddha tertuju pada kesejahteraan Persaudaraan pada Bhikkhu. Banyak dari khotbah Beliau yang berisikan nasihat-nasihat bagaimana para bhikkhu seharusnya berperilaku untuk memastikan bahwa Persaudaraan para Bhikkhu dapat berjalan terus setealah kemangkatanNya. Beliau mengingatkan para MuridNya untuk mempraktekkan semua Kebenaran (Dhamma) yang telah Beliau ajarkan kepada mereka.     Satu khotbah, mengingatkan para murid untuk melaksanakan ke-37 Faktor Pencerahan (Bodhipakkhiya-Damma); khotbah lainnya tentang empat cara untuk menilai/mengecek apakah suatu ajaran itu adalah ajaran Sang Buddha atau tidak, dengan membandingkan mereka dengan Vinaya (peraturan-peraturan disiplin untuk para bhikkhu) dan Sutta-sutta (khotbah-khotbah Sang Buddha).     Ada satu khotbah yang Sang Buddha berikan berulang-ulang selama perhentian-perhentiannya dalam perjalanan terakhirNya ini. Itu adalah khotbah tentang pahala-pahala dari mengikuti 3 faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan; kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan, yang akan dapat menolong para siswa bebas dari semua penderitaan.     Setibanya di Pava, Sang Buddha dan para siswaNya diundang oleh putra pandai emas desa itu yang bernama Cunda, untuk menerima makanan yang dinamakan Sukaramaddava, atau bagian daging babi jantan adalah hidangan enak yang khusus terbuat dari jamur-jamuran yang bernama Sukaramaddava, tetapi yang lainnya mengatakan bahwa itu adalah hidangan dari daging bagi hutan jantan.     Sang Buddha menyarankan agar Cunda menghidangkan Beliau hanya Sukaramaddava yang telah disiapkannya. Makanan lainnya yang telah Cunda persiapkan, dapat dihidangkan kepda para bhikkhu lainnya. Kemudian Sang Buddha mengatakan padanya, “Cunda, jika masih ada Sukaramaddava yang tersisa, kuburkan ia di dalam lubang. Tathagata tidak melihat ada seorang  pun di dunia ini selain Tathagata yang mampu mencerna makanan ini”.  “Oh, demikiankah, Bhante”, jawab Cunda, dan ia menguburkan sisa makanan tersebut di dalam tanah. Ia mendatangi Sang Buddha, dan setelah memberi hormat, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Buddha mengajarkannya Dhamma. Sang Buddha juga memuji Cunda tas hidangannya yang telah membuat Beliau segar dan kuat kembali setelah perjalanan jauh. namun segera sesudah itu, Sang Buddha menderita sakit perut akibat serangan Disentri, yang mana sebelumnya telah diderita Beliau di desa Beluva, dan sakit yang amat sangat kini menyerangNya. Dengan usaha dari kemauan, Beliau sangggup menahan rasa sakit tersebut. Meskipun amat lemah, Sang Buddha memutuskan untuk langsung meneruskan perjalanan ke Kusinara, yang jauhnya kurang lebih 6 mil lagi. Setelah perjuangan melawan sakit, Beliau tiba di hutan pohon Sala, yang persis berada di pinggiran kota.     Sang Buddha mandi untuk terakhir kalinya di sungai Kuttha. Setelah istirahat sejenak, lalu Beliau berkata: “Sekarang mungkin akan terjadi bahwa sebagian orang akan membuat Cunda menjadi menyesal karena telah memberi Tathagata hidangan yang membuatNya sakit. Ananda, bila ini terjadi, engkau harus mengatakan kepada Cunda bahwa engkau telah mendengar langsung dari Sang Buddha bahwa itu adalah keberuntungan bagi dia. Katakan padanya bahwa ada dua macam persembahan kepada Sang Buddha yang mempunyai pahala yang sama, yaitu persembahan makanan saat menjelang Pencerahan Sempurna-Nya dan persembahan makanan pada saat menjelang Kemangkatan-Nya. Ini adalah kelahiran terakhir dari Sang Buddha”.     Kemudian Beliau berkata, “Ananda, tolong siapkan tempat pembaringan untuk Tathagata degnan kepala mengarah ke Utara, di antara dua pohon Sala besar. Tathagata lelah dan ingin berbaring”.     Pada saat itu juga, kedua pohon Sala tersebut tiba-tiba dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran karena pengaruh dari para Dewa; meskipun saat itu bukan musimnya. Mereka menaburi dan memandikan Sang Buddha dengan bunga-bunga yang dijatuhkannya, sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada Beliau. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Ananda, “Ananda, kedua pohon Sala besar ini menaburi Tathagata degan bunga-bunganya seolah-oleh mereka memberi penghormatan kepada Tathagata. Tetapi ini bukanlah cara bagaimana Tathagata seharusnya dihormati dan dihargai. Melainkan, adalah bila para bhikkhu dan bhikkhuni, atau laki-laki dan perempuan umat awam, yang hidup sesuai dengan Ajaran Tathagata, itulah cara menghormati dan menghargai Tathagata”.     Terdapat 4 tempat bagi pengikut setia Buddha untuk dikunjungi, yang akan menjadi inspirasi bagi mereka. Inilah keempat tempat suci yang berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha: 1. Tempat kelahiran Sang Buddha. 2. Tempat dimana Sang Buddha mencapai Kebuddhaan (Penerangan Sempurna) 3. Tempat dimana Sang Buddha memberikan KhotbahNya yang pertama dan     memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya. 4. Tempat dimana /Sang Buddha mencapai Maha Parinibbana.     Sesaat sesudah itu, didapati bahwa Y. M. Ananda tidakk ada di sana. Ia telah pergi ke dalam kutinya, berdiri dengan bersandar di pinggir pintu sambil menangis. Ia berpikir, “Aduh! Saya masih seorang yang harus belajar (sekha), seorang yang masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Dan Sang Guru akan meninggalkan saya - Ia yang amat baik!”     Dan, Sang Buddha memanggil Ananda, berkata padanya, “Sudahlah Ananda! Janganlah bersedih dan menangis. Bukankah Tathagata telah berulang kali mengatakan kepadamu bahwa kan terjadi perpisahan dan meninggalkan semua yang disayangi dan dicintai? Bagaimana mungkin bahwa segala sesuatu yang telah dilahirkan, yang memiliki awal, dapat melawan kematian? Hal semacam itu tidaklah mungkin.      “Ananda, engkau telah melayani Tathagata degnan tindakan yang penuh cinta-kasih, selalu siap menolong, dengan senang hati, dan bersahabat, demikian pula dalam ucapan dan pikiranmu. Engkau telah membuat kebajikan, Ananda. Terusalah berusaha dan engkau akan segera terbebas dari semua kelemahan kemanusiaanmu. Dalam waktu yang sangat singkat engkau akan menjadi Arahat”.      “Sekarang engkau boleh pergi, Ananda. Tapi pergilah ke Kusinara dan katakan kepada semua orang bahwa malam ini, pada waktu jaga terakhir, Sang Buddha akan mangkat menuju Nibbana. datang dan temuilah Sang Buddha sebelum Beliau mangkat”.     Maka, Y. M. Ananda degnan ditemani seorang bhikkhu lainnya melaksanakan apa yang disuruh oleh Sang Buddha, pergi ke Kusinara untuk mengumumkan kepada ordang-orang di sana. Dan semua orang di Kusinara, laki-laki, perempuan, dan anak-anak datang ke tempat pohon Sala kembar untuk menyampaikan selamat tinggal kepada Sang Buddha. Keluarga demi keluarga, mereka bernamaskara di dekat Sang Buddha sebagai ucapan selamat tinggalnya kepada Beliau.  

SUJATA

    Dan Khotbah tentang 7 Tipe Istri
          Sujata berasal dari keluarga kaya, dan menikah dengan para putra Anathapindika. Dia bersikap sombong, tidak mau menghormati orang lain dan tidak mau mendengar instruksi-instruksi dari suaminya dan orang tuanya. Konsekuensinya, pertentangan terjadi di keluarga itu tiap hari.     Suatu ketika Sang Buddha mengunjungi rumah Anathapindika. Beliau mendengar keributan yang tidak biasanya terjadi di dalam rumah itu, dan menanyakan apa yang terjadi. Anathapindika menjawab, “Yang Mulia, itu adalah Sujata, menantu saya. Dia tidak mau mendengar kepada mertua perempuannya, mertua laki-lakinya, dan suaminya. Dia bahkan tidak menghormati dan menemui Sang Bhagava”.     Sang Buddha lalu memanggil Sujata untuk datang ke hadapan Beliau, dan berkata dengan lembut, “Sujata, terdapat 7 tipe istri yang mungkin dimiliki oleh seorang laki-laki. Tipe yang manakah engkau?”  “Apakah ketujuh tipe istri itu, Yang Mulia?” tanya Sujata.  “Sujata, terdapat istri yang buruk dan tiak diinginkan. Yaitu seorang istri yang menyusahkan. Dia jahat, bertemperamen buruk, tak punya rasa kasihan, dan tidak setia kepada suaminya”.  “Terdapat istri yang seperti seorang pencuri. Dia menghabiskan uang yang dicari oleh suaminya”.  “Terdapat istri yang seperti bos. Dia malas, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia kejam dan tak punya rasa belas kasihan, selalu memarahi suaminya dan bergosip”.  “Sujata, terdapat pula istri yang baik dan terpuji. Yaitu istri yang seperti seorang ibu. Dia baik dan punya rasa belas kasihan, serta memperlakukan suaminya, seperti putranya, dan berhati-hati dalam menggunakan uang suaminya”.  “Terdapat istri yang seperti seorang adik. Dia hormat kepada suaminya  sama seperti seorang adik perempuan terhadap kakak laki-lakinya. Dia  rendah hati dan patuh kepada keinginan-keinginan suaminya”.  “Terdapat istri yang seperti seorang sahabat. Dia bergembira saat melihat suaminya, sama seperti seorang sahabat yang telah lama tidak berjumpa. Dia memiliki kelahiran yang mulia, bermoral, dan setia”.  “Terdapat istri yang seperti seorang pelayan. Dia berlaku sebagai seorang istri yang penuh pengertian tatkala kekurangan atau kesalahan-kesalahannya ditunjukkan. Dia tetap tenang dan tidak menunjukkan kemarahan sedikit pun meski suaminya mengucapkan kata-kata yang kasar. Dia patuh kepada keinginan-keinginan suaminya”.  Sang Buddha lalu bertanya, “Sujata, tipe istri yang manakah engkau, atau engkau ingin menjadi tipe yang mana?”     Mendengar kata-kata Sang Buddha ini, Sujata menjadi malu atas sikapnya yang lalu, dan berkata, “Mulai sekarang dan seterusnya, Sang Bhagava boleh memikirkan saya seperti contoh istri yang terakhir, karena saya akan menjadi istri yang baik dan penuh pengertian”. Dia mengubah sikap lakunya dan menjadi pembantu suaminya, dan bersama-sama berjuang mencapai pencerahan.  

SUBHADDA

    Pentahbisan Terakhir Semasa Sang Buddha Masih Hidup
         Terdapatlah seorang pertapa pengelana bernama Subhadda yang tinggal di dekat Kusinara saat itu dan ketika ia mendengar bahwa Sang Buddha akan meninggal dunia, ia memutuskan untuk pergi dan menemui Beliau, ingin bertanya tentang sesuatu hal tertentu sebelum Beliau mangkat. Ia yakin bahwa Sang Buddha akan menjawab pertanyaannya dan menjernihkan keragu-raguannya.     Jadi Subhadda pergi ke hutan pohon Sala, dan bertanya kepada Yang Mulia Ananda apakah ia dapat menemui Sang Buddha. Tetapi Yang Mulia Ananda berkata, “Cukup, sahabat Subhadda, Sang Buddha sedang sangat letih. Janganlah mengganggu Beliau”.     Untuk kedua dan ketiga kalinya Subhadda menyampaikan permohonannya dan untuk kedua dan ketiga kalinya pula yang Mulia Ananda memberikan jawaban yang sama.     Akan tetapi, Sang Buddha menangkap sepatah dua-patah kata dari pembicaraan antara Yang Mulia Ananda dan Subhadda, dan Beliau memanggil Yang Mulia Ananda datang padaNYa dan berkata, “Kemarilah, Ananda. Janganlah mencegah Subhadda untuk menemui Tathagata. Biarkanlah ia datang dan menemui Tathagata. Apapun yang akan ditanyakan oleh Subhadda kepada Tathagata, ia akan bertanya karena ingin mengetahui suatu pengetahuan dan bukan untuk mengganggu Tathagata. Dan apapun yang Tathagata katakan dalam menjawab pertanyaannya, ia akan cepat mengerti”.     Demikian diberikannya izin, Subhadda mendekati Sang Buddha, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia berkata, “O Gotama, terdapat banyak guru agama yang terkenal, yang mengajarkan ajaran-ajaran lainnya yang berbeda dari ajaran agamaMu. Sudahkah mereka semua, seperti yang mereka nyatakan, telah menemukan kebenaran? Atau sudahkah sebagian dari mereka, menemukan Kebenaran dan yang  lainnya belum?  “Cukup, O, Subhadda”, kata Sang Buddha “Engkau tidak usah kuatir tentang ajaran-ajaran mereka. Dengar dan perhatikan baik-baik pada apa yang Tathagata katakan, dan Tathagata akan memberitahukanmu tentang Kebenaran”.     Di dalam doktrin atau ajaran mana saja yang padanya tidak ditemukan Jalan Mulia Berunsur delapan, di sana juga tidak akan ditemukan orang-orang yang bisa mencapai Sotapanna, Sakadagami, Anagami, atau Arahat. Tetapi di dalam Ajaran di mana padanya ditemukan Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan padanya saja, Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat. Dan di dalam AjaranKu ini, O Subhadda, ditemukan adanya Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan padanya saja, Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat ditemukan. Tidak ada pada ajaran dari guru-guru spiritual lainnya dapat ditemukan orang-orang suci semacam ini. Dan jika siswa-siswaKu hidup dengan benar dan mengikuti peraturan-peraturanKu atau aturan-aturan latihan, dunia tak akan pernah kosong dari para Arahat”.     Kemudian Subhadda memohon untuk diizinkan memasuki Persaudaraan para Bhikkhu, dan Sang Buddha memenuhi permintaannya. Dalam pada ini Subhadda menjadi bhikkhu dan murid terakhir yang ditahbiskan semasa Sang Buddha masih hidup dan menjadi murid Sang Buddha, sama seperti Kondanna sewaktu di taman rusa di Benares adalah bhikkhu dan murid pertama Sang Buddha 45 tahun lalunya.     Dan dengan usaha yang rajin dan sungguh-sungguh dalam mengikuti Sang Ajaran, Subhadda segera manjadi seorang Arahat.  

SONA

    Bhikkhu yang Berlatih Terlalu Keras
        Putra seorang pengusaha kaya, Sona, senang mendengar musik kecapi dan memainkan alat musik tersebut. Karena ia dibesarkan dalam kemewahan, kulit tubuhnya menjadi sangat lembut dan halus: Dikatakan bahwa bulu badan pun tumbuh di telapak kakinya. Suatu kali ia dibawa menghadap kepada raja Bimbisara yang ingin melihat kaki yang tidak biasa itu, seperti yang begitu sering ia dengar.     Sona tinggal di dekat Puncak Bukit Burung Nazar di Rajagaha, di mana Sang Buddha tinggal selama beberapa vassa. Suatu hari, Sona pergi ke Puncak Bukit Burung Nazar untuk mendengar khotbah Sang Buddha tentang kebahagiaan yang akan dialami langsung karena ketiadamelekatan terhadap keinginan-keinginan yang bersifat duniawi. Karena ia ingin mengalami kebahagiaan ini, Sona meminta agar ia ditahbiskan sebagai bhikkhu.     Setelah menjadi seorang bhikkhu, ia diajar untuk selalu sadar (penuh sati/perhatian murni) secara terus-menerus, bahkan ketika sedang berjalan. Sona sangat antusias. Setiap hari aia berjalan mondar-mandir di dalam vihara hingga suatu hari kakinya melepuh dan berdarah.     Meskipun sudah berlatih begitu keras, ia masih tidak mengalami kebahagiaan, tetapi hanya rasa sakit dan kekecewaan. Pikiran-pikiran tentang keinginan-keinginan terhadap hal-hal duniawi masuk ke dalam batinnya. “Ini tidak berguna”, kata Sona pada dirinya, “Saya sudah berlatih dengan demikian keras, tetapi tetap tidak dapat mencapai apa yang saya harapkan. Lebih baik saya kembali ke kehidupan awam dan menikmati kebahagiaan yang dulu saya alami dengan berbuat amal”.     Ketika Sang Buddha mendengar tentang hal ini, Beliau pergi untuk melihat Sona. “Sona”, tegur Sang Buddha, “Tathagata telah mendengar bahwa engkau tidak mendapat hasil yang baik dari latihan kesadaranmu dan ingin kembali ke kehidupan awam. Seandainya Tathagata menjelaskan mengapa engkau tidak mendapatkan hasil-hasil yang bagus, maukah engkau tetap sebagai bhikkhu dan berlatih kembali?”  “Ya, saya mau, Bhante”, jawab Sona.  “Sona, engkau adalah seorang pemusik dan engkau biasanya memainkan kecapi. katakan pada Tathagata, Sona, apakah engkau menghasilkan musik yang bagus bilamana senar-senar kecapi disetel dengan baik, tidak terlalu kencang, tidak pula terlalu kendor?”  “Saya dapat menghasilkan musik yang bagus, Bhante”, jawab Sona.  “Apa yang terjadi bilamana senar-senarnya diputar terlalu kencang?”  “Saya tidak dapat menghasilkan musik apapun, Bhante”, jawab Sona.  “Sona, apakah sekarang engkau mengerti engkau tidak dapat mengalami kebahagiaan dari pelepasan nafsu keinginan duniawi? Engkau telah memaksa terlalu keras dalam meditasimu. Lakukanlah itu dalam cara yang relaks, tetapi tidak kendor. Cobalah lagi dan engkau akan mengalami hasil-hasil yang bagus”.     Sona mengerti dan tetap tinggal di vihara sebagai seorang bhikkhu, dan dalam waktu yang singkat ia mencapai tingkat kesucian. 

NYANYIAN KEMENANGAN SANG BUDDHA

          Sang Buddha telah menahan serangan terburuk dari Mara. Akhirnya si Jahat Mara mundur dan amukan badai yang diciptakannya sirna. Sekarang batin Sang Bhagava tenang dalam kedamaian. Kegelapan yang pekat memudar dan bulan penuh serta bintang-bintang muncul kembali.Sang Bhagava masuk ke dalam meditasi yang dalam, melewati batas-batas pengertian manusia, melihat dunia sebagaimana apa adanya, tidak sebagai apa penampakannya. Laksana seekor burung elang melesat tinggi ke arah matahari dengan lemasnya, batin Beliau bergerak dengan cepat ke depan dan ke atas.     Beliau melihat kehidupan-kehidupan lampauNya dan seluruh kelahiran Beliau sebelumnya, dengan segala perbuatan yang baik maupun buruk beserta keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugiannya. Ketika batinNya melesat makin tinggi dan juga ke depan dengan cepat, Beliau melihat makhluk-makhluk lahir berulang-ulang dan mati sesuai dengan Kamma/perbuaan mereka. Mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan baik dianugerahi dengan kelahiran di alam surga. Namun meskipun anugerah-anugerah/pahala ini berakhir nya lebih lama daripada kesenangan-kesenangan duniawi, mereka tetap tidak kekal. Makhluk-makhluk yang menderita di alam neraka juga akan terus melanjutkannya di dalam lingkaran samsara. Semua makhluk hidup terperangkap di dalam dunia ketidaktahuan dan penderitaan.     Ketika pandangan Beliau menjadi jernih seperti kristal, Beliau melihat apa yang disebut jiwa dari manusia, yang diklaim oleh manusia sebagai dirinya/miliknya, hancur berkeping-keping dan tergeletak di belakang Beliau seperti helaian benang-benang yang terurai dari sepotong kain. Beliau melihat penyebab dari rantai kehidupan, yaitu Ketidaktahuan/kebodohan. Karena manusia bodoh, melekat kepada benda-benda yang berharga, ia menciptakan ilusi-ilusi (yang sifatnya selalu berubah/tidak kekal itu) di dalam dirinya yang semakin berbahaya. Tetapi bila nafsu keinginan ini mati, nafsu berakhir, kebodohan pun buyar seperti malam berlalu, dan matahari Pencerahan akan bersinar.     Dan setelah mengerti dunia dengan sebagaimana apa adanya., Sang Bhagava telah sempurna dalam kebijaksanaanNya, Beliau tidak akan di dilahirkan kembali. Nafsu keinginan dan keinginan-keinginan jahat benar-benar telah dimusnahkan dengan sepenuhnya, seperti api yang padam karena tiadanya minyak.Sang Buddha, Sang Sempurna, duduk bermandikan cahaya yang cemerlang dari Kebijaksanaan dan Kebenaran. Dan karena pencapaian Beliau ini, dunia menjadi tenang dan terang, serta hembusan bayu yang lembut meniup daun-daun Pohon Bodhi. Dipenuhi dengan kewelas-asihan, Sang Buddha duduk di bawah Pohon Bodhi, dalam perenungan yang dalam tentang Dhamma. Beliau larut dalam kebahagiaan, dalam kedamaian sempurna Nibbana. Pada waktu subuh sesudah Pencapaian PencerahanNya, Sang Buddha menguncarkan nyanyian kemenangan yang membahagiakan ini :  “Melalui banyak kelahiran dalam samsara Aku mengembara  Mencari, tetapi tidak menemukan si pembuat rumah ini.  Menyedihkan kelahiran yang berulang-ulang.  O pembuat rumah, kini engkau telah terlihat,  Engkau tidak bisa membangun rumah lagi  Semua balok kasaumu telah patah, tiang-tiang bubunganmu telah hancur.  Batin mencapai keadaan tanpa syarat  Tercapailah akhir dari keinginan”.

MAGANDIYA

    Gadis Cantik yang Menaruh Dendam terhadap Sang Buddha
          Magandiya adalah seorang gadis yang sangat cantik, sehingga banyak pria kaya yang ingin menikahinya. Orang tua si  gadis selalu menolak para pelamar tersebut karena menganggap mereka tidak cukup pantas bagi putrinya, bahkan ketika si orang tua gadis itu menemukan seorang laki-laki yang pantas baginya, si gadis menolak untuk menikahi siapapun kecuali seorang raja. Magandiya telah memutuskan untuk menggunakan kecantikannya untuk menikah dengan kekayaan.     Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memantau dunia (dengan mata batinNya), Beliau melihat bahwa batin orang tua Magandiya telah berkembang secara spiritual. yang dibutuhkan adalah satu pernyataan dari Beliau untuk membuka mata mereka terhadap Kesunyataan. Sang Buddha pergi ke tempat di mana Brahmana tersebut sedang membuat upacara pengorbanan untuk dewa api di luar desanya.     Ketika ayah Magandiya melihat Sang Buddha datang, dia begitu tertegun dengan keindahan fisik Sang Buddha, ketenangan serta keanggunanNya. Tidak ada yang lebih baik dari pada orang ini untuk dinikahkan kepada putriku, pikir sang Brahmana.       “Jangan pergi dulu, wahai pertapa”, kata dia, “tinggallah di sini sampai aku membawa putriku menemuimu. Engkau adalah pasangan yang ideal baginya, dan juga sebaliknya. Sang Buddha tidak berkata-kata dan tetap diam, sebagai gantinya Beliau menandai jejak kakinya di tanah dan kemudian pergi. Dengan sangat gembira sang Brahmana menyampaikan berita tersebut kepada istrinya. “Cepat dandani putri kita, sayangku. Aku telah menemukan seorang laki-laki yang pantas bagi putri kita”. Ketika ketiga orang tersebut tiba di tempat tadi, Sang Buddha sudah tidak kelihatan. Mereka hanya mendapati jejak kakiNya. Sang istri, yang sudah biasa dengan tanda-tanda, membaca jejak kaki tersebut, dan berkata “Saya pikir, ini bukanlah jejak kaki dari orang yang mau menikahi putri kita, jejak ini adalah milik dari seseorang yang telah melepaskan kesenangan duniawi”.      “Lagi-lagi kamu dan tanda-tandamu itu. Kamu melihat buaya-buaya di dalam pot air, dan perampok-perampok di tengah rumah. Lihat, itu Dia sedang duduk di bawah pohon. Sayangku, pernahkah kamu melihat seseorang yang begitu mengagumkan penampilannya ?! Kemarilah, putriku. Kali ini pelamarmu demikian sempurna, di mana kamu tak dapat menemukan kekurangannya”.     Mendengar hal ini, Sang Brahmana dan istrinya langsung mengerti bahwa kehidupan duniawi adalah menyedihkan dan bukan sesuatu yang pantas untuk dilekati, tak peduli bagaimana menarik atau indah penampilannya. Saat itu juga, mereka berdua mencapai tingkat Anagami, yaitu tingkat kesucian yang ketiga. Tapi malangnya, Magandiya yang sombong, yang batinnya belum berkembang secara spiritual, tidak dapat mengerti arti yang sesungguhnya dari kata-kata ini. Ia mengira Sang Buddha menghina kecantikannya. “Bagaimana bisa Pertapa ini menghinaku, sementara begitu banyak laki-laki yang takluk kepada kecantikanku pada pandangan pertama. Meskipun jika ia tidak ingin menikahiku, ia tidak seharusnya mengatakan bahwa tubuhku ini penuh dengan kekotoran”. Sambil mengepalkan kedua telapak tangannya, ia menggeram di sela-sela nafasnya, “Kamu tunggu saja, hai pertapa. Bilamana aku menikah dengan seorang suami yang berkuasa, aku akan membalas semua ini”.     Singkat cerita, Magandiya kemudian menikah dengan raja dari negeri Udena. Ketika ia mendengar bahwa Sang Buddha telah memasuki kota tersebut, kebenciannya terhadap Sang Buddha muncul kembali. Lalu ia menyogok dan menghasut orang-orang untuk menghina Sang Buddha dan untuk mengusir Beliau. Ananda, yang sedang bersama Sang Buddha, tidak ingin berdiam di sana dan menerima hinaan-hinaan tersbut, tetapi Sang Buddha menasihatinya untuk mempraktikkan toleransi dan kesabaran. Sang Buddha berkata, “Seperti seekor gajah di medan perang yang sanggup menahan anak-anak panah yang dilepaskan dari busurnya, demikian juga Tathagata akan menahan cercaan dari orang-orang yang tak beragama”. Sang Buddha berkata bahwa kata-kata yang menyakitkan tersebut tak akan bertahan lama, karena adanya kekuatan kesempurnaan yang dimiliki oleh Sang Buddha. Mereka akhirnya tetap tinggal di Udena, dan semua cercaan tersebut berhenti dalam waktu yang singkat.  

BIMBISARA

      Raja Pertama Penyokong Sang Buddha
          Raja Bimbisara sejak dulu telah menawarkan setengah dari kerajaannya kepada Pertapa Gotama, saat Pertapa Gotama pergi melepaskan keduniawiannya karena Beliau ingin mencari Pencerahan. Raja Bimbisara meminta Beliau agar berkenan kembali ke Rajagaha untuk mengajarinya Dhamma begitu Sang Pertapa telah mendapatkan apa yang Ia cari. Ketika Pertapa Gotama telah menjadi Buddha, Seorang yang Telah Mencapai Pencerahan, Beliau tidak melupakan janjiNya untuk kembali. Dengan diikuti oleh sejumlah besar muridNya, Beliau memutuskan untuk mengunjungi Rajagaha. Ketenaran Beliau sebagai guru spiritual telah menyebar di kota itu dan hal itu akhirnya didengar oleh raja Bimbisara.     Demi mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba di gerbang kota, Raja dengan sejumlah besar pengawalnya pergi untuk menyambut Sang Buddha dan para muridNya. Ia mendekati Sang Buddha dan memberikan salam hormatnya, tetapi para pengawal raja tidak tahu kepada siapa mereka harus memberi hormat : kepada Sang Buddha atau kepada Yang Mulia Kassapa. Mereka ragu apakah Sang Buddha yang menjalani kehidupan suci di bawah bimbingan Yang Mulia Kassapa ataukah sebaliknya, karena mereka berdua sama-sama merupakan guru-guru spiritual yang amat disegani.     Sang Buddha membaca pikiran mereka dan bertanya kepada yang Mulia Kassapa mengapa ia meninggalkan cara-cara pemujaan-apinya. Mengerti maksud di balik pertanyaan tersebut, Yang Mulia Kassapa menerangkan bahwa ia lebih senang pada keadaaan damai Nibbana daripada kesenangan-kesenangan inderawi. Seelah itu ia menjatuhkan dirinya di kaki Sang Buddha dan berkata, “Guruku, Sang Buddha, adalah Sang Bhagava saya adalah murid Beliau.”.     Orang-orang yang mempunyai keyakinan merasa sangat gembira mendengar percakapan bersebut. Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhamma, dan raja Bimbisara mencapai tingkat kesucian pertama. Setelah menembus ajaran tersebut, raja  Bimbisara mengatakan kepada Sang Buddha, “Dulu, O Sang Bhagava, ketika saya masih sebagai seorang pangeran, say mempunyai lima harapan. Kelima harapan tersebut kini telah terpenuhi. harapan saya yang pertama adalah menjadi Raja. Harapan yang kedua adalah bahwa Samma Sambuddha mau mengunjungi kerajaanku. harapan yang ketiga adalah bahwa saya akan menjadi pengikut dari Samma Sambuddha tersebut. Harapan yang keempat adalah bahwa Beliau berkenan membabarkan Dhamma kepada saya. Harapan yang kelima adalah bahwa saya dapat mengerti ajaran/Dhamma tersebut. Kini kelima harapanku itu telah terpenuhi”.     Karena merasa amat berterima kasih atas hadiah Dhamma dari Sang Buddha ini,  raja Bimbisara mempersembahkan sebuah taman dengan hutan bambu yang tenang kepada Sang Buddha dan para muridNya untuk dipergunakan. Taman ini kemudian diberi nama Hutan Bambu. Sang Buddha menghabiskan tiga masa vassa berturut-turut di sana dan tiga masa vassa lainnya kemudian.     Setelah mendengarkan dhamma, raja Bimbisara menjadi penguasa yang baik dan setia pada agama. Tetapi karena disebabkan oleh karma buruknya yang lampau ia harus menghadapi kematian yang tidak pada waktunya serta menyengsarakan yang disebabkan oleh kekejaman putranya sendiri.

AMBAPALI

    Wanita Tunasusila yang Kemudian Menjadi Seorang Arahat
        Orang-orang dari semua kasta, yang tinggi dan rendah, kaum wanita maupun kaum pria, semuanya mencari ajaran-ajaran dari Sang Buddha, dan Beliau dengan senang hati mencari ajaran-ajaran dari Sang Buddha, dan Beliau dengan senang hati menerima mereka. Bagi Beliau, tidak ada perbedaan kasta di dalam darah dan airmata. Ketika Sang Buddha dan murid-muridNya berdiam di Vesali, seorang wanita bernama Ambapali menawarkan Beliau untuk menggunakan Kebun Mangga miliknya yang berada di luar kota sehingga Beliau dapat beristirahat di keteduhan pohon-pohon mangga tersebut.     Ambapali adalah seorang wanita yang sangat cantik, bagaikan matahari keemasan yang muncul dari laut, tetapi mempunyai sifat yang tak bermoral (tunasusila). Dia tidak berniat untuk mengunjungi Sang Buddha, tetapi pelayannya memberitahukan, “Nyonya, kemarin semua orang terhormat dan orang biasa, pergi berjalan menuju ke Kebun Mangga. Ketika saya bertanya mengapa mereka pergi ke sana, mereka mengatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh adanya seseorang yang sedang beristirahat di sana. Tak ada orang yang seperti Beliau. Beliau adalah seorang putera raja, yang telah meninggalkan kerajaannya, dan kini telah menemukan Kebenaran (Dhamma)”.     Ambapali yang selalu siap untuk mencari sesuatu yang baru, segera bangkit, mengambil keretanya dan mengendarainya menuju ke Kebun Mangga dnegan perasaan bangga. Ketika tiba di pintu gerbang, dia turun dari keretanya dan berjalan melewati pohon-pohon kelapa dan mangga. Suasana di sana sangat sunyi dan tenang, bahkan daun-daun pun tidak bergerak. Di bawah bayangan pohon-pohon yang teduh, Sang Buddha duduk dengan tangan dan kaki yang dilipat dan di belakang kepala Beliau bersinar sebentuk aura seperti bulan purnama di tengah malam.     Ambapali berdiri di sana dengan tercengang, melupakan kecantikannya, melupakan dirinya, melupakan segalanya, kecuali hanya Sang Tercerah, Sang Buddha. Hatinya luluh dan hanyut dalam deraian air mata. Dengan perlahan-lahan, dia mendekati Sang Buddha serta menjatuhkan dirinya di kaki Beliau dan bernamaskara dengan wajah menyentuh tanah.     Sang Buddha memintanya untuk bangun dan duduk, seta memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Dia mendengarkan kata-kata luar biasa ini dengan telinga yang mencernanya bagaikan bumi gersang yang amat merindukan turunnya hujan. Setelah dia menerima Dhamma tersebut, di berlutut di kaki Sang Buddha dan mengundang Beliau serta murid-muridNya untuk bersantap di rumahnya keesokan harinya. Sang Buddha menerima undangan tersebut.     Ketika itu pejabat kota Vesali juga pergi mengunjungi Sang Buddha. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Ambapali, yang mengatakan kepada mereka bahwa Sang Buddha telah menerima undangan untuk bersantap di rumahnya keesokan hari.     Mereka berkata padanya, “Juallah kepada kami kehormatan dari persetujuan Sang Buddha itu dengan sejumlah emas”.     Ambapali yang diliputi oleh kegembiraan, berkata, “Tuan-tuan, bahkan jika seandainya anda memberikan kota Vesali beserta semua  isinya, saya tetap tidak akan menyerahkan kesempatan berharga dalam mengundang Beliau bersantap”.     Dengan marah, para pejabat ini pergi kepada Sang Buddha dan memohon untuk dapat mengundang Beliau bersantap, tetapi Sang Buddha memberitahukan mereka bahwa Ia sebelumnya telah menerima undangan dari Ambapati.     Keesokan harinya, Ambapali menyiapkan nasi susu yang manis dan kue-kue di hadapan Sang Buddha dan para muridNya, dan Ambapali sendiri yang melayani mereka dengan penuh kerendahan hati. Setelah Sang Buddha selesai makan, Ambapali duduk di satu sisi, dengan tangan beranjali, berkata, “Yang Mulia, saya menyerahkan Kebun ini kepada Sangha. Terimalah persembahan ini,k jika Yang Mulia bersedia”.     Sang Buddha menerima pemberian tersebut karena melihat kesungguhan hatinya. Beliau kemudian menyenangkan dia dengan memberi wejangan Dhamma. Ini merupakan titik balik bagi cara hidup Ambapali : dia mengerti Dhamma dan menjadi wanita yang bajik/bermoral.     Beberapa waktu kemudian, Ambapali memasuki Persaudaraan para Bhikkhuni dan dengan kebijaksanaan hati yang senantiasa dikembangkan dan dimantapkan, dia menjadi seorang Arahat. Sama seperti bunga teratai yang tidak tumbuh pada tanah yang kering, tetapi berkembang dari lumpur yang kotar dan gelap, demikian pula Ambapali, meskipun masa lalunya gelap/tak bermoral, di berjuang untuk mencapai keluhuran pengembangan spiritual.     Setelah kejadian ini, Sang Buddha dan murid-muridNya pindah ke sebuah desa kecil terdekat yang bernama Beluva. Karena musim hujan hampir tiba, Sang Buddha memutuskan untuk melewati musim hujan (masa vassa) terakhir di desa ini.  

ALAVAKA

    Si Raksasa Makhluk Pemakan Daging Manusia yang Menjadi Sadar
        Alavaka, yang tinggal di dekat kota Alavi, adalah pemakan daging manusia. Karena begitu galak, berkuasa, dan liciknya maka ia dikenal sebagai “si Raksasa”. Suatu hari, raja negeri Alavi pergi berburu rusa di hutan dan ia ditangkap oleh Alavaka. Sang Raja memohon agar ia dilepaskan, tetapi sebagai ganti dari kebebasannya itu ia harus mengirim satu orang setiap hari ke hutan sebagai persembahan untuk Alavaka. Setiap hari seorang tahanan dikirim ke dalam hutan dengan membawa sepiring nasi. Dikatakan bahwa untuk mendapatkan kebebasannya, tahanan itu harus pergi ke pohon tertentu, menaruh nasi di sana dan kemudian dia dapat bebas. Pada mulanya banyak tahanan yang dengan sukarela melaksanakan tugas yang ‘sederhana’ itu. Tetapi setelah waktu berlalu dan tak seorang pun yang kembali untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepada tahanan lainnya, para tahanan harus dipaksa setiap hari untuk pergi ke hutan.     Segera saja penjara menjadi kosong. Bagaimana sekarang cara raja memenuhi janjinya untuk mengirimkan seorang manusia setiap hari untuk santapan raksasa tersebut? Para menteri mengusulkan kepada raja agar meletakkan bungkusan-bungkusan berisi emas di jalanan. Mereka yang ditemukan mengambil bungkusan tersbut akan ditangkap pencuri dan dikirim kepada Alavaka. Lama-kelamaan, tak seorang pun berani mengambil bungkusan-bungkusan itu. Akhirnya usaha terakhirnya dalah raja mulai menangkap anak-anak untuk dijadikan persembahan. Permasalahan yang menakutkan ini menyebabkan kota tersebut menjadi sepi. Akhirnya hanya tinggal satu orang anak laki-laki dan ia adalah putra Sang Raja. Dengan berat hati, sang Raja memerintahkan agar sang Pangeran dikirim ke Alavaka keesokan paginya.     Hari itu, Sang Buddha kebetulan berada di dekat kota itu. Ketika Beliau memantau dunia ini dengan mata batinNya pagi itu, Beliau melihat apa yang sedang terjadi. Karena rasa belas kasihNya kepada sang Raja, sang Pangeran, dan Alavaka, Sang Buddha seharian melakukan perjalanan pergi ke goa tempat raksasa tersebut dan pada malam harinya Beliau tiba di pintu gerbang goa tersebut. Si Raksasa sedang pergi ke gunung, dan Sang Buddha menanyakan penjaga gerbang apakah Beliau dapat bermalam di goa itu. Ketika penjaga gerbang pergi untuk memberitahukan tuannya tentang permintaan ini, Sang Buddha masuk ke dalam goa, duduk di tempat duduk si Raksasa dan membabarkan Dhamma kepada para istri raksasa tersebut.     Ketika si Raksasa mendengar apa yang telah terjadi dari pembantunya, dia segera pulang ke rumah dengan sangat marah. Dengan kekuatan maha dasyatnya, dia menciptakan badai yang hebat dengan goncangan dan petir di hutan itu disertai guntur, kilat, angin, dan hujan. Tetapi Sang Buddha tidak takut. Alavaka kemudian menyerang Sang Buddha dengan melempar tombaknya menghantam Sang Buddha, tetapi sebelum senjata itu dapat menyentuh Beliau, tombak-tombak itu jatuh di dekat kaki Sang Buddha. Karena tidak dapat menakut-nakuti Sang Buddha, Alavaka bertanya :  “Benarkah tindakan Anda, seorang manusia suci, masuk dan duduk di antara para istri pemilik rumah ketika pemiliknya sedang tidak di tempat?” Sang Buddha lalu bangkit dan akan meninggalkan goa itu.     Alavaka berpikir, “Betapa bodohnya saya membuang-buang tenaga dengan mencoba menakut-nakuti pertapa ini”. Karena itu dia meminta Sang Buddha masuk ke dalam goa lagi. Si Raksasa memerintahkan Sang Buddha tiga kali untuk keluar dari goa dan tiga kali untuk masuk ke dalam goa dengan harapan di dapat membunuh Sang Buddha untuk meninggalkan goa tersebut untuk keempat kalinya, Sang Buddha menolak melakukannya dan berkata : “Saya tidak akan mematuhi perintahmu, Alavaka. Lakukan apa saja yang dapat kamu lakukan tapi Saya akan tetap tinggal di sini”.     Karena tidak sanggup memaksa Sang Buddha melakukan apa yang diinginkan, Alavaka mengubah taktiknya dan berkata, “Saya akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Jika engkau tidak dapat menjawabnya saya akan mengoyak jantungmu, membunuhmu, dan melemparkanmu ke seberang sungai”. Sang Buddha berkata kepadanya dengan tenang, “Tak ada seseorang pun, Alavaka, apakah ia seorang manusia atau dewa, pertapa, brahma atau brahmana, yang dapat melakukan hal itu terhadapKu. Tetapi jika engkau ingin menanyakan sesuatu, silakan lakukan”.     Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan yang dia pelajari dari orang tuanya yang juga mendapatkannya secara turun-temurun. Dia telah lupa pada jawabannya, tetapi dia harus melestarikan jawaban-jawaban tersebut dengan menuliskannya di atas daun emas.     Pertanyaan tersebut adalah :  “Apakah kekayaan terbesar bagi seorang manusia?" "Apakah yang dapat memberikan kebahagiaan tertinggi ketika seseorang menguasainya dengan baik?" "Apakah rasa termanis dari semua rasa?" "Jalan kehidupan mana yang terbaik?"     Sang Buddha menjawab :  “Kekayaan terbesar bagi seorang manusia adalah keyakinan. Doktrin/ajaran yang benar bila dikuasai dengan baik akan memberikan kebahagiaan tertinggi. Rasa yang paling manis adalah rasa kebenaran. Hidup yang bijaksana adalah cara hidup yang sepatutnya”.     Alavaka  menanyakan beberapa pertanyaan lagi yang semuanya dijawab oleh Sang Buddha. Pertanyaan yang terakhir adalah :  “Ketika meninggalkan dunia ini untuk menuju ke dunia/alam berikutnya, bagaimana agar seseorang itu tidak bersedih?”     Jawaban Sang Buddha adalah :  “Ia yang memiliki empat kebajikan ini - kebenaran, moral yang baik, keberanian, dan kemurahan hat maka kesedihan tidak akan ada ketika ia harus meninggal dunia”.  Karena mengerti arti dari kata-kata Sang Buddha, Alavaka berkata, “Sekarang saya tahu apa rahasia dari kesejahteraan masa depanku. Adalah demi kesejahteraan dan kebaikan diriku, Sang Buddha datang ke Alavi”, Alavaka bersujud kepada Sang Buddha dan memohon agar ia diterima sebagai murid.     Keesokan paginya ketika para petugas kerajaan Alavi datang bersama dengan putra raja, mereka terpana melihat pemandangan di mana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada Alavaka yang mendengarkan khotbah itu dengan penuh perhatian. Ketika anak itu dituntun ke arah Alavaka, Alavaka merasa malu pada dirinya sendiri untuk menerima anak itu sebagai persembahan raja. Dan sebaliknya dia membelai kepala anak itu, menciumnya dan menuntunnya kembali kepada para petugas. Setelah itu Sang Buddha memberkati anak itu dan Alavaka.  Tentu saja, perubahan dari Alavaka sang pemakan daging manusia, menunjukkan bagaimana Sang Buddha, dengan kebijaksanaan dan welas asihNya yang besar, dapat menjinakkan makhluk yang ganas serta mengubahnya menjadi murid yang lembut.  

Tambadathika


(Seorang penjagal istana)
 
      Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh tahun dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelag mempersiapkan bubur nasi dirumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai.Pada waktu tambadathika mengambil bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhanna Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat tambadathika melihat Sariputta Thera, tambadathika berpikir, “Meskipun salah hidupku saya telah menghukum mati para pencuri. Sekarang saya harus mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu.” Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi tersebut. Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tetapi tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelias mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal. Ketika Sariputta Thera mengetahuihal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri ats kehendaknya atau ia  diperintahkan untuk melakukan hal itu. Tambadathika menjawb bahwa ia duperintahkan raja untuk membunuh mereka dan ia tidak berniat untuk membunuh. Kemudian Sariputta Thera bertanya, “Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak?” Tambaddathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah. Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai anulomaññana. Setelah kotbah Dhamma berakhir. Tabadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai  jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya. Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan yang menyamar sebagai sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikhhu memberitahu beliau perihal kematian tambadathika. Ketika ditanya kemana tambadathika dilahirkan kembali. Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarkannya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita. Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin sesorang yang melakukan perbuatan jahat sepeti itu dapat memperoleh pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar.” “Daripada seribu kata yang tak berari, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat membeerikan kedamaian kepada pendengarnya”
      (Dhammapada 100)

Sirima


(Kisah pelacur wanita yang sangat cantik)
 
      Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima Berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain batapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia  mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu.Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipin belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu. Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, “Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!”. Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat terhadapnya. Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan  memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivika, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenazah Sirima ke kuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan buruk hering. Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari keempat jenazah Sirima yang cantik sudah tidak cantik dan menarik. Jenazah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari enam lubang. Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi kekuburan untuk melihat jenazah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima. Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia Sirima. Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenazah Sirima, maka ia pun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenazah Sirima. Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yng menginginkan tubuh Sirima satu malam boleh membayar 1.000 tail, akan tetapi tak seorang pun yang bersedia mengambilnya dengan membayar seharga 1.000 tail kemudian tawaran diturunkan menjadi 500, 250, 100 , 25 atau dengan cuma-cuam. Kemudian Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar seribu tail untuk menghabiskan satu malam bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin mengambil tubuhnya walau dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subjek dari kelapukan dan kehancuran.” Bhikkhu muda itu kemudian mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah kotbah dhamma itu berakhir. Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka terdiri dari rangkaian tulang, berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan. Ia tidak kekal serta tidak tetap adanya.
      (Dhammapada 147)

Kosiya


(Orang Kaya yang kikir)
 
      Di desa sakkara, dekat Rajagaha, tinggalah orang yang sangat kaya tetapi kikir, bernama Kosiya. Ia tidak suka memberikan sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari, untuk menghindari membagi miliknya dengan orang lin, orang kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian paling atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.Suatu pagi, Sang Buddha dengan pengelihatan supranaturalnya, melihat orang kaya tersebut dan istrinya. Beliayu mengetahui bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti. Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut, dengan pentunjuk untuk membawa mereka ke vihsra Jetavana pada saat makan siang. Murid Utama, Maha Moggallana, dengan kekuatan bathin luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan beridiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya: “Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut.” Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan meletakannya di panggangan roti, dan roti tersebut mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa istrinya pasti telah menaruh adonan terlalu banyak, maka ia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat besar. Hal ini terulang terus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil. Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanaksn satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggallana. Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari keranjang, roti tersebut tidak dapat dikeluarkan karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan kotbah tentang kemurahan hati kepada orang kaya kikir berserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka dengan lima ratus bhikkhu di vihara Jetavana, di Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha. Maha Moggallana dengan kekuatan bathin luar biasanya, membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut, unutk menghadap Sang Buddha. Disana dia mendanakan roti tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai makan siang, Sang Buddha menyampaikan kotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Keesokan sorenya, ketika para bhikkhu sedang bercakap-cakap dan memuji Maha Moggallana, Sang Buddha menghampiri mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seharusnya kamu juga berdiam dan berkelaluan di desa seperti Maha Moggallana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka atau kesejahteraan mereka” "Bagaikan seeokor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya: demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” 
      (Dhammapada 49)

Kisah Seekor Induk babi muda



      Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda. Sang Buddha menjawab, “Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan kotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.

      Suatu ketika, saat putri pergi ke kakus, sang putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai seekor babi betina. Ananda! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan.
      Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
      Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.
      Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan di dalam diri seseorang mengalir deras menuju obyek-obyek yang menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan menyeret orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.
      Di mana-mana mengalir arus (nafsu-nafsu keinginan); di mana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat. Apabila engkau melihat tanaman menjalar (nafsu keinginan) tumbuh tinggi, maka harus kau potong akar-akarnya dengan pisau (kebijaksanaan).
      Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar obyek-obyek indria, dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria. Karena cenderung pada hal-hal yang menyenangkan dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan indria, maka mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.
      Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.
      Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena itu, seeorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan didri, hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.   

Kisah Deva Ankura



      Sang Buddha mengunjungi alam dewa Tavatimsa untuk membabarkan AbhiDhamma kepada Dewa Santusuita, yang sebelumnya adalah ibu kandung Beliau. Selama masa itu terdapat dewa yang bernama Indaka di alam deva Tavatimsa. Indaka, dalam kehidupannya yang lampau adalah seorang pria, yang telah mempersembahkan sedikut dana makanan pada Anuraddha Thera. Karena perbuatan baik ini dilakukan kepada seorang Thera dalam masa keberadaan ajaran Buddha maka ia mendapat pahala berlipat ganda. Kemudian, setelah kematian, ia dilahirkan kembali dalam alam Tavatimsa dan menikmati kemewahan alam dewa. Pada saat itu, terdapat dewa lain yang bernama Ankura di alam dewa Tavatimsa yang telah banyak memberikan dana; jauh lebih banyak daripada apa yang telah Indaka berikan. Tetapi dana itu dilakukan di luar masa keberadaan ajaran Buddha. Sehingga meskipun dananya besar dan banyak, ia menikmati pahala kehidupan dewa dalam ukuran yang lebih kecil daripada Indaka, yang telah mempersembahkan sangat sedikit dana.Ketika Sang Buddha berada di Tavatimsa, Ankura bertanya kepada Beliau alasan ketidak-sesuaian perolehan pahala itu. Kepadanya Sang Buddha menjawab, “O dewa! Ketika memberikan dana kamu seharusnya memilih kepada siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya menamam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menerbarkan bibitmu ditanah yang tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit.” Rumput liar merupakan  bencana bagi sawah dan ladang; nafsu indria merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu indria akan menghasilkan pahala yang besar. Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; kebencian merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian akan menghasilkan pahala yang besar. Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; ketidaktahuan merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas  dari ketidaktahuan akan menghasilkan pahala yang besar. Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; nafsu keinginan merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu keinginan akan menghasilkan pahala yang besar.            

Kisagotami Theri


(Sang Buddhamenghidupkan orang mati)
 
      Kisagotami adalah putri seorang  kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia memiliki tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Suatu hari anak laki tersebut baru saja belajar berjalan dihalaman rumahnya, tiba-tiba terdengar suara jeritan anak kecil, Kisagotami berlari mendekati anaknya dan disekitar tubuh anaknya itu terdapat seekor ular hitam kecil yang telah mengigit urat nadi anaknya tersebut, dan anak laki-laki itu meninggal dunia seketika itu juga. Kisagotami merasa sangat sedih, dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan anaknya kembali dari setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang mulai berpikir bahwa dia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya, “Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!” Kemudian Kisagotami pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya.Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segengam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Lalu berangkatlah Kisagotami dengan hati yang gembira dengan membawa anaknya yang telah meninggal itu didadanya. Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada. Setiap orang yang ditemuinya dengan suka rela memberikan kepadanya segengam biji lada tetapi ketika Kisagotami menanyakan apakah mereka pernah mengalami kematian pada sanak keluarganya, mereka semua mengatakan pernah ada kematian pada sanak keluarga mereka. Ada yang mengatakan bahwa anaknya baru seminggu meninggal dunia, ayahnya atau suaminya baru meninggal sebulan yang lalu. Jawaban itu sungguh sangat mengecewakan hati Kisagotami, kemudian dia pulang kembali menuju vihara dimana Sang Buddha berada. Lalu tiba-tiba Kisagotami menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang yang meninggal dunia dari pada yang hidup. Tak lama setelah mendari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia itu berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anak yang sangat dicintainya itu. Kisagotami lalu meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ita tidak dapat meneukan tumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua mahluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya” mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidak kekalan, ketidak puasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khanda) dan saat itu juga dia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Tak lama kemudian Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni.pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul tenggelamnya kehidupan mahluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasanya, melihat dari vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan mahluk dan berjuang keras untuk merealisasikan nibbana. Lalu Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah kotbah Dhamma dari Sang Buddhaitu berakhir. Walaupun seorang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian (nibbana),sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari pada orang dapat melihat kehidupan tanpa kematian”

Culekasataka

    (Jangan menunda perbuatan baik) 
    Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi bila si istri pergi mendengarkan kotbah Sang Buddha pada siang hari maka si suami pergi pada malam hari.Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan kotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi kegirangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang. Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga brahmana berkapa kepada dirinya sendiri, “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghidari terlahir ke empat alam rendah (apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha.” Setelah berkata begitu, dia meletakan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan berteriak, “saya menang!, saya menang!, saya menang!” Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada di antara para pendengar kotbah. Mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tesebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan. Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha. Dia mendapat hadiah lagi dari raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah keempat potong lagi. Jadi dia memberikan kepada Sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipatgandakan hariahnya. Akhirnya hadiah meninggkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha. Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang mahal. Dan memberikannya kepada brahmana. Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di dumah brahmana. Ketika raja pergi berkunjung ke vihara jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laik-laki, empat orang pesuruh lakuk-laki, empat desa dan empat ribu uang tunai. Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada Sang Buddha, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?” Sang Buddha menjawab, “Jika brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadian enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang. Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik”. Bergegaslah berbuat kebajikan dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan; barang siapa lamban berbuat bajik, maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
    (Dhammapada 116)

Culapanthaka

    Bendahara kerajaan di Rajagaha mempunyai dua orang cucu laki-laki bernama Mahapanthaka dan Culapanthaka. Mahapanthaka, yang tertua, selalu menemui kakeknya mendengarkan kotbah Dhamma. Kemudian Mahapanthaka bergabung menjadi murid Sang Buddha.Culapanthaka mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi karena pada penghidupan yang lampau pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Culapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka ia dilakhirkan sebagai orang dungu pada kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat meskipun hanya satu syair dalam empat bulan. Mahapanthaka sangant kecewa dengan adiknya dan mengatakan bahwa adiknya tidak berguna. Suatu waktu, Jivika datang ke vihara mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu yang ada, untuk berkunjung makan siang di rumahnya. Mahapanthaka, yang diberi tugas untuk memberitahu pada bhikkhu tentang undangan makan siang tersebut, mencoret Culapanthaka dari daftar undangan. Ketika Culapanthaka mengetahui hal itu dia merasa sangat kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai orang perumah tangga. Mengetahui keinginan tersebut, Sang Buddha membawanya dan menyuruhnya duduk di depan gandhakuti, kemudian Beliau memberikan selembar kain bersih kepada Culapanthaka dan menyuruhnya untuk duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain itu. Pada waktu bersamaan dua harus mengulang kata “Rojaharanam” yang artinya “kotor”. Sang Buddha kemudian pergi ke tempat kediaman Jivika, menemui para bhikkhu. Culapanthaka mulai menggosok-gosok selembar kain tersebut, sambil mengucapkan “Rajoharanam”. Berulang kali kain itu digosok dan berulang kali pula kata-kata rojaharanam meluncur dari mulutnya. Berulang dan berulang kali. Karena terus digosok, kain tersebut menjadi kotor. Melihat perubahan yang terjadi pada kain tersebut, Culapanthaka tercenung. Ia segera menyadari ketidak kekalan segala sesuatu yang berkondisi. Dari rumaha Jivika, Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya mengetahui kemajuan Culapanthaka. Beliau dengan kekuatan supranatualnya menemui Culapanthaka, sehingga seolah-olah Beliau tampak duduk di depan Culapanthaka, dan berkata: “Tidak hanya selembar kain yang dikotori oleh debu; dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga, debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal tersebut seseorang dapat mencapai tujuannya dengan mencapai arahat” Culapanthaka mendengarkan pesan terseubut dan meneruskan bermeditasi. Dalam waktu yang singkat mata bathinnya terbuka dan ia mencapai tingkat kesucian arahat, bersamaan dengan memiliki ‘pandangan terang analitis’. Maka Culapanthaka tidak lagi menjadi orang dungu. Di rumah Jivika, para umat akan menuang air sebagai telah melakukan perbuatan dana; tetapi Sang Buddha menutup mangkoknya dengan tangan dan berkata bahwa masih ada bhikkhu yang ada di vihara. Semuanya mengatakan bahwa tidak ada bhikkhu yang tertinggal. Sang Buddha menjawab bahwa masih ada satu orang bhikkhu yang ertinggal dan memerintahkan untuk menjemput Culapanthaka di vihara. Ketika pembawa pesan dari rumah jivika tiba di vihara, dia menemukan tidak hanya satu orang, tetapu ada seribu orang bhikkhu yang serupa. Mereka semua diciptakan oleh Culapanthaka, yang sekarang telah memiliki kemampuan bathin. Utusan tersebut kagun dan dia pulang kembali dan melaporkan hal ini kepada jivika. Utusan itu kembali ke vihara untuk kedua kalinya dan dipertintahkan untuk mengatakan bahwa Sang Buddha mengundang bhikkhu yang bernama Culapanthaka. Tetapi ketika dia menyampaikan pesan tersebut, seribu suara menjawab, “saya adalah culapanthaka” dengan binggung, dia kembali ke rumah jivika untuk kedua kalinya. Untuk ketigakalinya dia disuruh kembali ke vihara. Kali ini, dia diperintahkan untuk menarik bhikkhu yang dilihatnya pertama kali mengatakan bahwa dia adalah Culapanthaka. Dengan cepat dia memegangnya dan semua bhikkhu yang lain menghilang, dan Culapanthaka menemani utusan tersebut ke rumah Jivika. Setelah makan siang, seperti yang diperintahkan oleh Sang Buddha, Culapanthaka menyampaikan kotbah dhamma, kotbah tentang keyakinan dan keberanian, mengaum bagaikan rauangan seekor singa muda. Ketika masalah Culapanthaka dibicarakan di antara para bhikkhu, Sang Buddha berkata bhwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya akan mencapai tingkat kesucian arahat. “Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bari dirinya sendiri yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir “.

SANG BUDDHA DAN PETANI KASIBHARADVAJA

      Suatu ketika, Sang Buddha berada di desa Ekanala, Magadha. Musim hujan telah tiba dan saat itu adalah saat menebar benih (padi). Pagi-pagi sekali di saat dedaunan masih basah oleh embun, Sang Buddha pergi ke sawah di mana Kasibharadvaja, seorang Brhamana yang petani, memiliki 500 bajak yang sedang dikerjakan. Ketika Sang Bhagava tiba, adalah saat Brahmana tersebut membagikan makanan kepada para pekerjanya. Sang Buddha menunggu di sanan untuk melakukan pindapata. Tetapi ketika Brahmana itu melihat Sang Buddha, ia mengejek dan berkata :  “Saya  membajak dan menanam benih, dan setelah membajak dan menanam benih, saya makan. O Pertapa, Engkau juga harus membajak dan menanam, dan setelah membajak dan menanam, baru Engkau bisa makan”.  “O Brahmana, Tathagata juga membajak dan menanam. Dan setelah membajak dan menanam, Tathagata makan”, jawab Sang Buddha.  Dengan bingung Brahmana bertanya, “Engkau mengatakan bahwa Engkau membajak dan menanam, tapi saya tidak melihat Engkau membajak?”.  Sang Buddha menjawab :  “Tathagata menanam keyakinan sebagai benih-benihnya. Aturan disiplinKu adalah sebagai hujannya. KebijaksanaanKu adalah kuk dan bajaknya. KesederhanaanKu adalah kepala-bajaknya. PikiranKu adalah talinya, Kesadaran (sati)-Ku dalah mata bajak dan tongkatnya”.  “Tathagata terkendali di dalam perbuatan, ucapan dan makanan. Tathagata melakukan penyiangan dengan kebenaran. Kebahagiaan yang Tathagata dapatkan adalah kebebasan dari penderitaan. Dengan tekun Tathagata memikul kuk/gandar hingga mencapai Nibbana. Dengan demikian Tathagata telah melaksanakan pekerjaan membajak. Ini menghasilkan buah Keabadian. Dengan pembajakan seperti ini, seseorang terbebas dari semua penderitaan”.    Setelah penjelasan ini, Brahmana tersebut menyadari kesalahannya, dan berkata, “Sudilah Yang Mulia Gotama makan nasi-susu ini. Yang mulia Gotama adalah seorang petani karena panennya menghasilkan buah Tanpa-kematian!” Setelah berkata demikian, Brahmana mengisi satu mangkuk besar dengan nasi-susu dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha menolak makanan tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menerima makanan sebagai balasan/pembayaran dari pembabaran DhammaNya.     Brahmana berlutut di kaki Sang Buddha dan memohon agar ditahbiskan menjadi anggota Persaudaraan para Bhikku. Tak berapa lama setelah itu, Kasibharadvaja menjadi Arahat.

SIKAP SANG BUDDHA TERHADAP KEKUATAN GAIB

    Suatu saat, ketika Sang Buddha tinggal di Nalanda di Hutan Pavarika, seorang umat yang bernama Kevaddha datang kepada Beliau, memberi hormat dan berkata, “Yang Mulia, Nalanda adalah sebuah kota yang berhasil, Masyarakat yang tinggal di Nalanda hidupnya makmur, dan mereka mempunyai keyakinan terhadap Sang Bhagava. Yang Mulia, akan lebih baik jika Sang Bhagava menunjuk seorang bhikkhu untuk memperagakan satu keajaiban dari kekuatan supernormal, sehingga orang-orang Nalanda akan menjadi lebih yakin kepada Sang Bhagava”.     Sang Buddha menjawab, “Kevaddha, Tathagata tidak mengajarkan Doktrin kepada para bhikkhu dalam cara itu”. Sang Buddha memberikan jawaban yang sama ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Beliau untuk kedua dan ketiga kalinya. Setelah ketiga kalinya, Sang Buddha menjawab bahwa ada 3 macam keajaiban supernormal : 1. Keajaiban dari kekuatan supernormal untuk tampak menjadi banyak menembus     dinding, terbang di udara, menyelam ke dalam tanah, berjalan di atas air. Semua itu     adalah perbuatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa. 2. Kekuatan supernormal untuk membaca pikiran orang lain. 3. Kekuatan supernormal untuk mampu membimbing orang-orang sesuai dengan     tingkat batin mereka, demi kebaikan mereka sendiri, dengan menggunakan     cara-cara yang cocok untuk memperbaiki orang-orang tersebut.     Dua kekuatan supernormal yang pertama tersebut jika dipertunjukkan untuk mempengaruhi orang-orang demi kepentingan sendiri mereka sendiri, itu tidak berbeda dengan pertunjukkan seorang pesulap. Seorang bhikkhu yang mempraktekkan keajaiban duniawi semacam itu adalah sumber dari hal yang memalukan, kehinaan, dan menjijikan. Perbuatan-perbuatan tersebut mungkin dapat mempengaruhi dan memenangkan pengikut, tetapi hal-hal tersebut tidak membawa penerangan untuk membantu mereka menuju akhir dukkha.     Jenis ketiga dari kekuatan supernormal, meskipun ia bisa disebut suatu ‘keajaiban’, tetapi ia dapat menolong orang-orang untuk bebas dari penderitaan. Inilah satu-satunya kekuatan supernormal yang pantas dipraktekkan.     Satu-satunya keajaiban yang harus dipertunjukkan adalah sebagai berikut : bila engkau melihat seseorang yang penuh dengan nafsu, keinginan, dan keserakahan maka ajarlah dia untuk bebas dari nafsu, keinginan, dan keserakahan. Bila engkau melihat seseorang yang diperbudak oleh kebencian dan kemarahan, maka pakailah kekuatanmu untuk menolong dia mengendalikan kebencian dan kemarahannya. Bila engkau bertemu degnan orang yang bodoh dan tidak dapat melihat kealamiahan yang sebenarnya dari dunia (segala sesuatu di dunia adalah tidak kekal, mengecewakan, dan tanpa inti), maka gunakanlah kekuatanmu untuk menolong dia mengatasi kebodohannya. Ini adalah ‘keajaiban’ berharga yang dapat engkau pertunjukkan.     Nasihat kepada Kevaddha ini diperluas pula sampai kepada peraturan Vinaya yang melarang para bhikkhu untuk mempertunjukkan kekuatan-kekuatan gaib untuk mempengaruhi orang-orang dan memperoleh pengikut, tanpa membantu mereka mencapai pencerahan. Hal ini jelas pada kasus Pindola Bharadvaja.     Arahat Pindola Bharadvaja terkenal dengan kekuatan-kekuatan batinnya. Seorang kaya yang ingin agar bhikkhu ini membuktikan kekuatan batinnya, menaruh sebuah mangkuk indah di atas sebuah tempat yang tinggi dan menantang orang-orang suci untuk dpat menurunkan mangkuk itu. Jika ia dapat melakukannya, ia dapat memiliki mangkuk itu.     Pindola Bharadvaja melayang naik dan membawa turun mangkuk tersebut dengan mudah. Ini juga dilakukan untuk membuktikan kepada orang kaya tersebut bahwa terdapat orang-orang suci di dunia ini, sebuah fakta yang tidak dipercaya oleh orang kaya itu. Ketika Sang Buddha mengetahui kejadian ini, Beliau memanggil Pindola Bharadvaja untuk membawa mangkuk tersebut. Beliau menghancurkan mangkuk itu berkeping-keping di depan kumpulan para bhikkhu, dan berkata, “Tathagata tidak senang pada demonstrasi kekuatan gaibmu. Kamu tidak pernah boleh memamerkan kekuatanmu semata-mata untuk memukau orang-orang bodoh”.  

RAJA PASENADI KOSALA

    Raja Pendukung Sang Buddha
        Raja Pasenadi Kosala adalah raja negeri Kosala, yang terletak di sebelah utara negeri Magadha pimpinan raja Bimbisara. Ibu kota kerajaan Kosalah adalah Savatthi. Salah satu dari saudara  perempuannya adalah permaisuri raja Bimbisara, oleh karena itu ia adalah ipar dari raja Bimbisara.     Raja Pasenadi Kosala menjadi pengikut Sang Buddha pada masa sangat awal dari kepemimpinan Sang Buddha, dan tetap setia menjadi pendukung Sang Buddha hingga akhir hayatnya. Permaisurinya Mallika, adalah seorang ratu yang bijaksana dan religius, yang benar-benar mengetahui Dhamma dengan baik dan bertindak sesuai dengan tuntutan agamanya.     Pada waktu pertama kali Raja bertemu dengan Sang Buddha, ia bertanya, “Bagaimana bisa Guru Gotama menyatakan bahwa Dirinya telah mencapai Penerangan Sempurna” Sedangkan Guru Gotama masih muda, baik dalam usia maupun dalam kebhikkhuan”. Sang Buddha menjawab, “Raja yang agung, terdapat empat hal yang tidak boleh dianggap enteng dan dipandang rendah dikarenakan mereka masih muda. Mereka adalah seorang prajurit kerajaan, seekor ular, api, dan seorang bhikkhu (orang suci). Seorang prajurit muda yang dibuat marah sekali akan bisa dengan kejam melukai orang lain. Gigitan seekor ular meskipun itu ular kecil, bisa mematikan. Api yang kecil  bisa menajdi api yang amat besar yang dapat menghanguskan gedung-gedung dan hutan. Meskipun seorang bhikkhu muda, ia mungkin telah mencapai kesucian”. Mendengar hal ini raja Pasenadi Kosala mengerti bahwa Sang Buddha memang benar-benar seorang guru yang bijaksana, dan ia memutuskan untuk menjadi pengikutNya.     Raja Pasenadi suka pergi mengunjungi Sang Buddha untuk meminta nasihat. Meskipun sedang dalam tugas-tugas kerajaan, ia meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan Sang Buddha. Suatu hari ketika berbicara kepada Sang Buddha, ia menerima kabar bahwa istrinya, ratu Mallika, telah melahirkan seorang putri. Raja tidak gembira mendengar kabar  itu karena menginginkan seorang putra. Sang Buddha, tidak seperti guru-guru agama lainnya, berkata baik tentang wanita. Beliau berkata, “Sebagian wanita adalah lebih baik daripada pria, O Raja. Ada wanita-wanita yang bijaksana, baik, yang menghormati ibu mertuanya, seperti dewa, dan yang tulus dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Mereka suatu hari mungkin melahirkan anak laki-laki yang berani yang dapat memerintah kerajaan”.     Suatu ketika, raja datang dan mendengar bahwa Sang Buddha mengatakan, “Orang terkasih yang kita cintai akan mendatangkan duka cita dan ratapan, penderitaan, kesedihan, dan kepatahan hati”. Raja bertanya kepada ratu Mallika apakah ia setuju dengan perkataan Sang Buddha itu. Ratu mengatakan bahwa jika Sang Buddha telah mengatakan demikian, itu pastilah benar. Tetapi raja belum puas. “Bagaimana mungkin orang terkasih bisa mendatangkan penderitaan?” ragu sang Raja.     Ratu Mallika mendatangi seorang brahmana untuk meminta Sang Buddha menjelaskan hal ini. Setelah mendengar berbagai uraian untuk menjelaskan hal ini, Brahmana menceritakannya kepada ratu. Ratu kemudian bertanya kepada raja, “Yang Mulia, bagaimana pendapatmu, apakah putri Vajira, putrimu, sayang padamu?”  “Ya, Malika, dia sangat sayang padaku”, jawab raja.  “Jika ada kemalangan menimpa putri Vajira, akankah itu mendatangkan dukacita dan ratapan, penderitaan, kesedihan dan kepatahan hati?  “Ya”, jawab raja.  “Yang Mulia, berkenaan dengan inilah Sang Buddha mengatakan bahwa orang terkasih yang kita cintai, dapat mendatangkan dukacita dan ratapan, penderitaan, kesedihan dan kepatahan hati”.  “Mallika”, kata Raja, “Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan begitu jauh Sang Buddha dapat melihat melalui pengertianNya”.  Ketika raja Kosala kalah dari kemenakannya dan harus mundur ke ibukota Savatthi, Sang Buddha berkomentar kepada para muridNya bahwa bukan yang menang maupun yang kalah yang akan merasakan kedamaian :  “Kemenangan membiakkan kebencian  Yang kalah hidup dalam kesakitan  Kebahagiaan hidup yang damai diperoleh dari  Melepaskan kemenangan dan kekalahan”.     Dalam peperangan berikutnya, kedua raja bertempur dan raja Kosala tidak saja menang, tetapi ia juga berhasil menangkap rja Ajatasattu hidup-hidup bersama semua pasukan gajah, kereta, kuda, dan prajuritnya. Raja Kosala berpikir akan melepaskan keponakannya, tetapi tidak untuk kuda-kuda, gajah dan yang lain-lainnya. Ia menginginkan kepuasan dari menahan harta benda ini sebagfai hadiah bagi kemenangannya.     Mendengar hal ini, Sang Buddha mengatakan kepada para muridNya bahwa akan lebih bijaksana bagi raja Kosala untuk tidak menahan benda apapun bagi dirinya. Kebenaran dari pernyataan ini masih tetap diterapkan di dunia peperangan modern :  “Seseorang mungkin bisa merampas semuanya. Bilamana orang lain merampas balik, ia yang terampas akan merampas balik. Roda Perbuatan terus berputar dan membuat seseorang yang dirampas menjadi merampas”.     Raja Pasenadi Kosala bertarung dalam banyak peperangan dengan keponakannya yaitu raja Ajatasattu. Ia dikalahkan sekali dan di lain waktu ia menang.  Raja Pasenadi Kosala akhirnya wafat dalam usia 80 tahun ketika putranya memberontak terhadapnya.