Rabu, 21 Desember 2011
HARI TERAKHIR SANG BUDDHA
SUJATA
SUBHADDA
SONA
NYANYIAN KEMENANGAN SANG BUDDHA
MAGANDIYA
BIMBISARA
AMBAPALI
ALAVAKA
Tambadathika
- Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh tahun dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelag mempersiapkan bubur nasi dirumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai.Pada waktu tambadathika mengambil bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhanna Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat tambadathika melihat Sariputta Thera, tambadathika berpikir, “Meskipun salah hidupku saya telah menghukum mati para pencuri. Sekarang saya harus mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu.” Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi tersebut. Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tetapi tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelias mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal. Ketika Sariputta Thera mengetahuihal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri ats kehendaknya atau ia diperintahkan untuk melakukan hal itu. Tambadathika menjawb bahwa ia duperintahkan raja untuk membunuh mereka dan ia tidak berniat untuk membunuh. Kemudian Sariputta Thera bertanya, “Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak?” Tambaddathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah. Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai anulomaññana. Setelah kotbah Dhamma berakhir. Tabadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya. Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan yang menyamar sebagai sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikhhu memberitahu beliau perihal kematian tambadathika. Ketika ditanya kemana tambadathika dilahirkan kembali. Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarkannya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita. Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin sesorang yang melakukan perbuatan jahat sepeti itu dapat memperoleh pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar.” “Daripada seribu kata yang tak berari, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat membeerikan kedamaian kepada pendengarnya”
(Dhammapada 100)
Sirima
- Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima Berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain batapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu.Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipin belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu. Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, “Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!”. Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat terhadapnya. Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivika, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenazah Sirima ke kuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan buruk hering. Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari keempat jenazah Sirima yang cantik sudah tidak cantik dan menarik. Jenazah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari enam lubang. Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi kekuburan untuk melihat jenazah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima. Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia Sirima. Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenazah Sirima, maka ia pun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenazah Sirima. Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yng menginginkan tubuh Sirima satu malam boleh membayar 1.000 tail, akan tetapi tak seorang pun yang bersedia mengambilnya dengan membayar seharga 1.000 tail kemudian tawaran diturunkan menjadi 500, 250, 100 , 25 atau dengan cuma-cuam. Kemudian Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar seribu tail untuk menghabiskan satu malam bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin mengambil tubuhnya walau dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subjek dari kelapukan dan kehancuran.” Bhikkhu muda itu kemudian mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah kotbah dhamma itu berakhir. Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka terdiri dari rangkaian tulang, berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan. Ia tidak kekal serta tidak tetap adanya.
(Dhammapada 147)
Kosiya
- Di desa sakkara, dekat Rajagaha, tinggalah orang yang sangat kaya tetapi kikir, bernama Kosiya. Ia tidak suka memberikan sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari, untuk menghindari membagi miliknya dengan orang lin, orang kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian paling atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.Suatu pagi, Sang Buddha dengan pengelihatan supranaturalnya, melihat orang kaya tersebut dan istrinya. Beliayu mengetahui bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti. Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut, dengan pentunjuk untuk membawa mereka ke vihsra Jetavana pada saat makan siang. Murid Utama, Maha Moggallana, dengan kekuatan bathin luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan beridiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya: “Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut.” Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan meletakannya di panggangan roti, dan roti tersebut mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa istrinya pasti telah menaruh adonan terlalu banyak, maka ia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat besar. Hal ini terulang terus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil. Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanaksn satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggallana. Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari keranjang, roti tersebut tidak dapat dikeluarkan karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan kotbah tentang kemurahan hati kepada orang kaya kikir berserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka dengan lima ratus bhikkhu di vihara Jetavana, di Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha. Maha Moggallana dengan kekuatan bathin luar biasanya, membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut, unutk menghadap Sang Buddha. Disana dia mendanakan roti tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai makan siang, Sang Buddha menyampaikan kotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Keesokan sorenya, ketika para bhikkhu sedang bercakap-cakap dan memuji Maha Moggallana, Sang Buddha menghampiri mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seharusnya kamu juga berdiam dan berkelaluan di desa seperti Maha Moggallana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka atau kesejahteraan mereka” "Bagaikan seeokor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya: demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa”
(Dhammapada 49)
Kisah Seekor Induk babi muda
- Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda. Sang Buddha menjawab, “Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan kotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.
- Suatu ketika, saat putri pergi ke kakus, sang putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai seekor babi betina. Ananda! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.
Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan di dalam diri seseorang mengalir deras menuju obyek-obyek yang menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan menyeret orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.
Di mana-mana mengalir arus (nafsu-nafsu keinginan); di mana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat. Apabila engkau melihat tanaman menjalar (nafsu keinginan) tumbuh tinggi, maka harus kau potong akar-akarnya dengan pisau (kebijaksanaan).
Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar obyek-obyek indria, dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria. Karena cenderung pada hal-hal yang menyenangkan dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan indria, maka mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.
Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.
Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena itu, seeorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan didri, hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.
Kisah Deva Ankura
- Sang Buddha mengunjungi alam dewa Tavatimsa untuk membabarkan AbhiDhamma kepada Dewa Santusuita, yang sebelumnya adalah ibu kandung Beliau. Selama masa itu terdapat dewa yang bernama Indaka di alam deva Tavatimsa. Indaka, dalam kehidupannya yang lampau adalah seorang pria, yang telah mempersembahkan sedikut dana makanan pada Anuraddha Thera. Karena perbuatan baik ini dilakukan kepada seorang Thera dalam masa keberadaan ajaran Buddha maka ia mendapat pahala berlipat ganda. Kemudian, setelah kematian, ia dilahirkan kembali dalam alam Tavatimsa dan menikmati kemewahan alam dewa. Pada saat itu, terdapat dewa lain yang bernama Ankura di alam dewa Tavatimsa yang telah banyak memberikan dana; jauh lebih banyak daripada apa yang telah Indaka berikan. Tetapi dana itu dilakukan di luar masa keberadaan ajaran Buddha. Sehingga meskipun dananya besar dan banyak, ia menikmati pahala kehidupan dewa dalam ukuran yang lebih kecil daripada Indaka, yang telah mempersembahkan sangat sedikit dana.Ketika Sang Buddha berada di Tavatimsa, Ankura bertanya kepada Beliau alasan ketidak-sesuaian perolehan pahala itu. Kepadanya Sang Buddha menjawab, “O dewa! Ketika memberikan dana kamu seharusnya memilih kepada siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya menamam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menerbarkan bibitmu ditanah yang tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit.” Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; nafsu indria merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu indria akan menghasilkan pahala yang besar. Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; kebencian merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian akan menghasilkan pahala yang besar. Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; ketidaktahuan merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidaktahuan akan menghasilkan pahala yang besar. Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; nafsu keinginan merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu keinginan akan menghasilkan pahala yang besar.
Kisagotami Theri
- Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia memiliki tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Suatu hari anak laki tersebut baru saja belajar berjalan dihalaman rumahnya, tiba-tiba terdengar suara jeritan anak kecil, Kisagotami berlari mendekati anaknya dan disekitar tubuh anaknya itu terdapat seekor ular hitam kecil yang telah mengigit urat nadi anaknya tersebut, dan anak laki-laki itu meninggal dunia seketika itu juga. Kisagotami merasa sangat sedih, dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan anaknya kembali dari setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang mulai berpikir bahwa dia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya, “Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!” Kemudian Kisagotami pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya.Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segengam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Lalu berangkatlah Kisagotami dengan hati yang gembira dengan membawa anaknya yang telah meninggal itu didadanya. Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada. Setiap orang yang ditemuinya dengan suka rela memberikan kepadanya segengam biji lada tetapi ketika Kisagotami menanyakan apakah mereka pernah mengalami kematian pada sanak keluarganya, mereka semua mengatakan pernah ada kematian pada sanak keluarga mereka. Ada yang mengatakan bahwa anaknya baru seminggu meninggal dunia, ayahnya atau suaminya baru meninggal sebulan yang lalu. Jawaban itu sungguh sangat mengecewakan hati Kisagotami, kemudian dia pulang kembali menuju vihara dimana Sang Buddha berada. Lalu tiba-tiba Kisagotami menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang yang meninggal dunia dari pada yang hidup. Tak lama setelah mendari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia itu berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anak yang sangat dicintainya itu. Kisagotami lalu meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ita tidak dapat meneukan tumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua mahluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya” mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidak kekalan, ketidak puasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khanda) dan saat itu juga dia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Tak lama kemudian Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni.pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul tenggelamnya kehidupan mahluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasanya, melihat dari vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan mahluk dan berjuang keras untuk merealisasikan nibbana. Lalu Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah kotbah Dhamma dari Sang Buddhaitu berakhir. Walaupun seorang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian (nibbana),sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari pada orang dapat melihat kehidupan tanpa kematian”
Culekasataka
- (Jangan menunda perbuatan baik)
- Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi bila si istri pergi mendengarkan kotbah Sang Buddha pada siang hari maka si suami pergi pada malam hari.Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan kotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi kegirangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang. Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga brahmana berkapa kepada dirinya sendiri, “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghidari terlahir ke empat alam rendah (apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha.” Setelah berkata begitu, dia meletakan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan berteriak, “saya menang!, saya menang!, saya menang!” Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada di antara para pendengar kotbah. Mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tesebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan. Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha. Dia mendapat hadiah lagi dari raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah keempat potong lagi. Jadi dia memberikan kepada Sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipatgandakan hariahnya. Akhirnya hadiah meninggkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha. Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang mahal. Dan memberikannya kepada brahmana. Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di dumah brahmana. Ketika raja pergi berkunjung ke vihara jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laik-laki, empat orang pesuruh lakuk-laki, empat desa dan empat ribu uang tunai. Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada Sang Buddha, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?” Sang Buddha menjawab, “Jika brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadian enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang. Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik”. Bergegaslah berbuat kebajikan dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan; barang siapa lamban berbuat bajik, maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
(Dhammapada 116)
Culapanthaka
- Bendahara kerajaan di Rajagaha mempunyai dua orang cucu laki-laki bernama Mahapanthaka dan Culapanthaka. Mahapanthaka, yang tertua, selalu menemui kakeknya mendengarkan kotbah Dhamma. Kemudian Mahapanthaka bergabung menjadi murid Sang Buddha.Culapanthaka mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi karena pada penghidupan yang lampau pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Culapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka ia dilakhirkan sebagai orang dungu pada kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat meskipun hanya satu syair dalam empat bulan. Mahapanthaka sangant kecewa dengan adiknya dan mengatakan bahwa adiknya tidak berguna. Suatu waktu, Jivika datang ke vihara mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu yang ada, untuk berkunjung makan siang di rumahnya. Mahapanthaka, yang diberi tugas untuk memberitahu pada bhikkhu tentang undangan makan siang tersebut, mencoret Culapanthaka dari daftar undangan. Ketika Culapanthaka mengetahui hal itu dia merasa sangat kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai orang perumah tangga. Mengetahui keinginan tersebut, Sang Buddha membawanya dan menyuruhnya duduk di depan gandhakuti, kemudian Beliau memberikan selembar kain bersih kepada Culapanthaka dan menyuruhnya untuk duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain itu. Pada waktu bersamaan dua harus mengulang kata “Rojaharanam” yang artinya “kotor”. Sang Buddha kemudian pergi ke tempat kediaman Jivika, menemui para bhikkhu. Culapanthaka mulai menggosok-gosok selembar kain tersebut, sambil mengucapkan “Rajoharanam”. Berulang kali kain itu digosok dan berulang kali pula kata-kata rojaharanam meluncur dari mulutnya. Berulang dan berulang kali. Karena terus digosok, kain tersebut menjadi kotor. Melihat perubahan yang terjadi pada kain tersebut, Culapanthaka tercenung. Ia segera menyadari ketidak kekalan segala sesuatu yang berkondisi. Dari rumaha Jivika, Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya mengetahui kemajuan Culapanthaka. Beliau dengan kekuatan supranatualnya menemui Culapanthaka, sehingga seolah-olah Beliau tampak duduk di depan Culapanthaka, dan berkata: “Tidak hanya selembar kain yang dikotori oleh debu; dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga, debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal tersebut seseorang dapat mencapai tujuannya dengan mencapai arahat” Culapanthaka mendengarkan pesan terseubut dan meneruskan bermeditasi. Dalam waktu yang singkat mata bathinnya terbuka dan ia mencapai tingkat kesucian arahat, bersamaan dengan memiliki ‘pandangan terang analitis’. Maka Culapanthaka tidak lagi menjadi orang dungu. Di rumah Jivika, para umat akan menuang air sebagai telah melakukan perbuatan dana; tetapi Sang Buddha menutup mangkoknya dengan tangan dan berkata bahwa masih ada bhikkhu yang ada di vihara. Semuanya mengatakan bahwa tidak ada bhikkhu yang tertinggal. Sang Buddha menjawab bahwa masih ada satu orang bhikkhu yang ertinggal dan memerintahkan untuk menjemput Culapanthaka di vihara. Ketika pembawa pesan dari rumah jivika tiba di vihara, dia menemukan tidak hanya satu orang, tetapu ada seribu orang bhikkhu yang serupa. Mereka semua diciptakan oleh Culapanthaka, yang sekarang telah memiliki kemampuan bathin. Utusan tersebut kagun dan dia pulang kembali dan melaporkan hal ini kepada jivika. Utusan itu kembali ke vihara untuk kedua kalinya dan dipertintahkan untuk mengatakan bahwa Sang Buddha mengundang bhikkhu yang bernama Culapanthaka. Tetapi ketika dia menyampaikan pesan tersebut, seribu suara menjawab, “saya adalah culapanthaka” dengan binggung, dia kembali ke rumah jivika untuk kedua kalinya. Untuk ketigakalinya dia disuruh kembali ke vihara. Kali ini, dia diperintahkan untuk menarik bhikkhu yang dilihatnya pertama kali mengatakan bahwa dia adalah Culapanthaka. Dengan cepat dia memegangnya dan semua bhikkhu yang lain menghilang, dan Culapanthaka menemani utusan tersebut ke rumah Jivika. Setelah makan siang, seperti yang diperintahkan oleh Sang Buddha, Culapanthaka menyampaikan kotbah dhamma, kotbah tentang keyakinan dan keberanian, mengaum bagaikan rauangan seekor singa muda. Ketika masalah Culapanthaka dibicarakan di antara para bhikkhu, Sang Buddha berkata bhwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya akan mencapai tingkat kesucian arahat. “Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bari dirinya sendiri yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir “.
SANG BUDDHA DAN PETANI KASIBHARADVAJA
- Suatu ketika, Sang Buddha berada di desa Ekanala, Magadha. Musim hujan telah tiba dan saat itu adalah saat menebar benih (padi). Pagi-pagi sekali di saat dedaunan masih basah oleh embun, Sang Buddha pergi ke sawah di mana Kasibharadvaja, seorang Brhamana yang petani, memiliki 500 bajak yang sedang dikerjakan. Ketika Sang Bhagava tiba, adalah saat Brahmana tersebut membagikan makanan kepada para pekerjanya. Sang Buddha menunggu di sanan untuk melakukan pindapata. Tetapi ketika Brahmana itu melihat Sang Buddha, ia mengejek dan berkata : “Saya membajak dan menanam benih, dan setelah membajak dan menanam benih, saya makan. O Pertapa, Engkau juga harus membajak dan menanam, dan setelah membajak dan menanam, baru Engkau bisa makan”. “O Brahmana, Tathagata juga membajak dan menanam. Dan setelah membajak dan menanam, Tathagata makan”, jawab Sang Buddha. Dengan bingung Brahmana bertanya, “Engkau mengatakan bahwa Engkau membajak dan menanam, tapi saya tidak melihat Engkau membajak?”. Sang Buddha menjawab : “Tathagata menanam keyakinan sebagai benih-benihnya. Aturan disiplinKu adalah sebagai hujannya. KebijaksanaanKu adalah kuk dan bajaknya. KesederhanaanKu adalah kepala-bajaknya. PikiranKu adalah talinya, Kesadaran (sati)-Ku dalah mata bajak dan tongkatnya”. “Tathagata terkendali di dalam perbuatan, ucapan dan makanan. Tathagata melakukan penyiangan dengan kebenaran. Kebahagiaan yang Tathagata dapatkan adalah kebebasan dari penderitaan. Dengan tekun Tathagata memikul kuk/gandar hingga mencapai Nibbana. Dengan demikian Tathagata telah melaksanakan pekerjaan membajak. Ini menghasilkan buah Keabadian. Dengan pembajakan seperti ini, seseorang terbebas dari semua penderitaan”. Setelah penjelasan ini, Brahmana tersebut menyadari kesalahannya, dan berkata, “Sudilah Yang Mulia Gotama makan nasi-susu ini. Yang mulia Gotama adalah seorang petani karena panennya menghasilkan buah Tanpa-kematian!” Setelah berkata demikian, Brahmana mengisi satu mangkuk besar dengan nasi-susu dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha menolak makanan tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menerima makanan sebagai balasan/pembayaran dari pembabaran DhammaNya. Brahmana berlutut di kaki Sang Buddha dan memohon agar ditahbiskan menjadi anggota Persaudaraan para Bhikku. Tak berapa lama setelah itu, Kasibharadvaja menjadi Arahat.
SIKAP SANG BUDDHA TERHADAP KEKUATAN GAIB
- Suatu saat, ketika Sang Buddha tinggal di Nalanda di Hutan Pavarika, seorang umat yang bernama Kevaddha datang kepada Beliau, memberi hormat dan berkata, “Yang Mulia, Nalanda adalah sebuah kota yang berhasil, Masyarakat yang tinggal di Nalanda hidupnya makmur, dan mereka mempunyai keyakinan terhadap Sang Bhagava. Yang Mulia, akan lebih baik jika Sang Bhagava menunjuk seorang bhikkhu untuk memperagakan satu keajaiban dari kekuatan supernormal, sehingga orang-orang Nalanda akan menjadi lebih yakin kepada Sang Bhagava”. Sang Buddha menjawab, “Kevaddha, Tathagata tidak mengajarkan Doktrin kepada para bhikkhu dalam cara itu”. Sang Buddha memberikan jawaban yang sama ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Beliau untuk kedua dan ketiga kalinya. Setelah ketiga kalinya, Sang Buddha menjawab bahwa ada 3 macam keajaiban supernormal : 1. Keajaiban dari kekuatan supernormal untuk tampak menjadi banyak menembus dinding, terbang di udara, menyelam ke dalam tanah, berjalan di atas air. Semua itu adalah perbuatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa. 2. Kekuatan supernormal untuk membaca pikiran orang lain. 3. Kekuatan supernormal untuk mampu membimbing orang-orang sesuai dengan tingkat batin mereka, demi kebaikan mereka sendiri, dengan menggunakan cara-cara yang cocok untuk memperbaiki orang-orang tersebut. Dua kekuatan supernormal yang pertama tersebut jika dipertunjukkan untuk mempengaruhi orang-orang demi kepentingan sendiri mereka sendiri, itu tidak berbeda dengan pertunjukkan seorang pesulap. Seorang bhikkhu yang mempraktekkan keajaiban duniawi semacam itu adalah sumber dari hal yang memalukan, kehinaan, dan menjijikan. Perbuatan-perbuatan tersebut mungkin dapat mempengaruhi dan memenangkan pengikut, tetapi hal-hal tersebut tidak membawa penerangan untuk membantu mereka menuju akhir dukkha. Jenis ketiga dari kekuatan supernormal, meskipun ia bisa disebut suatu ‘keajaiban’, tetapi ia dapat menolong orang-orang untuk bebas dari penderitaan. Inilah satu-satunya kekuatan supernormal yang pantas dipraktekkan. Satu-satunya keajaiban yang harus dipertunjukkan adalah sebagai berikut : bila engkau melihat seseorang yang penuh dengan nafsu, keinginan, dan keserakahan maka ajarlah dia untuk bebas dari nafsu, keinginan, dan keserakahan. Bila engkau melihat seseorang yang diperbudak oleh kebencian dan kemarahan, maka pakailah kekuatanmu untuk menolong dia mengendalikan kebencian dan kemarahannya. Bila engkau bertemu degnan orang yang bodoh dan tidak dapat melihat kealamiahan yang sebenarnya dari dunia (segala sesuatu di dunia adalah tidak kekal, mengecewakan, dan tanpa inti), maka gunakanlah kekuatanmu untuk menolong dia mengatasi kebodohannya. Ini adalah ‘keajaiban’ berharga yang dapat engkau pertunjukkan. Nasihat kepada Kevaddha ini diperluas pula sampai kepada peraturan Vinaya yang melarang para bhikkhu untuk mempertunjukkan kekuatan-kekuatan gaib untuk mempengaruhi orang-orang dan memperoleh pengikut, tanpa membantu mereka mencapai pencerahan. Hal ini jelas pada kasus Pindola Bharadvaja. Arahat Pindola Bharadvaja terkenal dengan kekuatan-kekuatan batinnya. Seorang kaya yang ingin agar bhikkhu ini membuktikan kekuatan batinnya, menaruh sebuah mangkuk indah di atas sebuah tempat yang tinggi dan menantang orang-orang suci untuk dpat menurunkan mangkuk itu. Jika ia dapat melakukannya, ia dapat memiliki mangkuk itu. Pindola Bharadvaja melayang naik dan membawa turun mangkuk tersebut dengan mudah. Ini juga dilakukan untuk membuktikan kepada orang kaya tersebut bahwa terdapat orang-orang suci di dunia ini, sebuah fakta yang tidak dipercaya oleh orang kaya itu. Ketika Sang Buddha mengetahui kejadian ini, Beliau memanggil Pindola Bharadvaja untuk membawa mangkuk tersebut. Beliau menghancurkan mangkuk itu berkeping-keping di depan kumpulan para bhikkhu, dan berkata, “Tathagata tidak senang pada demonstrasi kekuatan gaibmu. Kamu tidak pernah boleh memamerkan kekuatanmu semata-mata untuk memukau orang-orang bodoh”.
RAJA PASENADI KOSALA
Langganan:
Postingan (Atom)