Rabu, 21 Desember 2011

RAJA PASENADI KOSALA

    Raja Pendukung Sang Buddha
        Raja Pasenadi Kosala adalah raja negeri Kosala, yang terletak di sebelah utara negeri Magadha pimpinan raja Bimbisara. Ibu kota kerajaan Kosalah adalah Savatthi. Salah satu dari saudara  perempuannya adalah permaisuri raja Bimbisara, oleh karena itu ia adalah ipar dari raja Bimbisara.     Raja Pasenadi Kosala menjadi pengikut Sang Buddha pada masa sangat awal dari kepemimpinan Sang Buddha, dan tetap setia menjadi pendukung Sang Buddha hingga akhir hayatnya. Permaisurinya Mallika, adalah seorang ratu yang bijaksana dan religius, yang benar-benar mengetahui Dhamma dengan baik dan bertindak sesuai dengan tuntutan agamanya.     Pada waktu pertama kali Raja bertemu dengan Sang Buddha, ia bertanya, “Bagaimana bisa Guru Gotama menyatakan bahwa Dirinya telah mencapai Penerangan Sempurna” Sedangkan Guru Gotama masih muda, baik dalam usia maupun dalam kebhikkhuan”. Sang Buddha menjawab, “Raja yang agung, terdapat empat hal yang tidak boleh dianggap enteng dan dipandang rendah dikarenakan mereka masih muda. Mereka adalah seorang prajurit kerajaan, seekor ular, api, dan seorang bhikkhu (orang suci). Seorang prajurit muda yang dibuat marah sekali akan bisa dengan kejam melukai orang lain. Gigitan seekor ular meskipun itu ular kecil, bisa mematikan. Api yang kecil  bisa menajdi api yang amat besar yang dapat menghanguskan gedung-gedung dan hutan. Meskipun seorang bhikkhu muda, ia mungkin telah mencapai kesucian”. Mendengar hal ini raja Pasenadi Kosala mengerti bahwa Sang Buddha memang benar-benar seorang guru yang bijaksana, dan ia memutuskan untuk menjadi pengikutNya.     Raja Pasenadi suka pergi mengunjungi Sang Buddha untuk meminta nasihat. Meskipun sedang dalam tugas-tugas kerajaan, ia meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan Sang Buddha. Suatu hari ketika berbicara kepada Sang Buddha, ia menerima kabar bahwa istrinya, ratu Mallika, telah melahirkan seorang putri. Raja tidak gembira mendengar kabar  itu karena menginginkan seorang putra. Sang Buddha, tidak seperti guru-guru agama lainnya, berkata baik tentang wanita. Beliau berkata, “Sebagian wanita adalah lebih baik daripada pria, O Raja. Ada wanita-wanita yang bijaksana, baik, yang menghormati ibu mertuanya, seperti dewa, dan yang tulus dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Mereka suatu hari mungkin melahirkan anak laki-laki yang berani yang dapat memerintah kerajaan”.     Suatu ketika, raja datang dan mendengar bahwa Sang Buddha mengatakan, “Orang terkasih yang kita cintai akan mendatangkan duka cita dan ratapan, penderitaan, kesedihan, dan kepatahan hati”. Raja bertanya kepada ratu Mallika apakah ia setuju dengan perkataan Sang Buddha itu. Ratu mengatakan bahwa jika Sang Buddha telah mengatakan demikian, itu pastilah benar. Tetapi raja belum puas. “Bagaimana mungkin orang terkasih bisa mendatangkan penderitaan?” ragu sang Raja.     Ratu Mallika mendatangi seorang brahmana untuk meminta Sang Buddha menjelaskan hal ini. Setelah mendengar berbagai uraian untuk menjelaskan hal ini, Brahmana menceritakannya kepada ratu. Ratu kemudian bertanya kepada raja, “Yang Mulia, bagaimana pendapatmu, apakah putri Vajira, putrimu, sayang padamu?”  “Ya, Malika, dia sangat sayang padaku”, jawab raja.  “Jika ada kemalangan menimpa putri Vajira, akankah itu mendatangkan dukacita dan ratapan, penderitaan, kesedihan dan kepatahan hati?  “Ya”, jawab raja.  “Yang Mulia, berkenaan dengan inilah Sang Buddha mengatakan bahwa orang terkasih yang kita cintai, dapat mendatangkan dukacita dan ratapan, penderitaan, kesedihan dan kepatahan hati”.  “Mallika”, kata Raja, “Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan begitu jauh Sang Buddha dapat melihat melalui pengertianNya”.  Ketika raja Kosala kalah dari kemenakannya dan harus mundur ke ibukota Savatthi, Sang Buddha berkomentar kepada para muridNya bahwa bukan yang menang maupun yang kalah yang akan merasakan kedamaian :  “Kemenangan membiakkan kebencian  Yang kalah hidup dalam kesakitan  Kebahagiaan hidup yang damai diperoleh dari  Melepaskan kemenangan dan kekalahan”.     Dalam peperangan berikutnya, kedua raja bertempur dan raja Kosala tidak saja menang, tetapi ia juga berhasil menangkap rja Ajatasattu hidup-hidup bersama semua pasukan gajah, kereta, kuda, dan prajuritnya. Raja Kosala berpikir akan melepaskan keponakannya, tetapi tidak untuk kuda-kuda, gajah dan yang lain-lainnya. Ia menginginkan kepuasan dari menahan harta benda ini sebagfai hadiah bagi kemenangannya.     Mendengar hal ini, Sang Buddha mengatakan kepada para muridNya bahwa akan lebih bijaksana bagi raja Kosala untuk tidak menahan benda apapun bagi dirinya. Kebenaran dari pernyataan ini masih tetap diterapkan di dunia peperangan modern :  “Seseorang mungkin bisa merampas semuanya. Bilamana orang lain merampas balik, ia yang terampas akan merampas balik. Roda Perbuatan terus berputar dan membuat seseorang yang dirampas menjadi merampas”.     Raja Pasenadi Kosala bertarung dalam banyak peperangan dengan keponakannya yaitu raja Ajatasattu. Ia dikalahkan sekali dan di lain waktu ia menang.  Raja Pasenadi Kosala akhirnya wafat dalam usia 80 tahun ketika putranya memberontak terhadapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar