Jumat, 20 Januari 2012

Missionaris Buddhis

Pergilah kalian, demi kebaikan semua, demi kebahagiaan semua, atas dasar belas kasih kepada dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan. Babarkanlah Dhamma ini, yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya, dan indah pada akhirnya.
~ Buddha Gotama~ (Marakatha, Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka I) 
AJARAN MISIONARI PERTAMA
Kutipan ayat di atas cukup menjelaskan bahwa ajaran Buddha adalah ajaran misionari pertama dalam sejarah dengan pesan universal bagi kebaikan (be good) dan kebahagiaan (be happy) segenap makhluk.
Setelah memeriksa alam semesta, Buddha mengetahui bahwa ada beberapa makhluk yang mampu memahami Dhamma yang pelik ini. Buddha memutuskan untuk mengajarkan Dhamma dengan mengatakan: “Pintu Nibbana kini telah terbuka. Aku akan membabarkan Dhamma kepada segenap makhluk agar mereka yang meyakini dan mau mendengarnya meraih manfaatnya.” Setelah itu Buddha berkeliling India selama 45 tahun dengan hanya makan satu kali sehari dan tidur satu jam sehari, mengajarkan tentang kenyataan penderitaan dan jalan keluar dari penderitaan.
PRINSIP MISIONARI BUDDHIS
Demi kebaikan dan kebahagiaan semua makhluk.
Inilah motif dasar sekaligus akhir dari setiap misionari Buddhis; bukan sekadar demi kemuliaan Buddha atau keunggulan Dhamma semata.
Ehipassiko (Datang dan Lihatlah Sendiri).
Kebebasan berpikir dan bertanya itu sungguh penting; ajaran Buddha dijalankan secara “ehipassiko”, yang artinya mengundang Anda untuk datang dan melihat sendiri, bukan datang dan percaya begitu saja.
Tidak Ada Fanatisme.
Ajaran Buddha dapat dikatakan bebas dari segala bentuk fanatisme. Ajaran Buddha bertujuan untuk menghasilkan perubahan internal dengan jalan penaklukan diri sendiri; bagaimana mungkin ajaran Buddha dikatakan mencari kekuasaan atau keuntungan sepihak? Buddha hanya menunjukkan jalan kebahagiaan ( atau lebih cocok disebut selesai atau berakhirnya penderitaan ), selanjutnya terserah setiap orang untuk memutuskan akan mengikutinya atau tidak.
Tidak Mengubah Agama Orang.
Umat Buddha tidak pernah menarik masuk dengan cara memaksakan pendapat dan keyakinan terhadap orang yang tidak berminat; juga tidak menggunakan berbagai rayuan atau tipuan untuk memenangkan pandangannya. Misionari Buddhis tidak pernah bersaing untuk mengubah agama orang.
Dalam Sutta Udumbara, Buddha berkata:
Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima.”
Toleransi Luar Biasa.
Toleransi umat Buddha diteladankan oleh Kaisar Asoka dalam salah satu dekritnya yang terukir di batu karang dan masih ada sampai hari ini di India:
Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, tapi juga harus menghormati agama lain karena satu dan lain hal. Dengan bertindak demikian, seseorang membantu agamanya sendiri untuk tumbuh sekaligus memberikan pelayanan bagi agama lain. Dengan bertindak sebaliknya, seseorang menggali kubur bagi agamanya sendiri sekaligus merugikan agama lain.”
“Barang siapa yang menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, melakukannya demi pemujaan terhadap agamanya sendiri, berpikir, ‘Saya akan memuliakan agama saya sendiri,’ dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri. Kerukunan itu baik; biarlah semua mendengar dan berniat untuk mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar