Kelahiran dan Masa Remaja
Terlahir di
desa Gempok Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada
tanggal 3 September 1944 dari pasangan Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem.
Suatu proses kelahiran yang biasa saja,
tidak ada yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak
pernah menyangka kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal menjadi
seorang anggota Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di
Rayon I Sumatera Utara.
Bayi laki-laki yang kemudian diberi
nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah. Masa kecil Sunardi boleh
dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain keadaannya sendiri yang
sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak memungkinkan.
Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai negara
kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu
berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan
yang penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan
hanya ketakutan yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui
warga kampung. Pada waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah
merupakan suatu yang patut disyukuri dan terasa sangat nikmat. Tapi
walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan
pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah
Rakyat, Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya
mengukir batu dan batok kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjadi
topi dll, setidaknya dapat menghiburnya untuk melupakan suasana perang.
Selain mempunyai kelebihan di kerajinan tangan ternyata Sunardi juga
senang di bidang olahraga. Olahraga yang dipilih yakni atletik, lompat
jauh dan lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang menyita waktunya, tapi
biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu orang tuanya di
sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk
mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui
gembalaannya merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni
mencari batu atau sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.
Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah
Rakyat, Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi
yakni SMP. Walau terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya
kemauan belajar yang keras. Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan
menjadi tenaga cukur bayaran. Sunardi paling suka mencukur rambut orang.
Yang pasti tempat untuk mencukur itu harus dekat dengan warung makanan.
Upahnya tak beliin kue, habis.. kenang Beliau sambil tertawa.
Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih
digunakan. Bhante itu kalau mencukur cepat sekali aku salah seorang
anggota pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari
kecil, Sunardi paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila
ada keramaian, itu pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit,
mengidolakan tokoh Arjuna, tapi tak pernah melewatkan tokoh-tokoh lain.
Bagi Sunardi yang penting ada acara Wayang dan ia dengan betah akan
menonton acara tersebut hingga malam melarut dan walaupun menjelang
subuh.
Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering
mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya.
Di candi-candi tersebut banyak sekali gambar relief dan patung yang
sangat indah di sepanjang dinding candi. Setelah melihat semua keindahan
yang ada di candi tersebut, sejumlah pertanyaan terasa mengelitik di
dada. Siapakah yang membuatnya? Untuk apa bangunan tua itu dan apa
manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa menimbulkan
keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah
berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman
majalah Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar
di Indonesia yakni Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Setelah membaca
majalah tersebut barulah Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha.
Akhirnya jawaban dari setiap pertanyaan yang timbul tentang
relief-relief dan patung-patung tersebut menggambarkan kebesaran agama
Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni zaman Sriwijaya dan
Majapahit.
Ternyata Sunardi tidak puas dengan jawaban tersebut,
Sunardi terus mempelajari agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu
dikirim kepadanya. Semakin banyak yang dibaca dan dihayati maka akhirnya
Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari ke-4 agama yang ada, agama
Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi merasa Buddha
Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan,
membahagiakan. Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang
(Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin
Jinarakkhita Maha Thera. Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari
paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif
mempelajari Buddha Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat
terhadap agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai
paritta-paritta suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin
kebaktian mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala
Dharma Bandung.
Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki
organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk
mendampingi beliau dalam mengembangkan agama Buddha baik dari pulau Jawa
maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.
Setelah satu tahun di
Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk mengabdi di
Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun, Sunardi
pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi
upasaka di Pekan Baru. Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah bimbingan
langsung Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta
lainnya mengikuti suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif.
Pelatihan berlangsung dengan disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta
yang setelah berlatih lebih kurang 2 minggu mengalami kejadian lucu dan
unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice cream lewat di depan
vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia membeli ice cream
kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak peserta
pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal
dalam pelatihan.
Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat
berkesan dalam pelatihan tersebut. Ia sehari-harinya pembersih dan
paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan tidak dibersihkan. Dalam
pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang laba-laba di
tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak untuk
membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara
Bhikkhu Ashin telah menggeledek: Pergunakan waktumu sebaik-baiknya,
goblok… Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan
ternyata, setelah pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang
lainnya yang dinyatakan lulus di antara sekian puluh orang peserta.
Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam
hal-hal yang patut dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana
yang berbuat demikian tak akan dicela. (Dhammapada, 1996; Atta
Vagga:158)
Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering
mendampingi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia)
sebagai Upataka dan orang yang bisa menjadi Upataka Bhante Ashin pada
waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah dianggap hebat oleh umat Buddha
Indonesia. Pada masa 1960 sampai 1970-an, Bhikkhu Indonesia masih sangat
sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidak heran jika Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu
sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit sering
memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota
Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama
Buddha yang tertidur selama 5 abad.
Sunardi pada waktu menjadi
pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk segera menjadi
samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang sampai
kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi
samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin
berkata pada pemuda Sunardi: Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto?
Mengapa Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo
yang menjadi Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha? Mengapa saya yang
menjadi Bhikkhu? Itu karena saya membayar hutang. Demikian pertanyaan
yang dilontarkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang
kemudian dijawab oleh beliau sendiri.
Mendengar pertanyaan
Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah Jawa seperti
Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa
tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota
Sangha. Dan tekadnya mendapat restu dari orang tua dan saudaranya.
Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante
Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang
Samanera, Bhante Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, “Kamu sebenarnya
sudah terpilih menjadi seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk
perkembangan Buddha Dhamma. Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil
keputusan untuk menjadi seorang Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera
lain, Samanera Dhammasushiyo di Upasampada. Kelima Samanera itu adalah
sebagai berikut:
S. Jinasuryabhumi (U.P. Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu : Aggajinamitto).
S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari 1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.
S.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20 Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.
S.Dhammasushiyo (Sunardi), lahir Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo.
S.Djumadi, lahir Jumat 19 Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.
Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :
1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa sekarang Sangha Raja.
2.Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \ Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta).
3.Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma Sobhana)
4.Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5.Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia)
6.Upa. Saksi (Ven. Subhato/Indonesia)
Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit
seakan berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan.
Dan akhirnya upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul
04.52 sore.
Belajar ke Wat Bovoranives Vihara
Berbekal
tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris (hasil kursus), tak
lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu Jinadhammo)
kemudian berangkat ke Negara Gajah Putih, Muangthai. Bhante Jin pergi
ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan guru-guru
beliau.
Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain
itu juga berlatih meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli).
Setelah hampir 2 tahun belajar di Bangkok, baru Bhante Jin berani
mengunjungi tempat berlatih meditasi yang terkenal keras. Bhante Jin
pergi ke daerah Udon thani, sebelah Timur Laut dari kota Bangkok. Beliau
mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang dipimpin oleh
Ajahn Boowa, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wat Ban Tad (Dibaca
menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini
merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai
selain Wat Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat
di Wat Ban Tad. Ajahn Boowa adalah seorang master meditasi yang terkenal
memiliki kemampuan abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini
Ajahn Boowa melakukan gerakan Rakyat Menyelamatkan Negara. Beliau
berkampanye mengumpulkan sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada
negara yang sedang mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara
Indonesia. Dan rakyat Thai berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn
Boowa. Sudah milyaran dolar Amerika (dalam bentuk uang dan emas
batangan) yang diserahkan Ajahn Boowa kepada pemerintah. Sewaktu belajar
di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air hujan (mungkin itu
sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu, Vihara di
Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)
Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya
kehidupan para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk
Pindapatta (menerima dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap
rumah, seorang Bhikkhu menerima nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan
menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah daging kodok rebus atau ulat
kelapa (orang Jawa bilang : Gendon)
Bhikkhu Theravada dalam
Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat termasuk daging
(yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu hanya
menerima makanan dari daging apabila :
1. Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2. Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3. Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk dirinya.
Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai,
Bhante Jin dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
(Sukong). Bhante Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha
di Indonesia.
Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin
pernah diajak seorang umat Buddha dari Tulung Agung, Jawa Timur ke
Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil Om Yan oleh Bhante Jin. Ia
mempunyai tanah perkebunan di lereng Gunung Willis. Bhante Jin diajak
menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal di pondok sendirian. Malam
tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun mendirikan bulu
roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin. Bhante
Jin belum tidur waktu itu. Ada apa Om Yan? Tengah malam kok
ngintip-ngintip? tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa
terbahak-bahak.
Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di gubuk.
Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin
tinggal di sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante
Jin diberi sebuah kamar aneh untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata.
Banyak batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya.
Bhante Jin menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.
Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya. Apakah Bhante merasa
tenang tinggal di vihara ini ? tanya Om Yan. Tenang. Tenang sekali.
Jawab Bhante Jin. Bhante bisa tidur nyenyak ? tanya Om Yan dengan mimik
wajah yang ganjil. Oh … bisa… bisa. Jawab Bhante Jin. Kenapa rupanya
tanya Bhante Jin kembali. Ah, tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja.
Jawab Om Yan senyum-senyum mencurigakan. Di vihara tersebut memang
suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa. Kecuali pada hari
kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar senyap.
Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara
yang rada-rada aneh. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau jika
diajak tidur di kamar berlantai aneh tempat Bhante Jin. Saya tak berani
tidur di situ. Katanya polos. Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas. Kata
Bhante Jin. Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara.
Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante
Jin. Om Yan bertanya tentang kesehatan Bhante. Apa Bhante sehat-sehat
saja ? tanya Om Yan sambil tersenyum. Sehat jawab Bhante Jin singkat.
Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ? tanya Om Yan
dengan nada menyelidiki. Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq. Wah
! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar
itu. Lho, ada apa dengan kamar itu ? Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan
ada batu-batu menonjol di lantai. Bhante tahu batu apa itu ? tanya Om
Yan serius. Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu
itu dibuat? Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu
sebenarnya lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya. Jawab Om Yan.
Oh ! Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ? Ha… ha … ha… Itu
kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak diberitahu. Jawab Om Yan
gembira.
Bertugas Di Sumatera
Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian menugaskan Bhante Jin ke
Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera Utara, Riau,
Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.
Pada saat itu (1970-an) masih sedikit sekali vihara dan cetiya. Seiring
perjalanan waktu dan pengabdian Bhante Jin, di daerah-daerah pun mulai
berdiri vihara-vihara dan cetiya. Semangat umat Buddha kian hari kian
menggelora. Sekolah-sekolah pun mulai meminta tenaga guru agama Buddha.
Bhante Jin sering diminta oleh daerah-daerah untuk mengirimkan tenaga
pengajar Agama Buddha, baik untuk sekolah maupun vihara. Bhante Jin
kemudian bersama-sama dengan Bapak Giriputra berusaha mendatangkan
tenaga-tenaga pengajar Agama Buddha dari Pulau Jawa.
Guru-guru
Agama Buddha yang datang dari Pulau Jawa kemudian dikirim bertugas ke
daerah-daerah. Dan mereka-mereka ini diangkat sebagai upasaka pandita
oleh Bhante Jin agar dapat memberikan pelayanan kepada umat mewakili
Sangha. Tersebutlah Romo Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang
berjasa merintis pendirian Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Romo
Pandita Kumala di Kisaran, Pak Dharmanto di Kota Medan, dan lain-lain.
Pabbajja-Samanera
Pada masa awal Bhante Jinadhammo tinggal di Vihara Borobudur Medan,
beliau sering harus masak sendiri. Waktu itu belum ada yang bantu masak
di vihara. Vihara Borobudur sendiri di awal 1970-an masihlah sangat
sederhana. Dapurnya masih berdinding triplek dan beratap rumbia. Tidak
setiap hari umat memasak untuk Bhante. Kadang Bhante Jinadhammo hanya
makan mie instant. Bhante Jinadhammo Maha Thera tinggal di vihara
bersama Bapak Wirawan Giriputra dan Bapak Otong Hirawan. Mereka dikenal
sebagai Tiga Serangkai yang saling bahu-membahu memajukan agama Buddha
di Medan dan daerah-daerah lainnya.
Bhante sering
dibonceng pakai sepeda motor saja oleh almarhum Romo Dharmavirya atau
Romo Dharmaloka ke vihara-vihara lain, seperti : Vihara Dharma Wijaya
Medan, Vihara Buddha Ramsai Deli Tua, dan lain-lain. Hasil latihan di
Muangthai maupun kebiasaan hidup sederhana sejak kecil, sangatlah
membantu Bhante dalam menjalani pengabdian kepada Buddha-Dhamma dan
umat. Bhante Jin adalah Bhikkhu yang sangat mudah dilayani, fleksibel,
simpel, dan humoris. Tidak neko-neko. Tetapi ketat terhadap vinaya yang
dilatih pada diri sendiri.
Mulai awal 1980-an, sudah ada yang
tertarik mengikuti pelatihan Pabbajja-Samanera di bawah bimbingan
Beliau. Orang pertama, seorang pilot bernama Diono yang berlatih selama 3
minggu. Selanjutnya Romo Kumala Kusumah, guru agama Buddha di Perguruan
Diponegoro Kisaran, berlatih selama 1 bulan. Orang ke-3 mahasiswa UDA
Medan yang Drop-out. Yang ke-4, Kassapa dari Riau. Yang ke-5 dan 6, dua
putra Romo Surya dari Rantau Prapat. Orang ke-7 dan ke-8, Yap Ik Sen dan
Edy dari P.M.B. Dhammacari Medan. Ke-9, Tolip. Ke-10 dan ke-11, Cin
Huat (Albert Kumala) dan Sin Kiat (sekarang Bhikkshu Nyana Prabhassa).
Pada tahun 1988 telah diselenggarakan program pabbajja-Samanera massal
pertama untuk Rayon I Sangha Agung Indonesia, diselenggarakan di Vihara
Avalokitesvara yang berada di tepi laut Teluk Tapian Nauli Sibolga.
Angkatan I ini diikuti oleh 38 peserta. Angkatan II tahun 1989, di
tempat yang sama, diikuti 37 orang peserta dari Sangha Agung Indonesia
Rayon I, Rayon II, dan Rayon XII (seluruh Sumatera). Dan Angkatan III
tahun 1990, di tempat yang sama, diikuti oleh 108 orang peserta dari
seluruh Indonesia.
Program Pabbajja-Samanera massal ini telah
berlanjut setiap tahun secara rutin. Semua itu berkat inisiatif Romo
U.P. Padmajaya Ombun Natio dan Romo Pandita W.Giriputra.
Dalam
setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera tersebut, juga diikuti
oleh peserta wanita yang menjalankan Atthangika-Sila dan berjubah putih.
Dan yang menjadi Uppajjhaya (Guru pentahbis) dalam setiap angkatan
adalah Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Dari setiap penyelenggaraan
Program Pabbajja-Samanera massal (nasional) tersebut, selalu ada peserta
yang tidak lepas jubah. Beberapa orang tetap menjadi samanera di bawah
bimbingan Bhante. Beberapa tahun terakhir ini beberapa samanera tersebut
dikirim Bhante untuk belajar ke Muangthai. Mereka di Upasampada menjadi
Bhikkhu di Vihara Wat Bovoranives.
Tampaknya benih yang
ditanam Bhante Jinadhammo Maha Thera mulai berbuah sekarang. Jatah lima
belas kepala Bagi peserta Pabbajja-Samanera yang sempat dicukur oleh
Bhante Jinadhammo, tentu memiliki kesan yang tak dapat dilupakan. Bhante
Jinadhammo benar-benar terampil dan ahli di dalam mencukur botak kepala
calon Samanera maupun Bhikkhu. Crak ! Crok ! Craaak !! Croook!!!…
demikian suara yang ditimbulkan pisau cukur yang digunakan Bhante di
kepala yang sedang dibotak licinkan. Orang yang sedang dicukur bisa
kembali mendengarnya. Serasa kulit kepala ikut terkelupas. Tetapi
herannya tidak terasa sakit, hanya agak aneh. Namun sepanjang pencukuran
yang berlangsung cepat sekali. Craak! Crook! Crak! Crok!, jantung ini
terasa ketar-ketir dan empot-empotan.
Tak banyak orang
tahu bahwa Bhante Jinadhammo Maha Thera mempunyai reputasi tersendiri di
dalam mencukur botak-licin kepala Bhikkhu dan Samanera. Beliau bahkan
sempat dipuji oleh seniornya dari Inggris yang terkenal, Bhikkhu
Khantipalo, yang bertugas mengawasi Bhikkhu-Bhikkhu Internasional di Wat
Bovoranives, Bangkok, Muangthai. Jinadhammo, kamu lebih hebat dari saya
meskipun saya lebih senior. Kamu bisa mencukur rambut sendiri,
sedangkan saya harus dibantu orang lain, kata Bhikkhu Khantipalo suatu
kali. Itu terjadi setelah telinga beliau tercukur pisau ketika ia
mencoba bercukur sendiri. Telinganya mengeluarkan banyak darah. Untung
saja tidak sampai dijahit dokter. Lho, Bhante kan sudah berlatih
vippassana. Kalau hati-hati tentu bisa mencukur sendiri, jawab Bhante
Jinadhammo.
Karena memiliki keahlian mencukur rambut, maka
Bhante Jinadhammo kemudian dipercaya untuk mencukur rambut 15 orang
Bhikkhu dan Samanera setiap bulannya. Jadi setiap bulan menjelang hari
Uposattha, bulan purnama, Bhante Jinadhammo diberi jatah mencukur botak
15 kepala Bhikkhu dan Samanera yang tinggal di Wat Bovoranives.
Pekan Penghayatan Dharma
Setelah diselenggarakan program Pabbajja-Samanera massal, yang biasanya
dilaksanakan pada bulan Juni-Juli ketika liburan sekolah, kegiatan
pelatihan lainnya di Rayon I Sangha Agung Indonesia (Sumut, Riau, Aceh,
Padang) mulai ikut terdorong. Pada akhir bulan Desember 1990, telah
diselenggarakan SADHARSI (Sapta Dharma Ratana Ramsi) Angkatan I di
Vihara Buddha Ramsi Delitua, Deli Serdang. Pelatihan berlangsung selama 7
hari diikuti 23 orang peserta, melaksanakan Atthanga-Sila dan berjubah
putih. Kegiatan ini dipimpin dan dibimbing oleh Bhikkhu Jinadhammo Maha
Thera dan Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (almarhum). Materi pelatihan
meliputi : sila, pembacaan Paritta dan Sutra, Dharma Class, dan
vippassana-bhavana intensif 3 hari. Pelatihan yang berlangsung sepekan
ini kemudian juga diadakan di daerah-daerah lainnya. Bahkan kemudian ada
pelatihan yang berlangsung 3 hari dan satu hari dengan memanfaatkan
hari-hari libur nasional, seperti yang dilakukan oleh PMV Dharma Wijaya
Medan dengan bimbingan Bhikkhu Kampiro.
Program Latih Diri Vippassana Bhavana
Pada akhir Desember 1996, Bhante Jinadhammo membimbing pelatihan
Vippassana-Bhavana intensif selama 7 hari di Hutan Kebon Sawit milik Pak
Husin, Rantau Prapat-Labuhan Batu, Sumut. Lokasi tempat berlatih cukup
terisolir. Medannya cukup menggetarkan nyali orang kota yang jarang
turun ke desa, kebun, dan hutan. Apalagi bagi yang sama sekali belum
pernah turun ke desa/hutan. Tanggung jawab guru pembimbing sungguh berat
dalam pelatihan ini. Lokasi pelatihan berada di tengah-tengah alam
kebun sawit yang berdampingan dengan hutan. Peserta yang pria dan wanita
semua tidur dalam pondok masing-masing, menjalankan Atthanga Sila,
makan satu kali sehari. Tidak boleh berbicara, mengurangi tidur.
Mengembangkan kesadaran terhadap segala fenomena yang timbul dan
tenggelam. Peserta diberi kesempatan bertanya pada waktu sore hari
kepada pembimbing jika ada hambatan yang tidak dapat diatasi. Malam hari
di lokasi diberi penerangan dengan lampu badai (lampu kapal). Suara
satwa hutan siang dan malam terus menerus memainkan orkestra alam,
nyanyian alam itu bisa terdengar seperti suara pembacaan sutra (nien
cing; liam keng).
Sebagai pembimbing, Bhante Jinadhammo siang
malam mengawasi dan menjaga semua peserta dari gangguan-ganggguan yang
tidak diharapkan. Beliau bahkan sempat tidak tidur. Pada
Vippassana-Bhavana Angkatan I masih banyak peserta yang belum mampu
melaksanakan latihan secara baik. Dan banyak gangguan yang dialami.
Namun sekitar 30 orang peserta latihan semuanya sehat selamat sampai
akhir pelatihan. Bhante Jin sendiri berkata, Semua peserta bisa keluar
dengan selamat, sudah boleh dikatakan sukses pelatihan ini. Pelatihan
Angkatan II diselenggarakan di Kebun Sawit Pak Kasim di Padang
Sidempuan, Tapanuli Selatan. Jumlah peserta juga berkisar 30 orang. Jika
peserta angkatan I umumnya dari medan dan Rantau Prapat, angkatan II
pesertanya meliputi wilayah Sumatera Utara. Pada angkatan II mulai
nampak peningkatan kesungguhan berlatih peserta dan lebih tertib.
Tampaknya gangguan yang ada relatif sedikit dibandingkan dengan pada
angkatan I. Hanya faktor cuaca yang dingin di malam hari terutama dini
hari, sedang siangnya panas menyengat sebab pohon sawit yang ada masih
setinggi lebih kurang satu meter. Peserta sebagian besar tidur dalam
tenda, sebagian kecil dalam pondok. Selesai latihan, peserta dibawa
berziarah ke Candi Bahal Portibi, Gunung Tua. Setelah pelatihan Angkatan
II, tercetus ide untuk mendirikan vipassana centre, yang kelak
diharapkan dapat menjadi tempat berlatih yang lebih baik dalam program
Vipassana Bhavana yang akan datang. Pembangunan Vipassan Bhavana Centre
di Sibolangit ini sedang dilaksanakan dan Bhante Jinadhammo diangkat
sebagai penasehat Panitia Pembangunan Vippassana Centre tersebut.
Pada pelatihan angkatan III, kembali diselenggarakan di Hutan Kebun
Sawit Pak Husin, Rantau Prapat. Kali ini partisipasi pengurus Vihara
Buddha Jayanthi dan umat cukup membanggakan seperti di Vihara
Avalokithesvara Padang Sidempuan (Angkatan II). Pesertanya pun lebih
banyak (+ 50 orang) dan lebih beragam : pemuda orang dewasa, termasuk
pula ibu-ibu wanita buddhis. Angkatan III berlangsung lebih sukses lagi.
Pada hari terakhir pelatihan, Bhante Jinadhammo mentabhiskan Saudara
Gunung menjadi Samanera Giri Vicaya. Suasana yang menggembirakan dan
sekaligus mengharukan. Setelah pelatihan angkatan III, Bhante Jinadhammo
atas nama Sangha telah mendapat sumbangan tanah di atas perbukitan
Pulau Moro Riau. Maksud sumbangan tersebut adalah untuk tempat latihan
Vippassana Bhavana. Dan atas permohonan umat yang mensponsori kegiatan
Pelatihan Vippassana-Bhavana, maka telah disusun rencana pelatihan
Angkatan IV tahun 1999 di Padang Sidempuan, Angkatan V di Vippassana
Centre Sibolangit (2000), dan Angkatan VI di Pulau Moro Riau (2001).
Pengalaman peserta selama latihan sungguh beraneka-ragam. Dan
gangguan-gangguan selama latihan di alam terbuka memang cukup banyak
dirasakan para peserta. Tetapi semua itu masih dapat dikendalikan di
bawah pengawasan Bhante Jinadhammo Maha Thera. Para peserta
memperhatikan bahwa selama 7 hari pelatihan berlangsung, Bhante Jin
barangkali tidak sempat tidur. Beliau siang malam mengawasi dan
membimbing serta melindungi para peserta. Sungguh besar dan berat
tanggung jawab guru pembimbing meditasi di alam terbuka dan pinggiran
hutan.
Mengangkat Sumpah Sarjana Kedokteran dan Pegawai Negeri
Bertahun-tahun Bhante Jin selalu diminta oleh Universitas Sumatera
Utara untuk mengangkat Sumpah bagi Sarjana Kedokteran U.S.U yang
beragama Buddha. Demikian pula di Universitas Methodist Medan. Sudah
tidak terhitung lagi berapa orang banyaknya. Setiap pengangkatan pegawai
negeri yang beragama Buddha, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga yang
diminta oleh pemerintahan daerah Wilayah Sumut dan Medan Kota. Demi
Sanghyang Adi Buddha, saya bersumpah ……, demikianlah selalu diucapkan
oleh yang bersangkutan, seperti juga pada waktu acara pelantikan Bimas
Buddha Tingkat I Sumut, Bapak Drs. Arifin Anwar (1994).
Memberikan Bimbingan dan Bantuan Spiritual
Kehidupan di kota besar seperti Medan, kota terbesar ke-3 di Indonesia,
kian hari kian kompleks, sumpek, dan menimbulkan ketegangan jiwa bagi
para penghuninya, termasuk juga umat Buddha. Almarhum Bhikkhu Prajna
Nyana Nanda (murid Bhante Jin) sering nyeletuk pada masa hidupnya, Umat
Buddha biasanya kalau sudah ada masalah baru mau datang ke Vihara. Ini
bisa kita buktikan jika mau nongkrong di Vihara Borobudur Medan untuk
beberapa waktu. Banyak sekali umat yang datang ke vihara menjumpai
Bhante Jin. Mereka membawa beban batin dan masalahnya masing-masing.
Mulai dari broken heart sampai yang kena PHK, dari yang broken home
sampai stres berat karena uangnya dilarikan bisnis MLM Penggandaan Uang
yang menghebohkan, dari korban penjarahan hingga pengungsi Aceh yang
lari diancam bunuh oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Komplitlah segala
macam Dukkha bisa disaksikan. Ramai. Tua dan muda, pria dan wanita,
semua ada. Mereka datang mohon konsultasi dengan Bhante Jin. Ada yang
minta berkah. Ada yang minta air aqua. Ada yang sekedar mengharap
penghiburan. Ada yang minta dorongan. Ada yang mencari ketenangan batin.
Ada yang minta perlindungan. Ada yang minta rekomendasi alias
Katabelece. Bahkan yang minta duit juga banyak, apakah orang yang susah
betulan, orang susah karena malas (tipu-tipuan), atau OKP serta preman
Medan.
Orang yang serius datang mencari Dhamma yang langka ada
beberapa kasus, orang tertentu yang berlatih meditasi tanpa guru dan
mendapat gangguan psiko-fisik : kundalininya teraktifkan, cakra tertentu
terlalu aktif, gangguan dari luar (makhluk halus), mereka datang ke
Bhante Jin dan mendapat bantuan yang praktis atau nasehat yang sederhana
tetapi jitu langsung ke akar persoalan. Terkadang Bhante Jin suka
memberi petunjuk secara tidak langsung meskipun yang bersangkutan tidak
mengutarakan permasalahannya. Bagi yang waspada dan tahu maksudnya,
beruntung. Bagi yang belum tahu cara komunikasi khusus ini, biasanya
bengong alias tidak tahu ujung dan pangkal. Bhante Jin juga sering
memberi teguran dan peringatan kepada muridnya maupun umat dengan gaya
bahasa Marah Anak Sindir Menantu. Maksunya, menegur si A tetapi
tujuannya adalah memarahi/memperingatkan si B atas kesalahan dan
kekeliruannya. Efeknya, si A bisa-bisa kebingungan dan berpikir, Apa
yang terjadi … ya ? Namun si B pastilah merasa, seperti bunyi pepatah,
siapa makan cabai pasti merasakan pedasnya.
Sokongan Bhante di Bidang Pendidikan Agama Buddha
Bhante Jinadhammo juga punya perhatian yang besar untuk kemajuan sarana
pendidikan Buddhis di tanah air. Ketika Institut Ilmu Agama Buddha
Samaratungga berdiri di Ampel Boyolali Jawa Tengah, Bhante Jin
menyumbangkan beberapa unit perangkat komputer untuk fasilitas mahasiswa
dan institut. Juga buku-buku ensiklopedi dan buku pintar lainnya.
Ketika Institut Ilmu Agama Buddha Samaratungga Cabang Medan didirikan,
Bhante Jin menjadi penasehat yayasan sekaligus dosen. Dan sejak 1993
hinggal 1996, Bhante Jin mengasuh mata kuliah Vinaya Pitaka. Mahasiswa
Bhante Jin di IIAB Samaratungga Medan pada mulanya agak bingung menerima
mata kuliah Vinaya yang diasuh Bhante. Sebab gaya ceramah Bhante Jin
memiliki Style tersendiri. Mahasiswa harus ekstra konsentrasi, jika
tidak bisa-bisa tidak menangkap alur komunikasi Bhante. Bahkan terkadang
suara Bhante Jin menjadi sangat perlahan. Hampir tidak terdengar
artikulasi kalimat yang diucapkan. Untungnya ada mahasiswa yang punya
kiat tersendiri, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan
terarah. Ini mendapat jawaban Bhante yang lebih jelas dan wawasan Bhante
menjadi tersalur keluar. Terutama bila membahas kasus-kasus yang
berkaitan dengan Vinaya. Mengikuti perkuliahan Bhante Jin, mahasiswa
merasa rileks. Bhante Jin biasanya suka bicara humor. Suasana jadi
menyegarkan. Ada ungkapan Bhante Jin yang selalu diingat mahasiswa.
Jangan memakai kaca pembesar dalam mempelajari vinaya. Maknanya,
memandanglah secara proposional terhadap Vinaya, baik dari segi teoritis
maupun praktisnya ; dan haru sberlandaskan pada Jalan Tengah ajaran
Buddha Gautama. Di Ampel maupun Medan, Bhante Jin mempunyai beberapa
anak asuh di IIAB Samaratungga. Setelah mempunyai pekerjaan, anak asuh
tersebut dilepaskan agar belajar mandiri, bekerja sambil kuliah. Di
Vihara Borobudur Medan sejak awal 1990-an telah pula memiliki Kitab Suci
Tripitaka sebanyak 2 set. Satu set berbahasa Pali, satu set lagi
berbahasa Inggris. Kitab Suci Tripitaka ini dipesan Bhante Jin dari
Muangthai. Sekarang sudah diperbanyak oleh beberapa pihak di Medan.
Keberadaan Kitab Suci Tripitaka ini telah pula merangsang berdirinya
penerbit Buddhis Pundarika. Dan berguna pula bagi bahan perkuliahan
serta penulisan skripsi mahasiswa. IIAB Samaratungga Medan telah
menerbitkan 2 Kitab Suci Sutta pitaka, yaitu Ittivutaka dan Udana. Kedua
kitab yang diterjemahkan tersebut telah pula menjadi bahan perkuliahan
mahasiswa. Kitab-kitab lain sedang dalam proses penerjemahan saat ini.
Selain untuk pendidikan Buddhis kalangan sendiri, Bhante Jinadhammo Maha
Thera juga sering didatangi oleh para mahasiswa dari IAIN (Institut
Agama islam Negeri) Medan. Mahasiswa-mahasiswa itu biasanya dari jurusan
Ushuluddin (Perbandingan agama) yang mendapat tugas membuat makalah
atau skripsi yang berhubungan dengan agama Buddha. Demikian juga dari
mahasiswa Sekolah tinggi Teologi Kristen. Bhante selalu memberikan
jawaban-jawaban yang lugas, dan mudah dipahami. Untuk referensi yang
diperlukan, biasanya Bhante merekomendasikan mahasiswa tersebut ke IIAB
Samaratungga Medan dan Bimas Buddha Departemen Agama Tingkat I Sumut.
VIHARA-VIHARA
Vihara Swastimuni Siang itu udara begitu cerah, burung-burung yang
hinggap di atas atap Vihara Swastimuni, bersiul riuh rendah secara
serentak memberi semangat pada matahari yang sedang menyirami bumi
dengan cahayanya yang penuh kehangatan. Angin berhembus sepoi-sepoi
menyamai benih kebahagiaan. Suasana di kota kecil produsen peyek Kisaran
itu begitu ceria, lain dari biasanya. Awan putih di atas sana mengintip
penuh keheranan, siapa gerangan yang akan datang, mengapa alam tampak
begitu berseri ? Tak ingin lama berada dalam kebingungan ia pun bertanya
pada ikan yang sedang menari-nari di dalam sungai Silo, sambil sesekali
mereka melompat, menghirup udara segar dan menyemplung lagi ke dalam
sungai, ikan-ikan itu tak kuasa menyembunyikan suasana hati mereka yang
sedang bahagia. Saking asyiknya mereka sampai tak mendengar pertanyaan
si Awan Putih. Beberapa saat kemudian dari peraduannya di langit biru
Awan melihat ke bawah, ada sebuah mobil yang memasuki kota Kisaran, roda
mobil itu terus berputar dan akhirnya berhenti di depan Vihara
Swastimuni. Di sana telah banyak umat yang sedang menunggu, mereka tanpa
dikomando lagi langsung merangkupkan kedua tangan di dada bersikap
anjali. Salah satu dari mereka membukakan pintu mobil tersebut. Dari
dalam keluar seseorang yang telah menggetarkan alam dengan kebajikan
yang telah ditanamnya. Dengan menyungging senyum di wajahnya yang polos
beliau membalas sapaan orang-orang yang menyambut kedatangannya. Diikuti
oleh para umat beliau yang terkenal dengan ketaatannya pada Vinaya
mengayunkan langkah memasuki Vihara Swastimuni. Di dalam bhaktisala
telah tersedia alat-alat kebaktian, umat duduk dengan tenang
bersiap-siap mengikuti Kathina Puja yang akan dipimpin oleh Bhikkhu yang
sekaligus mewakili Sangha Agung Rayon I itu. Selesai kebaktian Bhikkhu
yang sudah akrab di mata umat Buddha ini berkenan memberikan
Dhammadesana. Yang Arya memberitakan asal-usul dan makna Hari Kathina.
Bhikkhu Jinadhammo bukan hanya pada hari-hari besar saja memberikan
khotbah Dhamma, tetapi juga setiap hari bagi mereka yang sedang
membutuhkannya, beliau akan menjawab kegelisahan mereka dengan Buddha
Dhamma yang didukung oleh pengalaman hidupnya. Begitulah Bhikkhu
Jinadhammo yang selalu berusaha menyejukkan di saat kegerahan.
Beliau yang ramah dan disiplin sudah menjadi langganan undangan oleh
vihara-vihara yang merayakan hari-hari besar umat Buddha, termasuk juga
Vihara Swastimuni di Kisaran. Surat dari Vihara Buddha Warman Padang.
Bhante Jinadhammo adalah sosok anggota Sangha yang sudah tidak asing
lagi bagi umat Buddha di Vihara Buddha Warman, Padang dan juga umat
Buddha di Sumatera Barat. Beliau adalah ibarat Pelita Dharma bagi kami,
yang senantiasa menerangi, membina, dan mengayomi kami dalam keadaaan
senang dan susah. Beliau adalah Bhikkhu senior yang sangat sederhana dan
bersahaja serta sikap beliau yang tenang, penuh cinta kasih, dan
kadangkala juga bisa humor. Mungkin kejadian yang akan kami kisahkan ini
dapat memberi gambaran betapa kesederhanaan dan bersahajanya beliau.
Pada suatu hari Bhante Jinadhammo secara mendadak tanpa kabar terlebih
dahulu berkunjung ke Vihara Buddha Warman padahal pada waktu itu vihara
tidak ada penghuni, sehingga Bhante terpaksa menunggu cukup lama sampai
pintu vihara dibuka. Sewaktu kami tanyakan pada Beliau, Mengapa Bhante
datang mendadak dan mengapa Bhante tidak memberi kabar terlebih dahulu
?, sambil tersenyum Beliau balik bertanya, Kalau kami beri kabar
terlebih dahulu, apakah mau diadakan upacara penyambutan ? Bukan begitu
Bhante, kan kasihan Bhante terpaksa menunggu lama, dan lagi pula kamar
kuti belum dipersiapkan. Dengan santai Bhante menjawab, Ah… itu tidak
jadi masalah, tidur di mana pun boleh, bahkan di meja pingpong ini pun
jadilah, tidak apa-apa kok, di desa-desa juga banyak vihar ayang belum
punya kuti, jadi tidurnya ya … di lantai Bhaktisala saja. Keteguhan
Beliau menjalankan sila keBhikkhuan adalah cara mengajar dan mendidik
umat yang lebih ampuh daripada hanya sekedar khotbah dengan kata-kata.
Petunjuk dan nasehat Beliau yang begitu terasa begitu spontan dan
kadangkala dianggap lucu serta kurang dimengerti oleh umat, padahal
sesungguhnya mengandung makna yang sangat dalam.
Ketika
masa-masa sulit dialami oleh Cetiya Buddha Warman sekitar tahun
19760-1978 dimana terjadi kemunduran dalam kegiatan perkembangan agama
Buddha di Padang, hanya Bhante Jinadhammo yang masih rutin mengunjungi
cetiya kami, dua atau tiga bulan sekali. Ketika kegiatan cetiya mulai
bangkit kembali pada tahun 1979 dengan berdirinya Gelanggang Remaja
Buddhis Padang (yang sekarang berubah nama menjadi Persaudaraan Muda
Mudi Vihara Buddha Warman Padang), Beliau juga sangat berperan dalam
memberikan motivasi dan semangat pada generasi muda waktu itu. Tahun
1980 Beliau pulalah yang menaikkan status cetiya kami menjadi Vihara
Buddha Warman Padang. Pada bulan Mei 1983, ketika Gelanggang Remaja
Buddhis Padang (GRBP) mengadkan Dharmasanti Waisak 2527 di Aula SMA Don
Bosko Padang Bhante Jinadhammo berkenan hadir dan menyampaikan Kata
Sambutan serta Renungan Waisak 2527. bahkan beberapa kali acara
Dharmasanti Waisak yang diadakan di Padang, beliau berkenan
menghadirinya. Beliau juga sangat berperan dalam merintis berdirinya
vihara-vihara lain di Propinsi Sumatera Barat, seperti Vihara Buddha
Sasana Bukit Tinggi, Vihara Buddha Metta Payakumbuh, dan Vihara Karuna
Murti Padang Panjang. Ketika rencana kami untuk memindahkan lokasi
Vihara Buddha Warman dari jalan Kelenteng I/3 ke Jalan Muara No. 34
terkatung-katung karena kekurangan dana untuk membeli tanah di lokasi
yang baru, Beliaulah yang dengan penuh kharisma memberikan saran dan
petunjuk serta nasehat kepada Bapak Wijaya Effendy (alm.), Ketua Yayasan
Triratna Padang, sehingga Bapak Wijaya Effendy bersedia meminjamkan
uang pribadinya untuk membeli tanah guna membangun gedung vihara yang
baru. Dan ketika pembangunan gedung baru Vihara Buddha Warman Padang
dimulai, pada tanggal 29 Juli 1988 tepat pada peringatan Hari Suci
Asadha2543, beliau bersama-sama dengan Y.A. Sthavira Aryamaitri, Y.A.
Bhikshu Nyanamaitri dan seorang Samanera melaksanakan pembacaan doa dan
melakukan peletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan
gedung baru vihara. Bahkan Bhante juga membantu kami mengumpulkan
dana/sumbangan untuk pembangunan gedung baru vihara dari umat Buddha di
Medan. Pada pelantikan Pengurus Yayasan Triratna Padang dan sekaligus
peringatan HUT ke-30 Yayasan Triratna Padang tanggal 22 Agustus 1996,
Beliau dan Bhante Arya Maitri berkenan hadir untuk melantik dan
memberkahi serta memberikan semangat dan motivasi pada para pengurus
yayasan yang baru. Akhir-akhir ini memang Bhante Jinadhammo tidak punya
jadwal rutin lagi untuk berkunjung dan membina umat Buddha di Padang
(Sumatera Barat), hanya sekali-sekali Beliau masih menyempatkan waktu
untuk berkunjung ke Vihara Buddha Warman Padang dan juga bilamana ada
acara-acara penting yang mengharapkan kehadiran Beliau.
Hal ini dapat kami maklumi karena pada kenyataannya masih banyak umat di
vihara-vihara lain di Rayon I yang lebih memerlukan sentuhan pembinaan
dan asuhan dari Beliau. Apalagi mengingat bahwa usia Beliau juga semakin
lanjut, tentu saja Beliau tidak bisa seperti dulu lagi terlalu sering
berpergian jauh ke daerah-daerah, lagipula sekarang telah ada para
Bhikkhu muda dan Samanera yang Beliau bina untuk membantu meringankan
tugas-tugas pembinaan Beliau di Rayon I. Sampai saat ini bilamana ada
masalah dan persoalan yang cukup berat harus kami hadapi dan selesaikan,
kami selalu menghubungi beliau melalui telepon untuk mendapatkan
petunjuk dan saran, serta nasehat dari Beliau yang bijaksana. Dengan
sedikit berkurangnya kesibukan Beliau membina umat, diharapkan agar
Beliau mempunyai lebih banyak waktu untuk menyendiri guna kemajuan
kesucian Beliau sebagai seorang anggota Sangha Agung Indonesia yang
senior.
Akhir kata kami para murid dan umat asuhan Bhante
di Vihara Buddha Warman Padang senantiasa berdoa semoga Bhante
senantiasa sehat dan bahagia dalam berkah dan lindungan Sanghyang Adi
Buddha, Sang Triratna serta para Bodhisatva. Kembalinya Buddha Dhamma di
Bumi Sriwijaya Boleh dikatakan propinsi Riau merupakan tanah Sriwijaya,
karena di sinilah kerajaan Sriwijaya dulu terpusat. Pada masa tersebut
agama Buddha tumbuh dengan subur, dan bahkan menjadi salah satu pusat
pendidikan Buddhis di dunia. Namun sejalan dengan runtuhnya kerajaan
Sriwijaya, agama Buddha juga seolah sirna dari daerah Riau. Sekian lama
terpendam, akhirnya agama Buddha muncul kembali di bumi Sriwijaya ini
dan kembali menunjukkan kiprahnya. Hal ini ditandai dengan munculnya
vihara-vihara di daerah Riau, seperti Vihara Buddha Sakyamuni dan vihara
Buddhasasana (Andiva) yang terdapat di Bagansiapiapi, Vihara Dharma
Loka di Pekan Baru, dan Vihara Buddha Diepa di Tanjungbalai Karimun.
Suburnya tumbuh kembang vihara-vihara di Riau pada masa sekarang ini,
tak lepas dari semangat dan usaha seorang pengabdi Dhamma, yakni Bhikkhu
Jinadhammo Maha Thera selaku Ketua Rayon I Sangha Agung Indonesia.
Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera ikut serta dalam berbagai kegiatan
keagamaan yang dilakukan oleh penduduk setempat, baik dalam acara
peltakkan batu pertama pendirian vihara, acara peresmian vihara,
pensakralan buddha rupang, maupun kebaktian hari besar Agama Buddha.
Pada tahun 1990 Bhikkhu Jinadhammo bersama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
melakukan upacara pensakralan Buddha Rupang milik Vihara Buddha Diepa
(yang pada waktu itu belum berdiri). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober
1996 Bhante Jinadhammo disertai Samanera Nyana Kirti menghadiri acara
peletakkan batu pertama pembangunan Vihara Buddhasasana. Dan pada tahun
yang sama pula Bhikkhu Jinadhammo menghadiri acara peresmian Vihara
Buddha Diepa di Tanjung Balai Karimun bersama Bhikkhu Aryamaitri,
tepatnya pada tanggal 22 Nopember 1996. Berdiri dan berkembangnya Vihara
Sakyamuni di Bagansiapiapi juga tak terlepas dari jasa Bhikkhu
Jinadhammo. Dari daerah ini pula kemudian menelorkan seorang Bhikkhu
muda, yakni Bhiksu Nyana Prajna. Bukan hanya menghadiri acara-acara
keagamaan di vihara-vihara namun yang di luar vihara pun juga dihadiri
oleh Bhikkhu Jinadhammo. Tanpa memilih tempat, beliau menyebarkan
Dhamma. Perhatiannya juga dicurahkan untuk para penduduk transmigran
yang berasal dari Kampung Sela, Jawa Tengah, yang sekarang bermukim di
daerah pemukiman penduduk transmigran di Kecamatan Kampar di Riau.
Dharma Wijaya Medan Seperti rumah ibadah umat Buddha lainnya, Vihara
Dharma Wijaya pun disinggahi oleh sang pelanglang buana Y.A. Bhante
Jinadhammo Mahathera. Beliau tak hanya singgah, tetapi juga meresmikan
renovasi pertama vihara yang terletak di jalan Wahidin tersebut. Selain
itu Bhante yang selalu ramah kepada siapa saja ini juga selalu
menghadiri perayaan hari-hari besar umat Buddha yang diadakan di vihara
tersebut. Di mata muda-mudi pemutar roda organisasi Persaudaraan
Muda-Mudi Vihara Dharma Wijaya(PMVDW) sendiri, beliau yang telah
menjajaki hampir di setiap jengkal daerah Sumatera Utara, khususnya yang
berpenduduk buddhis ini adalah seorang humoris, namun bukan berarti
beliau tidak bisa diajak serius.
Genap tiga puluh tahun
vassa yang telah dijalaninya, banyak sudah asam garam yang dicicipinya.
Suka duka seorang penyambung lidah Sang Buddha pun telah dirasakannya.
Tak pelak lagi pengetahuannya di bidang Buddha Dhamma semakin luas.
Semua ini terungkap lewat khotbah-khotbah beliau ataupun dalam
percakapan sehari-hari dengan umat. Tak jarang kita sebagai umat biasa
yang masih jauh tertinggal di bawahnya bila diukur dengan meteran dhamma
sulit sekali mencerna kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut beliau.
Fenomena seperti ini seharusnya dijadikan sebagai cambuk bagi kita
untuk lebih giat lagi menggali khasanah Buddha Dharma. Namun sayang
obrolan yang tidak nyambung oleh karena kadangkala pengetahuan yang kita
miliki ini sering menimbulkan kejenuhan dalam diri kita sebagai umat
biasa untuk melanjutkan obrolan tersebut. Kenyataan tersebut di atas
bukan hanya diakui oleh muda-mudi yang berkecimpung di organisasi PMVDW,
tetapi juga disadari oleh kita semua sebagai orang yang pernah bersua
dengan beliau. Andai saja mau menjadikan pengalaman hidupnya menjadi
milik kita, tentu saja banyak yang dapat kita peroleh darinya. Caranya ?
Salah satu caranya dengan membaca buku biografi tentang diri beliau
yang sedang berada di genggaman kita tentunya.
Vihara
Bodhi Mandapa Di daerah Sukaramai, Medan, ada sebuah vihara yang cukup
bersemangat dalam pengembangan Dhamma dalam wujud nyata berupa kegiatan
sosial. Vihara itu tak lain tak bukan adalah Vihara Bodhi Mandapa yang
terletak di Jalan Perguruan yang berdiri pada tanggal 21 Mei 1991. Dalam
usianya yang masih cukup muda, Vihara dan Generasi Muda Buddhis Vihara
Bodhi Mandapa sudah memiliki prestasi yang cukup dapat dibanggakan. Bagi
para pengurus vihara dari Generasi Muda Buddhis Vihara Bodhi Mandapa
ini, semangat mereka terpacu berkat kehadiran Bhikkhu Jinadhammo Maha
Thera. Figur inilah yang selalu membawa kesejukan, keteladanan dan
semangat bagi mereka. Kehadiran Bhikkhu Jinadhammo dalam peletakkan batu
pertama dan pemberkatan pembangunan vihara, juga memimpin doa syukuran
selesainya pembangunan vihara merupakan berkah tersendiri bagi mereka.
Apalagi Sang Figur bersedia dan sering memenuhi undangan khotbah dan
pemberian Visudhi Tisarana di Vihara Bodhi Mandapa. Buddha Jayanthi
Vihara Buddha Jayanthi merupakan salah satu vihara yang terkenal di
daerah Rantau Prapat. Vihara Buddha Jayanthi yang terletak di Jalan
Gatot Subroto No. 12-14 Rantau Prapat merupakan vihara yang umum
dikunjungi oleh Sangha Agung Indonesia Rayon I, khususnya Yang Arya
Bhante Jinadhammo Maha Thera. Vihara ini merupakan tempat sembahyang dan
kegiatan-kegiatan agama Buddha sebagian besar umat Buddha di Rantau
Prapat. Vihara ini mempunyai 4 lantai. Lantai I dipergunakan untuk
dapur, bursa Dhamma Corner, serta fasilitas lainnya. Di lantai II
terdapat Bhaktisala untuk tempat sembahyang. Lantai III dipergunakan
untuk tempat perkantoran muda-mudi, yayasan, kamar Sangha, ruangan tamu,
dan kamar mandi. Sedangkan pada lantai IV dipergunakan untuk tempat
jemuran pakaian dan sebagainya. Rencananya vihara ini akan diperluas dan
dikembangkan lagi. Perkembangan Vihara Buddha Jayanthi ini sangat maju
semenjak didirikan sampai sekarang, karena keinginan yang kuat dari umat
Buddha Rantau Prapat. Umat dan muda-mudi di vihara ini sangat kagum dan
senang sekali terhadap Yang Arya Bhante Jinadhammo Maha Thera. Setiap
Bhante datang, selalu disambut dengan baik dan ramah sambil tidak lupa
menyediakan segelas juice, kopi, teh ataupun susu. Umat ataupun
muda-mudi vihara ini sering mengundang Bhante Jinadhammo dalam acara
atau kegiatan-kegiatan hari besar Agama Buddha, seperti : Hari Raya
Kathina, Hari Tri Suci Waisak, atau Pho Un. Umat Buddha dari Vihara
Buddha Jayanthi Rantau Prapat telah memberikan sedikit kesan terhadap
Y.A. Bhante Jinadhammo Maha Thera, seperti yang tertulis dalam kutipan
di bawah ini. Kami sangat bangga dan bersyukur, mempunyai seorang
Rohaniwan seperti beliau yang begitu lemah lembut, sangat disiplin
menjalankan sila dan penuh kebijaksanaan dalam membimbing umat Buddha,
khususnya di daerah kami di Rantau Prapat.
Mutiara dari Kota Kerang
Untuk pertama kalinya Bhikkhu Jinadhammo menginjakkan kakinya di Kota
Kerang, Tanjung Balai, pada tahun 1977, bersama ibu Nora dan ibu Neri
dari Vihara Borobudur, Medan. Pada saat itu agama Buddha dan vihara yang
ada di Tanjung Balai lebih cenderung pada tradisi orang Tionghoa
daripada Buddha Dhamma. Belum ada pembacaan paritta di vihara dan
pelajaran agama Buddha. Yang baru dimasukkan dalam kurikulum sekolah
pada waktu itu pun hanya diajarkan sepintas lalu saja sesuai buku
pedoman yang ada, juga oleh guru yang juga tidak mengenal Buddha Dhamma
secara utuh dan mendalam, atau lebih tepatnya tidak memahami Buddha
Dhamma. Mula-mula kedatangan Bhikkhu Jinadhammo dirasakan sebagai momok
bagi guru yang bersangkutan, sehingga sang guru tak berani menghadap
beliau. Guru itu adalah Ibu Susiani Intan (Ibu Sui Siang). Adapun sebab
ketakutan tersebut adalah perasaan malu yang menggunung, karena
sebenarnya ia tak mengerti tentang Buddha Dhamma tapi mengajar pelajaran
agama Buddha, bahkan untuk membaca sebuah paritta saja pun tak bisa.
Namun Bhikkhu Jinadhammo bukanlah orang yang mudah putus asa.
Untuk kedua kalinya beliau datang ke Tanjung Balai dengan menaiki
kereta api, dan kali ini dengan perasaan yang amat berat Ibu Susiani
Intan mau tak mau datang untuk memenuhi panggilan Sang Bhante. Kendala
kedua pun muncul karena ternyata Bhikkhu Jinadhammo tidak begitu fasih
berbahasa Indonesia, dan logat Jawanya masih agak kental, di lain pihak
ibu Intan juga kurang fasih dalam bahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa.
Masa-masa sulit ini akhirnya berlalu juga. Selanjutnya setiap seminggu
sekali Bhikkhu Jinadhammo datang ke Tanjung Balai dengan naik kereta api
untuk mengajari Ibu Intan membaca paritta-paritta suci. Setiap seminggu
sekali 1 paritta diajarkan, dan dengan rasa bangga pula Ibu Intan
mengajarkannya kepada siswa-siswanya di sekolah. Suatu momen yang tak
dapat dilupakan oleh umat Buddha Tanjung Balai, khususnya bagi para
pelaku sejarahnya adalah dibawanya patung Buddha Sakyamuni sebagai
hadiah dari Sang Bhante untuk umat Buddha di Tanjung Balai. Karena belum
ada tempat untuk menaruhnya, maka Ibu Intan meminta sedikit ruang dari
Vihara Avalokitesvara untuk dijadikan sebagai tempat pemujaan dan tempat
kebaktian bagi muda-mudi. Pada hari itu juga umat Buddha Tanjung Balai,
khususnya muda-mudinya untuk pertama kali merayakan hari Kathina yaitu
Kathina 2521.
Pernah pada suatu perayaan Hari Waisak yang
diadakan di Vihara Avalokitesvara, Bhikkhu Jinadhammo sempat
diamankankan oleh pihak berwajib karena diduga sebagai orang aneh yang
berusaha menghimpun massa. Tapi setelah diselidiki akhirnya beliau
diperkenankan untuk kembali ke vihara untuk melanjutkan Waisaka Puja.
Hal ini bisa dimengerti karena pada masa itu umat Buddha Tanjung Balai
belum pernah sekalipun menyelenggarakan acara semacam itu. Karena
sebab-sebab tertentu, akhirnya Ibu Intan dan siswa-siswanya harus
mencari tempat lain untuk melaksanakan kebaktian. Dan bersamaan pada
waktu itu ada 5 orang yang cukup berpengaruh juga bermaksud untuk
mendirikan vihara baru untuk tempat kebaktian semua umat Buddha.
Atas restu dan petunjuk dari Sang Bhante serta usaha keras dari Ibu
Intan dan kerjasama dari 5 orang sahabat tersebut, akhirnya ditemukan 1
tempat yang cocok, yaitu sebuah rumah tua yang menghadap ke sungai
Asahan. Rumah ini kemudian direnovasi sedikit untuk dijadikan vihara.
Vihara ini kemudian diberi nama Vihara Tri Ratna dengan diresmikan oleh
Walikota Tanjung Balai pada masa itu, Bapak Drs. H. Ibrahim Gani pada
hari Sabtu Wage, 3 Nopember 1984. dan Ketua I Yayasan Vihara Tri Ratna
pada saat itu adalah Bapak Lie Thien Cai.
Tidak berhenti sampai
di situ saja, Bhante masih tetap rajin berkunjung ke Tanjung Balai
untuk memberi semangat spiritual bagi umat Buddha Tanjung Balai sampai
saat ini. Sedangkan Ibu Intan sendiri sekarang sudah tidak aktif lagi
dalam kegiatan keagamaan karena usia yang semakin tua dan kesehatannya
yang semakin menurun. Namun dari usaha para pelopor ini, sekarang Vihara
Tri Ratna dan muda-mudinya sudah cukup menunjukkan prestasinya, dan ada
juga mantan muda-mudi vihara ini yang mengikuti jejak sang guru,
mencurahkan semangat, pikiran dan tenaga di bidang keagamaan.
Menaklukkan Tanah Karo
Secara umum orang di bumi Andalas menganggap bahwa agama Buddha itu
miliknya etnis Tinghoa saja, sedangkan Islam miliknya orang Melayu, dan
orang Karo pasti beragama Kristen. Bila ada guru agama Buddha yang
beragama Sembiring, Sitepu, ataupun Ginting, orang akan langsung
bertanya, Apa tidak salah?, dan dilanjutkan dengan pernyataan, Pasti dia
bukan beragama buddha. Tapi kenyataannya memang banyak juga guru agama
Buddha yang betul-betul beragama Buddha di Sumatera Utara ini yang
bersuku Karo. Mengapa bisa demikian? Jawabannya adalah karena ada
pengabdi Dhamma yang telah bersusah payah mendatangi, menaklukkan, serta
menabur benih Dhamma di Tanah Karo, yakni Bhante Jinadhammo yangdibantu
oleh Drs. Arifin Anwar selaku Pembina Buddha Tingkat I Sumatera Utara.
Boleh dikatakan kampung asal para guru agama Buddha yang bersuku Karo
tersebut cukup jauh dari kota Medan, tempat Bhikkhu Jinadhammo berdiam.
Belum lagi kondisi jalannya yang belum baik dan tak bisa dicapai dengan
mobil, melainkan harus dengan cara berjalan kaki sejauh + 7 km, seperti
contohnya desa Parangguam, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.
Sebelum menganut agama Buddha, penduduk setempat menganut kepercayaan
Pemenah (yang berarti pertama atau wal) dan berpegang teguh pada ADAT
(Ajaran=ajaran; Dibata=Tuhan; Arah=melalui, Tua-tua=orang tua), atau
ajaran Ketuhanan melalui orang tua. Menyadari bahwa yang mereka anut
masih berupa suatu kepercayaan, tumbuh kesadaran dari mereka untuk
menganut suatu agama yang diakui pemerintah secara sah. Atau usul Bapak
Dirjen Sitepu, Bapak Johan Sitepu dan Gandih Sitepu pun mencari Bhikkhu
Jinadhammo di Vihara Borobudur Medan untuk memohon kepada beliau agar
melakukan pembinaan secara Buddhis terhadap masyarakat Karo yang ada di
desa Parangguam. Maka sejak tahun 1984 sebagian penduduk Parangguam
sudah beragama Buddha dan langsung di Trisarana-kan dan dibina oleh
Bhikkhu Jinadhammo. Dalam sembilan kali kunjungan beliau ke sana, mereka
sudah cukup memahami Buddha Dhamma yang diajarkan pada mereka, karena
tidak terlalu jauh berbeda dengan kepercayaan lama mereka. Mungkin
kendala bagi mereka adalah untuk membaca dan memahami paritta-paritta
yang berbahasa Pali yang masih sangat asing bagi lidah dan telinga
mereka. Tapi dalam waktu dekat ini mudah-mudahan kendala tersebut dapat
diatasi, karena di antara pemuda Karo yang telah mengecap pendidikan di
Institut Ilmu Agama Buddha telah mulai menyadur paritta-paritta tersebut
ke dalam bahasa Karo.
Pada tahun yang sama pula, atas
rintisan dari Bhante Jinadhammo, Upa. Giriputra dan Ibu Marianiwaty,
dimulailah pembangunan Cetiya Sakya Kirti di atas setapak Tanah di
Parangguam Male, disumbangkan oleh penduduk setempat. Dan sekarang ini
bukan hanya Cetiya Sakya Kirti saja yang terdapat di tanah Karo, tapi
juga sudah ada vihara-vihara yang lain, seperti Vihara Kassapa yang
terletak di Simpang Glugur, Desa Turangi, dan Vihara Sriwijaya yang
terletak di desa Parangguam Baru, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.
Tumbuh kembangnya kedua vihara ini juga tak lepas dari tangan Sang
Satria Jubah Kuning, Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera. Di Sibiru-Biru juga
ada vihara dan cetiya milik umat Buddha suku Karo, yaitu Vihara Sangha
Ramsi dan Cetiya Vanara Seta. Bertolak dari hal ini dapat kita katakan
bahwa Buddha Dhamma tidak membedakan suku maupun golongan, demikian juga
seorang pengabdi Dhamma sejati akan berusaha menyemaikan Buddha Dhamma
ke mana saja tanpa mempersoalkan kesukarannya.
Sekilas
Vihara Kassapa Vihara Kassapa telah berdiri selama lebih kurang 10
tahun, dimulai dari pembelian tanah 2 Rantai yang berlokasi di simpang
Glugur, desa Turangi, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Setelah itu
dibangun bangunan semi permanen, pagar keliling, kamar, sumur, dan
sampai sekarang difungsikan sebagai vihara. Lokasi Vihara Kasappa yang
berada di simpang Glugur tersebut berdiri di atas tanah 792 m2.
Pemilihan lokasi terletak di pinggir jalan, fasilitas transportasi yang
memudahkan, fasilitas untuk latih diri (meditasi) sangat memadai, dan
dapat dijadikan sebagai tempat vassa bagi anggota Sangha. Bangunannya
terdiri dari bangunan Bhaktisala dengan luas 112.5 m2, bangunan Kuti
termasuk sebuah kamar mandi dengan luas 70 m2, dan bangunan pengelola
dengan luas 36 m2.
Vihara Avalokitesvara Tebing Tinggi
Di Bhaktisala Vihara Avalokitesvara, telah berkumpul para pengurus dari
Vihara Maha Dana, Cetiya Ekayana dan Vihara Avalokitesvara sendiri.
Mulai dari ketua sampai anggota muda-mudi duduk membentuk lingkaran,
mereka akan mendiskusikan suatu kegiatan yang akan diadakan di vihara
mereka. Tak lama kemudian dari balik pintu muncul seseorang yang telah
ditunggu-tunggu, lelaki berusia parubaya. Siapakah beliau? Adakah ia
salah satu dari anggota yayasan vihara? Tidak, ia juga bukan seorang
senior di vihara itu, namun demikian, ia mempunyai andil yang cukup
besar dalam usaha mencambuk semangat muda-mudi sebagai generasi penerus
umat Buddha, khususnya di tempat ibadah umat Buddha di atas. Tak heran
bila kehadirannya hari itu begitu diharapkan, walaupun sekedar untuk
memberikan saran atu menyaring ide-ide yang masuk. Seperti di kota-kota
lainnya, di kota yang terletak di pertengahan antara Medan dan Tanjung
Balai ini pun beliau sangat dihormati, bukan karena usia vassanya yang
sudah cukup tua, atau karena jubah yang dipakainya, melainkan karena
ketulusannya membentang tangan mengajak kita untuk sama-sama membooking
tiket kapal menuju pantai seberang. Tentu saja dengan cara melaksanakan
Dharma. Berbagai usaha dilakukannya untuk menggali benih ke-Buddha-an
yang tertanam di diri kita, melalui khotbah-khotbahnya yang menerobos
relung hati. Itu pula sebabnya umat Buddha yang pernah bertemu
dengannya, yang pernah mendengarkan khotbah beliau sepakat bahwa ia
pantas menjadi salah seorang Bhikkhu panutan di Indonesia.
Y.A. Bhante Jinadhammo yang kerap dipanggil Eyang, hari itu diundang
untuk merayakan Hari Suci Waisak di Vihara Avalokitesvara, sebelum
kebaktian dimulai beliau diminta kesediaannya untuk mengikuti diskusi.
Setelah memasuki bhaktisala beliau langsung bernamaskara dan duduk di
tempat yang telah disediakan. Dalam diskusi itu muncul ide brilian dari
salah seorang pengurus, dia mengusulkan bagaimana kalau mereka
mengadakan suatu kegiatan yang lebih bersifat membina spiritual daripada
kegiatan yang heboh namun tidak begitu bermanfaat dalam membantu kita
melaksanakan sila di dalam kehidupan kita sehari-hari, contohnya
mengadakan kegiatan Atthangga Sila sebulan sekali. Ide ini langsung
disetujui oleh Eyang bahkan beliau ingin kegiatan tersebut diadakan
setiap akhir pekan, sehingga muda-mudi bisa spend their spare time
dengan kegiatan positif. Itulah salah satu contoh betapa Eyang sangat
peduli pada generasi muda Buddhis. Semua peserta diskusi takjub dengan
usul beliau namun kalau diadakan setiap akhir pekan mungkin mereka akan
mengalami banyak hambatan, contohnya izin orang tua untuk menginap di
vihara. Diskusi terus berjalan seiring dengan waktu yang terus bergulir.
Sampai malam tiba, upacara peringatan Hari Suci Waisak pun diadakan.
Yang Arya memasang lilin panca warna sebagai tanda kebaktian dimulai.
Tidak memandang Sekte Pengabdi dharma sejati, yang telah berjubah
kuning, seyogyanya memang tidak membatasi diri dalam tugasnya melayani
umat. Sebagai seorang Bhikkhu dari Sangha Agung Indonesia, figur Bhante
Jinadhammo Maha Thera memang cukup dikenal karena beliau tidak lagi
terikat pada sekterian atau suatu organisasi. Karena itu pulalah sosok
Bhikkhu yang satu ini bisa diterima, dihargai, dan dihormati oleh
sekte-sekte lain yang ada di Rayon I ini.
Cetiya Maha
Sampati dan Vihara Maha Sampati yang notabene berada di bawah naungan
Sangha Theravada Indonesia tetap memposisikan Bhikkhu Jinadhammo Maha
Thera sebagai penasehat dari organisasi viharanya. Vihara Satya Buddha
Purnama, yang terletak di jalan Lombok No. 1 adalah vihara dari aliran
Kasogatan yang mana namanya merupakan penganugerahan dari Bhikkhu
Jinadhammo Maha Thera. Tercatat beberapa vihara di luar vihara Buddhaya
yang sering dikunjungi oleh Bhikkhu Jinadhammo, antara lain : – Vihara
Sahassa Buddha – Vihara Bodhi Suci – Vihara Bodhi Mandapa – Dll
HARI-HARI SUCI Hari Suci Waisak Semasa pengabdian Yang Arya selama 30
vassa, beliau telah banyak mengahdiri Upacara Kebaktian Hari Suci Waisak
sebagai Perwakilan dari Anggota Sangha. Makna dari Hari Suci Waisak
yang sering diingatkan beliau pada setiap Hari Waisak adalah untuk
memperingati :
* Hari lahirnya Pangeran Sidharta tahun 623 SM.
* Hari Pangeran Sidharta mencapai Kebuddhaan tahun 588 SM.
* Hari Sangha Buddha mencapai PariNibbana (wafat) tahun 543 SM.
Semua kejadian tersebut terjadi pada hari dan bulan yang sama yaitu di
pertengahan bulan Waisak. Makna tersebut disampaikan oleh Bhante hingga
ke pelosok-pelosok yang dalam seperti di pedalaman desa yang belum
beragama Buddha. Bukan muluk-muluk yang sering dikhotbahkan Bhante di
Hari Suci Waisak ini dan janji-janji keselamtan untuk orang-orang yang
merayakan Hari Suci Waisak, namun beliau senantiasa menekankan agar kita
selalu menghilangkan keegoisan diri yang terikat pada diri
masing-masing. Sebab itulah yang menjadi penyakit terbesar dalam hidup
manusia. Maksudnya saya mau begini, kamu menjadi begitu, ini urusan saya
dan kamu tidak berhak mencampurinya, saya musti mendapat penghargaan
atas apa yang telah saya perbuat untuk orang banyak dan sebagainya.
Kata-kata ini sering diucapkan oleh setiap orang, dan selalu diingatkan
oleh Bhante akan bahayanya. Oleh karena kesederhanaan Bhante dalam
berkata dan bertindak inilah Bhante memberi bimbingan di Hari Suci
Waisak, selama menjalani 30 vassanya.
Tidak kalah peran
dari bimbingan beliau, para Bhikkhu dan samanera yang ditugaskan beliau
untuk turun ke daerah membantu tugas anggota Sangha. Misalnya, Bhante
Suhadayo, Bhante Nyana Nanda (almarhum), Bhante Khampiro Badhrapala,
Bhikshu Pratama dan samanera-samanera lainnya yang tidak dapat disebut
satu persatu namanya di buku ini. Dan tidak luput pula cetiya-cetiya,
vihara-vihara dan sekolah-sekolah yang ada ajaran Buddhanya (khususnya
di Sumatera Utara) turut mengundang beliau untuk memberikan Dhammadesana
di Hari Suci Waisak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar